Pasal 37 UUD 1945 telah memberi koridor agar amendemen konstitusi, jika dilakukan, tidak akan menjadi bola liar dan bertentangan dengan tujuan awal.
Oleh
Rini Kustiasih
·4 menit baca
Pasal 37 UUD 1945 telah memberi koridor agar amendemen konstitusi, jika dilakukan, tidak akan menjadi bola liar dan bertentangan dengan tujuan awal.
JAKARTA, KOMPAS — Amendemen terbatas UUD 1945 untuk mengembalikan kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga tertinggi negara dan berwenang menetapkan haluan negara dapat dilakukan dan tidak akan menjadi bola liar sehingga bertentangan dengan tujuan awal. Sebab, proses amendemen wajib mengikuti ketentuan yang disyaratkan oleh konstitusi itu sendiri.
Konstitusi telah mengatur tata cara amendemen. Perubahan pasal-pasal di dalam konstitusi pun tidak boleh dilakukan secara sembarangan karena mesti diusulkan secara tertulis dan disertai alasan yang jelas mengapa pasal itu harus diubah. Hal tersebut tercantum dalam Pasal 37 Ayat (2) UUD 1945.
Oleh karena itu, perubahan atau amendemen terbatas UUD 1945 tidak dilakukan secara serampangan atau melebar ke mana-mana tanpa diketahui pasal mana saja yang ingin dibahas dalam perubahannya.
Direktur Pusat Kajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Universitas Jember Bayu Dwi Anggono, Rabu (14/8/2019), yang dihubungi dari Jakarta, mengatakan, konstitusi telah memberikan arahan jelas mengenai amendemen terbatas ini. Oleh karena itu, amendemen terhadap UUD 1945 tidak bisa dilakukan tanpa mengetahui usulan pasal mana saja yang mau diamendemen.
Setiap pasal yang diusulkan untuk diubah harus dinyatakan secara tertulis dan dijelaskan alasannya mengapa pasal itu perlu diubah.
Sejak isu amendemen terbatas mengemuka, terutama setelah Kongres V Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) di Bali, muncul kekhawatiran amendemen itu bisa menjadi bola liar yang dampaknya bisa ke mana-mana apabila tidak ada kejelasan arah.
”Setiap pasal yang diusulkan untuk diubah harus dinyatakan secara tertulis dan dijelaskan alasannya mengapa pasal itu perlu diubah. Ini berarti amendemen terbatas seharusnya tidak menyasar pasal-pasal lain yang tidak ada kaitannya dengan tujuan awal amendemen,” katanya.
Berpegang pada ketentuan itu, perubahan terbatas terhadap UUD 1945, terutama menyangkut kewenangannya untuk menetapkan haluan negara, semestinya tidak boleh menyangkut perubahan pada pasal-pasal lain. Amendemen itu juga semestinya ditempatkan pada konsensus negara yang telah disepakati, tahun 1999, yakni untuk memperkuat sistem presidensial.
”Misalnya, amendemen terbatas itu tidak boleh menyentuh pasal mengenai pemilihan presiden dan wakil presiden yang dipilih langsung oleh rakyat. Jangan sampai karena ingin menempatkan MPR sebagai lembaga tertinggi negara, lalu mengembalikan peran dan fungsinya memilih presiden,” katanya.
Terkait dengan sikap politik PDI-P dalam Kongres V di Bali, Wakil Sekretaris Jenderal PDI-P Utut Adianto sebelumnya mengatakan, amendemen terbatas konstitusi itu hanya terkait soal penentuan haluan negara. Harapannya, dengan adanya haluan negara, kebijakan, program, dan arah pembangunan dari level pusat hingga daerah bisa berada dalam satu tarikan napas. Amendemen itu tidak dilakukan untuk mengubah hal-hal lain, termasuk penyelenggaraan pemilu presiden.
Kepentingan
Sejumlah parpol pun terlihat memiliki kepentingan sendiri-sendiri terkait dengan amendemen UUD 1945. Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengatakan, sebelum amendemen dilakukan, perlu ada kesepakatan bersama di antara sembilan partai yang pada periode mendatang akan menduduki kursi di MPR.
Partai Gerindra sudah menyampaikan keinginannya untuk mengamendemen UUD 1945 hingga kembali kepada bentuk aslinya. Artinya, MPR kembali menjadi lembaga tertinggi negara serta pemilihan presiden dan wapres kembali dilakukan secara tak langsung.
Ia berharap, amendemen tidak dibatasi pada satu pasal saja terkait GBHN dan mengabaikan potensi perubahan lainnya. ”Kita harus kontemplasikan supaya jangan hanya mengubah untuk kepentingan jangka pendek dan kelompok tertentu saja. Jadi, harus dibuat opsi lebih besar,” ujar Fadli.
Sementara itu, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) masih mengkaji urgensi amendemen UUD 1945, terutama karena rencana perubahan yang saat ini masih ambigu dan belum mengerucut.
Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera menyebutkan, wacana amendemen perlu dipikirkan matang-matang. Apalagi, wacana mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara bisa bertentangan dengan kedaulatan rakyat yang tergambar melalui pemilu langsung.
Senada dengan Mardani, peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Fajri Nursyamsi, juga mempertanyakan urgensi amendemen konstitusi. Gagasan itu pun dipandang berpotensi merusak sistem presidensial karena dengan menempatkan kembali MPR sebagai lembaga tertinggi, MPR bisa memberhentikan presiden jika tidak melaksanakan GBHN atau haluan negara.
Sistem presidensial, lanjutnya, lebih tepat dalam membawa Indonesia ke alam yang lebih demokratis karena presiden bertanggung jawab kepada pemilihnya, bukan kepada lembaga lain.