Niat amendemen ditentang di antaranya karena tak sejalan dengan sistem pemerintahan presidensial yang dianut Indonesia, berpotensi mengubah sistem pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung, dan GBHN yang hendak dihidupkan melalui amendemen melawan prinsip pentingnya partisipasi publik dalam pemerintahan.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Niat amendemen terbatas Undang-Undang Dasar 1945 untuk menghadirkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara dan mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara ditentang sejumlah akademisi dan masyarakat sipil. Amendemen memundurkan perjalanan sistem pemerintahan yang sudah semakin demokratis.
”Tidak ada urgensi untuk mengamendemen UUD 1945 saat ini,” kata pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, dalam diskusi bertajuk ”Amendemen Konstitusi Kepentingan Rakyat atau Berebut Kuasa?”, di Jakarta, Rabu (14/8/2019).
Selain Bivitri, hadir pula sebagai pembicara Direktur Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif Veri Junaedi, Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari, Profesor Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Mochtar Pabottingi, dan peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia Agil Oktarial.
Seperti diberitakan sebelumnya, sejumlah partai politik berkeinginan untuk melakukan amendemen terbatas UUD 1945. Salah satu yang paling getol adalah PDI-P. PDI-P ingin amendemen menempatkan MPR sebagai lembaga tertinggi negara yang berwenang menyusun GBHN.
Bivitri menjelaskan, amendemen konstitusi semestinya memperhatikan dua hal, yaitu berasal dari usulan rakyat dan berdampak konkret terhadap kehidupan masyarakat. Contohnya, amendemen pertama yang dilakukan pada 1999 dipicu oleh tuntutan masyarakat untuk melengserkan rezim otoriter.
Adapun wacana amendemen kelima berasal dari partai politik. Menurut dia, hal tersebut mengindikasikan bahwa nilai-nilai yang diperjuangkan sebatas untuk kepentingan elite dalam hal distribusi kekuasaan.
Sistem presidensial
Bivitri menambahkan, poin-poin amendemen bertentangan dengan sistem pemerintahan presidensial yang dianut Indonesia.
Soal keinginan menghidupkan kembali GBHN, misalnya, MPR tidak bisa memberlakukan dokumen tersebut sebagai panduan pembangunan yang harus dilaksanakan oleh pemerintah. Pasalnya, presiden dan wakil presiden dipilih oleh rakyat, bukan MPR.
Situasinya berbeda dengan masa Orde Baru atau sebelum UUD 1945 diamendemen. Kala itu, presiden wajib menaati GBHN sebagai mandat dari MPR karena ia dipilih oleh lembaga tersebut. Jika melanggar, presiden juga bisa dimakzulkan oleh MPR.
Dalam wacana yang mengemuka, partai politik juga belum menegaskan konsekuensi yang ditanggung presiden jika melanggar GBHN.
”Jika GBHN hanya menjadi dokumen yang tidak berimplikasi apa-apa, lalu untuk apa dibuat?” ujar Bivitri.
Parpol berkuasa
Menurut Amsari, keberadaan Pancasila dan UUD 1945 sudah cukup untuk menjadi haluan dan panduan untuk menjalankan negara. Penciptaan haluan baru, seperti GBHN, yang bisa diubah kapan pun oleh MPR menandakan adanya ketidaksinkronan antara presiden dan partai politik.
”Kita sudah berkomitmen untuk membangun sistem pemerintahan presidensial yang meletakkan pusat kekuasaan di tangan presiden. Dengan wacana amendemen ini, Indonesia seperti ingin menjalankan sistem presidensial, tetapi ketua umum parpol tetap berkuasa,” ujar Amsari.
Bagi Junaedi, wacana melahirkan kembali GBHN justru bisa jadi pintu masuk untuk mengamendemen pasal lainnya dalam UUD 1945, termasuk mengembalikan sistem pemilihan presiden dan wakil presiden secara tidak langsung seperti berlaku di masa Orde Baru.
Jika sistem pemilihan presiden secara langsung diubah menjadi tidak langsung, hal itu akan sangat merugikan. Sebab, Indonesia berpeluang memiliki pemimpin dari generasi baru pada 2024.
Kemunduran
Amendemen yang bertujuan menghidupkan kembali GBHN, kata Agil, akan membawa sistem pemerintahan Indonesia pada sejumlah kemunduran. Pertama, sistem presidensial yang telah dibangun bertahun-tahun akan kembali pada sistem parlementer.
”Dengan sistem parlementer, aspirasi rakyat kepada presiden akan tersumbat karena kita hanya bisa berurusan dengan parlemen, keputusan presiden pun amat bergantung pada parlemen,” ujar Agil.
Selain itu, keberadaan GBHN membuat dokumen perencanaan pembangunan menjadi tumpang tindih. Selama ini sudah ada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 yang didasarkan pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017 tentang RPJPN Tahun 2005-2025.
”Keberadaan GBHN juga akan melawan prinsip partisipasi publik dalam pemerintahan,” kata Agil.
Mochtar menambahkan, penyusunan GBHN tidak mampu menjawab kebutuhan pembangunan berkesinambungan. ”Gagasan itu sudah usang, sudah kedaluwarsa kalau kita harus kembali pada UUD 1945 sebelum amendemen,” ujarnya.
Dalam terminologi filsafat, GBHN sebagai panduan negara justru menempati posisi sebagai idee fix atau cara pandang tetap dan enggan memperhatikan perkembangan kondisi politik untuk mengubah langkah pembangunan.
Oleh karena itu, capaian pembangunan nasional yang sudah baik selama lima tahun terakhir bisa jadi tak berlanjut. ”Keberhasilan (pembangunan) akan terancam jika ada tarik menarik kepentingan politik terus-menerus,” kata Mochtar.
Proses amendemen
Sebelumnya, Wakil Ketua MPR dari Fraksi PDI-P Achmad Basarah mengatakan, MPR telah sepakat mengamendemen konstitusi secara terbatas. Amendemen hanya untuk menempatkan MPR sebagai lembaga tertinggi negara yang berwenang menyusun GBHN.
Namun, untuk merealisasikan kesepakatan itu, tak mungkin dilakukan oleh MPR masa jabatan 2014-2019. Hal ini karena berdasarkan Pasal 112 Ayat (4) Tata Tertib MPR disebutkan bahwa perubahan UUD 1945 tidak dapat diajukan dalam kurun waktu enam bulan sebelum berakhirnya masa keanggotaan MPR. MPR 2014-2019 sudah akan berakhir Oktober 2019.
”Untuk itu, harapannya bisa dilanjutkan oleh MPR periode berikutnya. Kami berharap komposisi pimpinan dan anggota MPR yang akan datang betul-betul dapat membuat skala prioritas agenda lima tahun ke depan dan yang utama adalah melakukan amendemen terbatas untuk menghadirkan kembali kewenangan MPR untuk menetapkan GBHN,” kata Basarah.