Kawasan Industri Siapkan Rumah Perlindungan bagi Perempuan Pekerja
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Perempuan rentan mengalami kekerasan di tempat kerja, di sektor industri, pabrik, perkantoran, perniagaan besar, perkebunan, termasuk di pelayanan dalam transportasi publik. Pola relasi kuasa dalam lingkup tempat kerja membuat perempuan tidak berani melaporkan kekerasan dan diskriminasi yang dialaminya.
Untuk itulah Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) membentuk Rumah Perlindungan Perempuan Pekerja (RP3) di kawasan industri, guna meningkatkan perlindungan bagi perempuan pekerja dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi.
“Beberapa perusahaan yang bergerak di sektor industri juga mulai memiliki inisiatif untuk memberikan perlindungan bagi pekerjanya khususnya kaum perempuan. Tetapi upaya-upaya ini perlu didukung oleh sebuah sistem yang tersinergi dengan baik antara pekerja, perusahaan, dan pihak-pihak lain yang berkaitan dengan perlindungan perempuan dan penanganan kasus kekerasan,” ujar Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan, Vennetia R Danes, di Kantor KPPPA, Kamis (15/7/2019), saat Peluncuran Rumah Perlindungan Perempuan Pekerja dan menandatangani nota kesepahaman KPPPA dengan lima kawasan industri.
Lima kawasan industri tersebut adalah Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cakung di Kota Jakarta Timur Provinsi DKI Jakarta; Karawang International Industrial City (KIIC) di Kabupaten Karawang, Jawa Barat; Krakatau Industrial Estate Cilegon (KIEC) di Kota Cilegon, Banten; Surabaya Industrial Estate Rungkut (SIER) di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur; dan Bintan Industrial Estate (BIE) di Kota Bintan, Kepulauan Riau.
Selain melindungi perempuan pekerja, mendekatkan jangkauan upaya penanganan dan perlindungan perempuan, terutama di kawasan industri, kehadiran rumah perlindungan bagi perempuan pekerja di kawasan industri juga memberi ruang untuk kerja-kerja kolaborasi penanganan masalah-masalah kekerasan yang dialami perempuan di sektor industri.
Menurut Vennetia, jumlah kasus di sektor industri memang tidak sebanyak jenis kekerasan yang terjadi di ranah privat, tetapi dalam beberapa kajian dan testimoni, perempuan pekerja pabrik sebenarnya rentan terhadap tindakan kekerasan seperti pelecehan seksual, kekerasan psikis, dan fisik.
Relasi kuasa yang kuat dalam lingkup tempat kerja, membuat perempuan pekerja kurang memiliki keberanian untuk melaporkan tindak kekerasan dan diskiriminasi yang dialami di tempat kerja. Selain itu, kekhawatiran dan ketergantungan tinggi pada keberlanjutan pekerjaan yang dimiliki membuat perempuan tidak memiliki posisi tawar.
“Perempuan yang mengalami kekerasan terpaksa menerima dan kebanyakan tidak berani melapor karena ancaman kehilangan pekerjaan, sehingga selama ini tidak ada catatan khusus mengenai kekerasan dan pelecehan seksual di tempat kerja,” tambah Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dalam Ketenagakerjaan KPPPA, Rafael Walangitan.
Selain diskriminasi, perempuan pekerja juga sulit mendapatkan hak cuti hamil dan cuti haid yang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan juga permasalahan hubungan industrial lainnya yang tidak adil bagi pekerja perempuan.
“Kekerasan terhadap perempuan saat ini masih menjadi pekerjaan rumah bagi semua pihak, mulai dari pemerintah, lembaga negara, organisasi masyarakat sipil, sampai dengan masyarakat sendiri,” ujar Rafael.
Ia menyebutkan Data Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2016, yang menunjukkan bahwa 1 dari 3 perempuan usia 15-64 tahun mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan dan selain pasangan selama hidupnya.
Perlindungan
Sekretaris Menteri PPPA, Pribudiarta Nur Sitepu menyatakan pemerintah melalui KPPPA terus berupaya memberikan perlindungan bagi perempuan pekerja dari segala diskriminasi dan ekploitasi serta meningkatkan produktivitas mereka di sektor industri. Salah satunya dengan menerbitkan Peraturan Menteri PPPA Nomor 5 Tahun 2015 tentang Penyediaan Sarana Kerja yang Responsif Gender dan Peduli Anak di Tempat Kerja.
Pemerintah melalui KPPPA terus berupaya memberikan perlindungan bagi perempuan pekerja dari segala diskriminasi dan ekploitasi serta meningkatkan produktivitas mereka di sektor industri
Permen tersebut diimplemetasikan menjadi Gerakan Pekerja Perempuan Sehat Produktif (GP2SP) yang diselenggarakan KPPPA bersama Kementerian Kesehatan, Kementerian Tenaga Kerja, dan Kementerian Dalam Negeri.
“Kami harap rumah perlindungan ini dapat diduplikasi oleh kawasan industri lainnya, sehingga seluruh perempuan pekerja memiliki tempat untuk menyampaikan pengaduan atas permasalahan yang mereka hadapi. Selain itu memberikan pemulihan dan rehabilitasi serta mendampingi proses hukum hingga tuntas,” kata Pribudiarta.
Para pemimpin perusahaan di kawasan industri yang menandatangani MOU dengan KPPPA tentang pendirian rumah perlindungan pekerja, seperti Direktur Utama KBN Cakung HM Sattar Tabba berkomitmen memfasilitasi rumah perlindungan pekerja perempuan di KBN Cakung.
Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Thaufiek Zulbahary memberikan apresiasi atas insiatif KPPPA mendirikan rumah perlindungan bagi perempuan pekerja, dan berharap langkah tersebut diikuti oleh kawasan industri lainnya.