Museum Waktu yang Meleleh
Harta paling berharga yang tersisa di bekas rumah itu adalah sebuah jam dinding yang meleleh dengan jarum waktunya menunjuk angka 12.05. Rumah yang kemudian dijadikan museum itu memberikan narasi tentang waktu yang mengingatkan kita pada tragedi masa lalu.
Jam di rumah Sriyanto menunjuk angka 12.05. Dusun Petung, Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman, sudah beberapa hari ditinggal penghuninya.
Ratusan warga mengungsi ke barak-barak yang disiapkan Pemerintah DI Yogyakarta. Beberapa hari sebelumnya, Dusun Kinahrejo, yang hanya berjarak 3 kilometer dari puncak Merapi, menjadi abu setelah diterjang wedhus gembel.
Wedhus gembel tak lain sebutan untuk awan panas yang keluar dari kawah Merapi saat erupsi dan menyerupai bulu domba yang pekat. Pada 26 Oktober 2010, sore hari, juru kunci Gunung Merapi Mbah Maridjan turut menjadi korban. Bersamanya meninggal pula 30-an warga lainnya.
Pada 5 November 2010, tepat pada pukul 12.05 terjangan wedhus gembel mengarah ke lereng selatan. Rumah Sriyanto dan seluruh Dusun Petung, luluh-lantak jadi debu. Beberapa waktu setelah erupsi yang menelan korban lebih dari 200 orang itu, Sriyanto membekukan waktu.
Ia ingin mengenang peristiwa yang menghancurkan rumahnya dengan memungut kembali sisa-sisa barang di dalam rumahnya. Maka berdirilah Museum Mini Sisa Hartaku di bekas rumahnya.
Harta paling berharga yang tersisa di bekas rumahnya itu, sebuah jam dinding yang meleleh dengan jarum waktunya menunjuk angka 12.05.
Beberapa waktu setelah erupsi yang menelan korban lebih dari 200 orang itu, Sriyanto membekukan waktu.
Pada waktu itulah sepasang sapi peliharaan Sriyanto, sepeda dan sepeda motor, alat-alat dapur, televisi, botol-botol, gambar wayang, uang logam, buku-buku, serta seperangkat gamelan meleleh oleh suhu yang mencapai 800 derajat celsius.
Dari pintu museum mini itu kita bisa memasuki waktu saat-saat Gunung Merapi meradang dan mengeluarkan wedhus gembel. Kita tak hanya melahap kenangan soal tragedi, tetapi detik-detik waktu yang seolah berhenti. Dengan demikian, Museum Mini Sisa Hartaku menjelma menjadi tugu peringatan tentang keganasan waktu: tepat pada pukul 12.05.
Mitologi tentang waktu sebenarnya telah diturunkan sebelum agama-agama besar lahir di dunia. Sistem penanggalan Bali, yang sekarang dianut secara ketat oleh orang Bali, bermula dari mitologi tentang seorang raja sakti mandraguna bernama Watugunung.
Watugunung memperoleh anugerah kesaktian dari Dewa Brahma sehingga ia tidak mempan oleh senjata tajam. Suatu hari, ibunya, Sinta, sedang menanak nasi di dapur.
Mitologi tentang waktu sebenarnya telah diturunkan sebelum agama-agama besar lahir di dunia.
Watugunung yang kelaparan merengek meminta makan. Nasihat ibunya yang memintanya untuk sabar tidak meredakan nafsu laparnya.
Secara membabi buta kemudian Watugunung menghabiskan makanan yang belum sepenuhnya matang. Saat itulah Sinta memukul kepalanya dengan sendok nasi sampai berdarah. Pukulan itu menyisakan bekas di kepala Watugunung, yang dibawanya sampai dewasa.
Watugunung minggat dari rumah. Ia kemudian dikenal sebagai penakluk raja-raja besar. Bahkan, ia juga akhirnya menaklukkan bekas kerajaan ayahnya, di mana ibunya menjadi raja. Sebagai kerajaan taklukan, Sinta dengan sangat terpaksa mengikuti keinginan Watugunung untuk menjadi istrinya.
Pada suatu hari, Sinta akhirnya tahu bahwa Watugunung adalah anak kandungnya sendiri. Terjadilah perkawinan inses yang dalam mitologi Yunani dilakukan oleh Oedipus terhadap ibunya yang bernama Iokaste.
Perkawinan Oedipus dan Iokaste yang berlangsung selama puluhan tahun membuat para dewa Olimpus marah. Maka diciptakanlah bencana terus-menerus di Kerajaan Thebes.
Mitologi Watugunung melahirkan sistem pawukon, yang memisahkan antara wuku ke-30 (Watugunung) dan wuku ke-1 (Sinta) agar tragedi tidak berulang. Maka tepat pada hari Saniscara (Sabtu) Umanis Watugunung, yang akan jatuh setiap 210 hari, dirayakan sebagai Hari Raya Saraswati.
Pada hari inilah Dewa-Dewi Kahyangan akan memberikan berkahnya untuk menyucikan manusia dari perbuatan tak senonoh. Secara populer, Saraswati dirayakan sebagai hari turunnya ilmu pengetahuan, di mana diharapkan manusia memperoleh pencerahan.
Sebenarnya, mitologi Watugunung juga mengandung pesan pelarangan pernikahan antara anak dan ibu kandung, yang kemudian disebut sebagai inses. Ilmu psikologi yang merujuk pada mitologi Yunani, menyebut seseorang dengan kecenderungan psikologis menyukai perempuan yang lebih tua darinya sebagai oedipus complex.
Kedua mitologi ini memang tak berhubungan langsung dengan cara Sriyanto mendirikan Museum Mini Sisa Hartaku di Dusun Petung. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, dusun itu menjadi ramai dikunjungi para wisatawan. Orang-orang Merapi bergeliat secara cepat dan menyembuhkan diri sendiri dari luka dengan menggeber Lava Tour Merapi.
Baca juga: Salon Artjog
Anda cukup menyewa sebuah jip tua dengan sopir dan pemandu yang tangkas untuk kemudian mengikuti petualangan menuju situs-situs tragedi di sekitar lereng Merapi. Konon, kini jumlah jip tua di lereng Merapi sudah mencapai lebih dari 500 buah. Jumlah yang fantantis, bukan?
Tentu saja situs yang paling mencekam dan menegangkan, ketika Anda singgah di bekas rumah Sriyanto. Di dalam museum mini ini, waktu seperti dibekukan. Anda akan kembali ke tanggal 5 November 2010, di mana wedhus gembel bergulung-gulung menerjang permukiman warga. Jejak-jejak perjalanan wedhus gembel itulah yang kini diperingati dalam sebuah museum.
Kita akan melihat kerangka dua ekor sapi, kerangka besi sepeda motor dan sepeda onthel, televisi serta botol-botol yang meleleh. Di sudut lainnya terdapat seperangkat gamelan yang peyot. Sementara yang agak selamat adalah tokoh-tokoh wayang, seperti Hanoman dan Semar yang terbuat dari kulit.
Tepat setelah memasuki pintu depan, mata Anda akan tertumbuk pada sebuah jam yang digantung di dinding. Di situlah waktu berhenti berdetak ketika menujuk angka: 12.05!
Baca juga: Fenomena Koma
Bukankah Museum Mini Sisa Hartaku di Dusun Petung akan lahir menjadi narasi kontemporer tentang waktu, yang telah mengingatkan kita pada tragedi masa lalu, yang jika boleh, tidak akan terulang kembali.
Begitu pulalah mitologi Watugunung dan Oedipus memberikan pelajaran penting bagi keadaban hidup manusia. Setiap Saniscara Umanis Watugunung, yang jatuhnya 210 hari sekali, kita akan mencerahkan diri dengan mereguk sebanyak-banyaknya ilmu pengetahuan sehingga lahir menjadi manusia-manusia yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berakhlak tinggi dan berbudi.