Soal Netflix dan Youtube, KPI Tak Paham Undang-Undang
Komisi Penyiaran Indonesia atau KPI menerima petisi penolakan masyarakat terkait wacana pengawasan media digital berbasis internet, yakni Netflix, Youtube, dan Facebook.
Oleh
Sekar Gandhawangi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Penyiaran Indonesia atau KPI menerima petisi penolakan masyarakat terkait wacana pengawasan media digital berbasis internet, yakni Netflix, Youtube, dan Facebook. Penolakan terjadi karena pengawasan media penyiaran digital ada di luar wewenang KPI. Para penggagas petisi menilai KPI tak memahami Undang-Undang Penyiaran ataupun aturan lain yang menjadi dasar keinginan mereka mengawasi konten media digital.
Petisi penolakan masyarakat diterima Wakil Ketua KPI Mulyo Hadi Purnomo di Jakarta, Rabu (14/8/2019). Petisi berjudul ”Tolak KPI Awasi Youtube, Facebook, Netflix!” diserahkan oleh penggagas petisi, Dara Nasution. Hingga pukul 17.00, ada 79.230 orang yang menandatangani petisi itu melalui situs Change.org.
”Kami mengapresiasi (petisi) ini. Kami akan membahas ini dalam rapat ketika semua jajaran KPI telah kembali. Jawaban atas petisi ini akan kami sampaikan pada 21 Agustus 2019,” kata Mulyo. Saat itu, Ketua KPI Agung Suprio tengah berada di luar negeri.
Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, KPI bertanggung jawab atas siaran melalui frekuensi publik, yakni televisi dan radio. Sementara itu, Netflix, Youtube, dan Facebook disiarkan melalui jaringan internet.
Pada awal Agustus 2019, Agung menyampaikan bahwa KPI akan mengawasi media-media baru berbasis internet. Sebab, Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) yang selama ini menjadi basis pengawasan KPI belum menjangkau media baru. Pedoman itu menyasar media konvensional, yakni televisi dan radio.
Menurut Agung, saat diwawancarai pada Minggu (12/8/2019), pengawasan dilakukan agar konten siaran tidak memuat unsur yang melanggar undang-undang, seperti kekerasan dan terorisme. Mekanisme pengawasan akan mengadaptasi cara pengawasan terhadap media konvensional.
”Kami sedang menunggu penafsiran kata ’media lain’ yang ada dalam undang-undang. Ini menjelaskan pula jangkauan (wewenang) KPI,” kata Agung, Minggu.
Salah tafsir
Direktur Pusat Studi Media dan Komunikasi Remotivi Yovantra Arief mengatakan, penafsiran kata ’media lain’ yang dilakukan KPI tidak tepat. KPI menafsirkan kata itu berdasarkan Undang-Undang Pers, sedangkan ranah KPI diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
Dalam Undang-Undang Pers, kata ”media lain” merujuk pada media digital. Namun, penafsiran yang sama tidak bisa diaplikasikan pada Undang-Undang Penyiaran karena media digital ada dalam ranah jurnalisme, bukan penyiaran.
”Masalah dasarnya adalah mereka (KPI) tidak memahami wilayah kedua undang-undang. Jika mereka masuk ke ranah digital, maka akan tumpang tindih dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektroik (ITE). Undang-undang itu juga mengatur soal konten dan telah diampu oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika,” tutur Yovantra.
Ia menambahkan, mengawasi media digital tidak bisa disamakan dengan mengawasi televisi dan radio. Kelengkapan perangkat teknologi diperlukan untuk mengawasi konten di media digital. Di sisi lain, KPI belum memiliki kelengkapan itu.
”Pengawasan itu tidak masuk akal jika dilakukan menggunakan cara manual seperti yang dilakukan KPI selama ini. Yang penting adalah membuat pedoman, lalu disosialisasikan kepada Youtube dan lainnya,” kata Yovantra.
Penafsiran kata ’media lain’ yang dilakukan KPI tidak tepat. KPI menafsirkan kata itu berdasarkan Undang-Undang Pers, sedangkan ranah KPI diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
Menurut dia, KPI juga harus menjelaskan eksklusivitas konten audio visual yang hendak diawasi. Pasalnya, konten di media digital berbasis internet juga ada dalam bentuk lain, salah satunya teks.
Harapan
Penggagas petisi sekaligus politisi Partai Solidaritas Indonesia, Dara Nasution, berharap aspirasi ribuan warga didengar KPI. Ia juga berharap KPI menghentikan wacana untuk mengawasi media baru.
Langkah KPI ini dinilai bisa membatasi kebebasan berekspresi dan kebebasan anak muda untuk memilih hiburan. Selain itu, menurut Dara, KPI belum mampu melaksanakan kewajiban untuk menyaring konten berkualitas di televisi.
”Jika KPI ingin mengawasi media baru demi karakteristik bangsa, kita harus tanyakan lagi pada mereka. Apakah sinetron itu mewakili kepribadian bangsa? Kepribadian apa yang dimaksud KPI apabila konten ini dibiarkan begitu saja?” katanya.