Warga di Lombok Barat resah karena lahan dan rumah yang akan menjadi bagian dari Bendungan Meninting belum juga mendapatkan ganti rugi. Padahal akhir Agustus ini pembangunan bendungan segera dimulai.
Oleh
KHAERUL ANWAR
·3 menit baca
MATARAM, KOMPAS — Warga di Lombok Barat resah karena lahan dan rumah yang akan menjadi bagian dari Bendungan Meninting belum mendapatkan ganti rugi. Padahal, akhir Agustus ini, pembangunan bendungan segera dimulai.
Bendungan Meninting terletak di Desa Bukit Tinggi, Kecamatan Gunungsari, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. Proyek pembangunan Bendungan Meninting membutuhkan areal 115,6 hektar. Sebanyak 94,6 hektar harus melalui proses pembebasan karena rumah, kebun, dan tanaman milik masyarakat. Lahan itu meliputi wilayah Desa Bukit Tinggi, Kecamatan Gunungsari, dan Desa Dasan Geria, serta Desa Gegerung, Kecamatan Lingsar.
”Saya mau minta bantuan Pak Bupati (Lombok Barat, Fauzan Khalid), kejelasan kapan mereka dibayar. Sementara ini harga tanah di sekitar bendungan di atas harga yang ditentukan tim apraisal,” ujar Kepala Desa Bukit Tinggi Ahmad Muttaqin, Kamis (15/8/2019), di Mataram, Lombok.
Menurut Muttaqin, ground breaking lokasi bendungan direncanakan pada 26-27 Agustus 2019. Padahal, sejak awal warga minta pembayaran pembebasan lahan sebelum aktivitas fisik bendungan itu dimulai.
Pembangunan bendungan itu diperkirakan memakan waktu empat tahun dengan biaya Rp 1,4 triliun. Bendungan didesain menampung air 9,91 juta meter kubik untuk irigasi. Irigasi ini bisa dimanfaatkan untuk 2.600 hektar-4.500 ha sawah wilayah Lombok Barat, Lombok Tengah, dan Lombok Tengah.
Air bendungan yang dihasilkan bisa mencapai 150 meter kubik per detik. Air ini digunakan juga sebagai sumber air baku minum untuk PDAM dan mesin pembangkit listrik tenaga mikrohidro dengan daya 2 x 0,4 megawatt.
Para pemilik lahan, bersama Bupati Lombok Barat dan Balai Wilayah Sungai Nusa Tenggara 1 (BWS NT 1), sejak Januari 2019 telah beberapa kali berdialog. Dialog juga membahas tentang harga pembebasan.
Berdasarkan hasil dialog itu, tim apraisal akhirnya membagi zonasi lahan menurut lokasinya; zonasi 1 pinggir jalan, zonasi 2 agak ke tengah, dan zonasi 3 berada di seputaran sungai. Harga pembebasan lahan zonasi 1 Rp 45 juta-Rp 60 juta per are, zonasi 2 Rp 15 juta, dan zonasi 3 Rp 12 juta.
”Terus uang pembebasan tidak cukup untuk membeli tanah sekadar untuk tempat tinggal warga. Harga tanah di sekitar telah mencapai 100 juta per are,” kata Muttaqin.
Bupati Lombok Barat Fauzan Khalid ketika diminta komentarnya mengatakan, sebelumnya para pemilik lahan sanggup direlokasi. Sebagian rumah penduduk di lokasi bendungan juga rusak berat akibat gempa Lombok Juli-Agustus 2018.
Terus uang pembebasan tidak cukup untuk membeli tanah sekadar untuk tempat tinggal warga. Harga tanah di sekitar telah mencapai 100 juta per are.
Dalam perkembangan terakhir, ada 20 KK yang tidak sepakat dengan harga lahan. Mereka kemudian diberi alternatif, menerima dana pembebasan lahan atau mengambil dana insentif rehabilitasi-rekonstruksi sebesar Rp 50 juta untuk rumah rusak berat.
”Akhirnya, rata-rata mengambil dana insentif. Karena sudah mengambil yang Rp 50 juta, mau bagaimana lagi,” ujar Fauzan yang kerap didatangi para pemilik lahan.
Menurut Fauzan, ada waktu 14 hari setelah kesepakatan harga ditentukan. Warga bisa mengajukan gugatan keberatan ke pengadilan.
Satuan Kerja Nonvertikal Tertentu Pembangunan Bendungan BWS NT 1, I Ketut Kari Artha, di Mataram, mengatakan, kegiatan ground breaking masih dalam perencanaan.
Saat ini, tahapan pembebasan lahan sudah selesai dengan pemilik. ”Pemerintah akan membayar pemilik yang setuju lahannya dibebaskan sesuai hasil apraisal. Bagi yang tidak, silakan mengajukan gugatan ke pengadilan. Pemerintah pasti mematuhi keputusan pengadilan,” ujar Kari Artha.