24 Jam Menikmati "Manisnya" Ambon
Teluk Ambon dengan hamparan laut biru bening bak tuan rumah yang sedang membuka tangan menyambut tamu yang hendak mendarat di Bandar Udara Pattimura.
Teluk Ambon dengan hamparan laut biru bening bak tuan rumah yang sedang membuka tangan menyambut tamu yang hendak mendarat di Bandar Udara Pattimura. Saat roda pesawat menyentuh landasan di pesisir pantai itu, saat itu pula petualangan di pulau berjuluk ”manise” tersebut dimulai.
Menyusuri lorong di terminal kedatangan, foto-foto pesona alam darat dan bawah laut terpampang berderet menggoda. Foto-foto itu seakan mengajak pengunjung, terlebih para pemburu pesona alam, untuk mendatanginya.
Meski keterangan pada foto itu tak begitu detail, jangan khawatir, ada petugas di pusat informasi wisata dekat pintu keluar yang dapat menjelaskan semua. Di sana tersedia banyak informasi seputar wisata Ambon dan sekitarnya.
Lauknya bisa ikan asin cakalang, tuna, ataupun ikan segar yang digoreng kemudian dilumuri saus.
Petugas juga bisa dimintai tolong untuk mencarikan mobil dari bandara ke pusat kota yang berjarak sekitar 20 kilometer. Untuk sekali jalan, tarifnya Rp 150.000. Karena perjalanan ini untuk menjelajahi Pulau Ambon, sebaiknya mengambil pilihan sewa mobil seharian dengan tarif Rp 600.000 per hari. Itu sudah termasuk bahan bakar dan jasa sopir.
Sebelum bertualang, mulailah dengan sarapan. Kuliner seperti nasi kuning banyak dijajakan di sisi jalan pusat kota. Ada makanan berat, seperti nasi kuning dan nasi kelapa. Banyak juga rumah kopi yang menyediakan minuman dan makanan ringan.
Pada saat seperti ini, yang dijual kebanyakan nasi kelapa, seperti nasi uduk di Pulau Jawa. Lauknya bisa ikan asin cakalang, tuna, ataupun ikan segar yang digoreng kemudian dilumuri saus. Dengan Rp 20.000, perut sudah bisa kenyang. Namun, jika tidak berselera makan berat, bisa mampir ke rumah kopi yang banyak tumbuh di pinggiran kota.
Ambon bukan daerah penghasil kopi, begitu pula Maluku pada umumnya. Memang ada kopi di Pulau Seram dan Pulau Buru, tetapi hanya kebun-kebun kecil dan jarang. Kopi yang tersaji di Ambon dibawa dari daerah lain kemudian disangrai dan diolah oleh barista lokal. Orang bilang, Ambon itu kota yang tak punya kopi, tetapi punya beribu rumah kopi.
Orang Ambon suka minum kopi di rumah kopi. Lebih asyik kalau bertukar cerita sambil minum kopi di rumah kopi. Sejarah Ambon dalam dua dasawarsa terakhir mencatat rumah kopi menjadi ruang perjumpaan bagi komunitas yang bertikai kala konflik melanda Ambon. Dari rumah kopi, rekonsiliasi dibangun.
Di rumah kopi itu, menyeruput kopi makin nikmat karena bisa sambil merasakan terpaan angin sepoi-sepoi.
Rumah kopi legendaris, yakni Rumah Kopi Trikora, yang berdiri di perbatasan kedua komunitas, sudah tutup. Di dekatnya, tepat di Jalan Said Perintah, ada Rumah Kopi Sibu Sibu. Sibu Sibu dalam bahasa Ambon berarti sepoi-sepoi.
Di rumah kopi itu, menyeruput kopi makin nikmat karena bisa sambil merasakan terpaan angin sepoi-sepoi. Sayang, di tengah perubahan iklim dan padatnya bangunan di dekat rumah kopi itu, angin sepoi-sepoi tidak begitu terasa lagi.
Rumah kopi seperti menjadi miniatur Ambon. Para pelayan berbusana Ambon, yakni kain sarung dan baju cele. Makanan yang disajikan pun berbahan pangan lokal, seperti pisang, ubi atau kasbi, dan sukun.
Minuman khasnya adalah kopi rarobang, yakni kopi dicampur gula merah, jahe, dan ditaburi kenari. Bisa juga ditambah susu, tergantung selera. Belum lagi kopi menyentuh tepi bibir, aromanya sudah memenuhi hidung. Dengan Rp 100.000 cukup untuk jamuan tiga orang.
Di rumah kopi itu juga terpajang banyak poster orang Maluku atau orang berdarah Maluku yang berprestasi dan tersebar di kolong langit ini. Memang tidak semua, tetapi cukup banyak.
Ada musisi Daniel Sahuleka, pesepak bola Giovanni van Bronckhorst yang merupakan mantan kapten tim nasional Belanda, dan dua penyanyi grup Vengaboys, yakni Kim Sasabone dan Donny Lattupeirissa. Sibu Sibu itu milik almarhum Victor Manuhuttu yang sangat cinta pada budaya Maluku.
Pantai Liang
Setelah selesai menikmati kopi, kita bisa memilih ke hotel atau melanjutkan petualangan. Banyak penginapan dengan harga terjangkau yang bisa dipesan lewat aplikasi daring. Tersedia ukuran tempat tidur yang lebar sehingga cukup bagi yang bepergian bersama keluarga. Hotel dan penginapan di pusat kota banyak yang dekat dengan tempat belanja dan tempat makan.
Waktu sudah menunjukkan pukul 09.00 WIT, saat yang tepat untuk menikmati pesisir pantai Pulau Ambon, pulau seluas 803,9 kilometer persegi. Ada beberapa alternatif, tetapi sebaiknya ke Pantai Liang agar bisa singgah juga ke tempat wisata lain di dekatnya. Kalau ingin mendatangi semua, rasanya waktu sehari saja tidak cukup. Namun, pilihan ini cukup mewakili.
Pantai Liang berada sekitar 38 kilometer arah timur laut Kota Ambon. Pantai Liang masuk wilayah administratif Kabupaten Maluku Tengah. Jalanan ke pantai itu cukup bagus dan tidak ada kemacetan berarti. Jarak tempuh dapat dilahap dalam waktu paling lama 45 menit. Sepanjang perjalanan, boleh juga buka kaca mobil agar dapat menghirup udara segar dari pohon-pohon rindang di pinggir jalan.
Sepanjang jalan itu, sekitar Maret hingga April, banyak berjejer penjual buah musiman, seperti durian, langsat, duku, markisa, dan rambutan. Buah itu bukan diimpor atau dikirim dari daerah lain, melainkan dipetik dari kebun warga. Durian, misalnya, pada saat puncak panen bisa dijual hanya Rp 1.000 per buah.
Di bibirnya terukir pasir putih yang dihiasi laut biru bening. Ikan-ikan yang berenang dalam air terlihat jelas.
Tiba di Pantai Liang, suasana bising kota sudah benar-benar hilang. Pantai itu ditumbuhi pepohonan yang rapat dan menjulang tinggi. Hawanya sejuk. Di bibirnya terukir pasir putih yang dihiasi laut biru bening. Ikan-ikan yang berenang dalam air terlihat jelas. Saat melangkah di atas sebuah jembatan yang menjorok ke laut, rasa-rasanya ingin langsung nyemplung.
Jika ingin berenang, dapat menghubungi pemandu yang siaga di pantai itu. Tersedia juga banana boat lengkap dengan baju pelampung. Pantai Liang masih cukup bersih sehingga biasa dijadikan tempat outbound atau kegiatan yang membutuhkan suasana hening.
Dari pantai itu dapat terlihat Pulau Seram, pulau terbesar di Maluku. Bersantai di pantai itu terasa lengkap jika diakhiri dengan menyantap kelapa muda.
Selesai menikmati Pantai Liang, perjalanan dilanjutkan ke Tulehu yang berjarak sekitar 8 kilometer, kembali ke arah kota, masih pada jalur yang sama. Kebanyakan orang, setelah berendam di laut, akan singgah ke pemandian air panas di Tulehu.
Air panas itu keluar dari perut bumi melalui batu karang. Cukup membayar Rp 5.000 sudah bisa berendam sepuasnya. Banyak orang memilih terapi kesehatan dengan air panas itu.
Baca juga: Pantai Indah di Tanah Manise
Di Tulehu juga bisa disaksikan tempat anak-anak belajar sepak bola. Tulehu menghasilkan banyak pesepak bola andal yang kerap mengisi skuad tim nasional.
Sering mendengar nama belakang pemain, seperti Lestaluhu, Kipuw, Tawainella, atau Pellu? Ya, mereka berasal dari kampung pesisir di kaki Gunung Salahutu itu. Kampung itu, oleh Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI), diresmikan sebagai Kampung Sepak Bola.
Rujak yang melegenda di Ambon itu bernama rujak Natsepa.
Selepas dari Tulehu, kembali melewati jalan yang sama ke kota. Sekitar 4 kilometer dari Tulehu, ada Pantai Natsepa. Kali ini bukan untuk berenang, melainkan menikmati rujak. Rujak yang melegenda di Ambon itu bernama rujak Natsepa.
Lebih dari 30 ibu menjajakan rujak di pesisir itu. Rujak itu berisi campuran buah lokal, seperti nanas dan mangga, yang diaduk dengan kacang, gula merah, dan sedikit cabai untuk menambah sensasi rasa di lidah. Tersedia juga kelapa.
Jangan berlama-lama di Pantai Natsepa, masih ada momen yang tidak bisa dilewatkan pada petang itu di dekat pusat kota. Sebelum masuk kota, singgah dulu sejenak di Jembatan Merah Putih. Jembatan sepanjang 1.140 meter yang membentang di atas Teluk Ambon itu merupakan ikon Kota Ambon.
Dari jembatan itu dapat disaksikan detik-detik terbenamnya matahari di balik Tanjung Alang. Saat gelap menyergap, tampak kerlap-kerlip lampu di pusat kota yang tumbuh dari bibir pantai itu.
Suasana malam
Petualangan hari ini hampir selesai. Perut yang sepanjang hari diisi makanan ringan, kini diajak menampung makanan berat. Malam ini adalah kesempatan untuk mencicipi papeda, penganan dari tepung sagu yang diaduk dengan air panas.
Teksturnya lembek dan rasanya tawar. Pasangan pepeda adalah ikan segar yang dimasak berkuah dengan rempah lalu ditambah kunyit. Orang menyebutnya ikan kuah kuning. Rasa kuahnya bisa asam pedas, asam pedas manis, atau macam-macam variasi lainnya tergantung permintaan. Kepulauan rempah itu memang tak kekurangan penyedap rasa.
Jika belum terbiasa makan papeda, bisa diganti dengan nasi. Ada juga ikan bakar atau ikan goreng. Di beberapa rumah makan, tamu diberi kesempatan untuk memancing ikan sendiri di keramba. Untuk ikan laut, hampir semuanya dijual segar, hanya selang beberapa jam saja sejak ditangkap nelayan.
Makanan sudah di perut, biasanya mata mulai redup. Sebelum kembali ke hotel atau penginapan, sesi terakhir yang sayang kalau dilewatkan adalah hiburan malam. Suara emas jujaro deng mungare (muda-mudi) atau nona dan nyong Ambon dapat dinikmati di beberapa kafe.
Banyak yang bilang, musik dan menyanyi ada dalam DNA orang Ambon. Mungkin selama ini kita hanya mendengar suara Broery Pesolima, Bob Tutupoli, atau Glenn Fredly. Di kafe-kafe Ambon, banyak ditemukan suara emas yang juga tidak kalah dengan para legenda itu.
Selepas dari kafe, mata terasa semakin berat dirayu kantuk. Meski raga sudah letih, rasanya masih ada yang kurang karena belum merasakan hawa malam di kota berpenduduk sekitar 332.000 jiwa itu. Menyusuri malam bisa menggunakan angkutan daring, baik sepeda motor maupun mobil. Malam di Ambon terasa tenang dan damai.
Perjalanan pada hari itu mengesankan. Ingin rasanya menyusuri lagi sisi lain Ambon. Ingin pula bertualang ke tempat eksotis lainnya di Maluku, seperti Kepulauan Banda yang ditempuh dengan kapal laut sekitar 6 jam, Kepulauan Kei dengan pesawat sekitar 1,5 jam, atau ke Pantai Ora di Pulau Seram dengan menyeberang kapal selama 1,5 jam kemudian dengan mobil sekitar 2 jam.
Memang, tak ada habisnya pesona yang ditawarkan daerah ini. Terima kasih Maluku, terima kasih Ambon Manise.