Pemerintah diminta memperketat pengawasan data yang tersimpan di Sistem Informasi Basis Database IMEI Nasional (Sibina), yakni sistem yang dikembangkan pemerintah untuk mencegah peredaran ponsel ilegal dengan cara mendeteksi nomor IMEI dari ponsel yang diaktifkan.
Oleh
Benediktus Krisna/Harry Susilo/I Gusti Agung Bagus Angga Putra
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah diminta memperketat pengawasan data yang tersimpan di Sistem Informasi Basis Database IMEI Nasional atau Sibina. Sebab, data yang tersimpan di Sibina rawan disalahgunakan.
Sibina adalah sistem yang dikembangkan pemerintah untuk mencegah peredaran ponsel ilegal dengan cara mendeteksi nomor international mobile equipment identification (IMEI) dari ponsel yang diaktifkan.
IMEI adalah kode 15 digit angka yang merupakan identitas dari sebuah perangkat ponsel. Apabila Sibina mendeteksi ada ponsel yang aktif dengan IMEI yang tidak tercatat dalam basis data pemerintah, ponsel itu berasal dari pasar gelap dan akan langsung diblokir penggunaannya oleh pemerintah.
Pengamat telekomunikasi dan telematika Sutikno Teguh, Kamis (15/8/2019), mengatakan, data yang tersimpan di Sibina rawan disalahgunakan. Sebab, belum terdengar rencana pemerintah tentang bagaimana sistem pengawasan data yang ada di dalam Sibina. Adapun di dalam Sibina terdapat data ratusan juta nomor IMEI dari ponsel yang aktif.
”Jadi, operator Sibina bisa saja mengetahui lokasi ponsel itu dinyalakan di mana dan seperti apa komunikasi yang terjadi di ponsel itu. Lalu, siapa yang mengawasi ini?” ujar Teguh.
Ia menyebutkan, sistem itu juga mampu mengidentifikasi lokasi dan komunikasi pejabat negara. ”Bisa ketahuan nanti Pak Jokowi lagi di mana, lagi bicara apa sama menterinya. Ini bahaya,” ujar Teguh.
Ia menyesalkan keputusan Kementerian Perindustrian yang memilih bekerja sama dengan pihak swasta asing untuk membangun sistem ini. Sebab, tidak ada jaminan data itu bisa benar-benar aman apabila sistem tersebut dioperasikan pihak lain.
Sistem itu, lanjut Teguh, sebetulnya bisa dibangun dan dikerjakan oleh insinyur Tanah Air. ”Itu, kan, hanya menjodohkan IMEI dari ponsel yang aktif dengan basis data IMEI. Kalau tidak cocok, berarti pasar gelap. Kan, begitu saja,” ujarnya.
Hal senada diungkapkan Direktur Eksekutif Asosiasi Industri Teknologi dan Informasi Indonesia (AITI) E Bimantoro. Ia mengatakan, banyak ahli teknologi dan informasi (TI) di Indonesia yang sudah terampil. Mereka hanya butuh kepercayaan dari pemerintah untuk bisa membangun sistem tersebut. ”Orang-orang kita sudah mampu,” ujarnya.
Teguh mengatakan, membangun sistem seperti itu membutuhkan biaya sekitar Rp 100 miliar. Biaya itu untuk membuat ruang basis data, membangun peladen, dan merekrut sumber daya manusia. Angka tersebut jauh lebih kecil daripada potensi hilangnya pendapatan negara yang muncul akibat peredaran ponsel ilegal.
Asosiasi Ponsel Seluruh Indonesia (APSI) memperkirakan hilangnya pendapatan negara akibat pajak ponsel yang digelapkan mencapai Rp 2,8 triliun.
”Hitunglah biaya Rp 100 miliar itu sebagai investasi untuk menyelamatkan Rp 2,8 triliun per tahun. Belum juga untuk menjaga keamanan data kita diintip pihak lain,” ujar Teguh.
Sementara itu, Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Ismail mengatakan, data Sibina diawasi dan dipasok oleh tiga kementerian, yaitu Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Perindustrian, serta Kementerian Perdagangan.
”Kami bersama-sama berintegrasi memantau pembangunan sistem dan basis data ini,” ujar Ismail.
Hal senada diungkapkan Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika Kementerian Perindustrian Harjanto. Basis data IMEI saat ini dikumpulkan di Pusat Data dan Informasi Industri.