Perserikatan Bangsa-Bangsa akhirnya menyoroti kekerasan dalam unjuk rasa pro demokrasi yang terjadi di Hong Kong selama 10 minggu terakhir. Pemerintah Hong Kong diimbau untuk menahan diri dan menyelidiki kasus-kasus kekerasan tersebut.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·3 menit baca
GENEVA, SELASA — Perserikatan Bangsa-Bangsa akhirnya menyoroti kekerasan dalam unjuk rasa pro demokrasi yang terjadi di Hong Kong selama 10 minggu terakhir. Pemerintah Hong Kong diimbau untuk menahan diri dan menyelidiki kasus-kasus kekerasan tersebut.
Komisaris Tinggi PBB untuk HAM Michelle Bachelet, melalui pernyataan tertulis, Selasa (13/8/2019), mengimbau agar Otoritas Hong Kong bertindak dengan terukur. Aspek ini diperlukan untuk memastikan hak mengekspresikan pendapat dihormati.
Pada saat bersamaan, Otoritas Hong Kong juga harus memastikan respons penegak hukum terhadap kekerasan berlangsung dengan tepat. Selain itu, penanganan kekerasan juga perlu sesuai dengan standar internasional, seperti prinsip kebutuhan dan proporsionalitas kekuatan.
”Pemimpin Hong Kong menyatakan akan mendengarkan keluhan warga Hong Kong. Otoritas dan warga Hong Kong perlu berdialog secara terbuka dan inklusif untuk menyelesaikan permasalahan dengan damai untuk mencapai stabilitas politik dan keamanan publik jangka panjang,” ujar Bachelet.
Kantor Hak Asasi Manusia PBB juga menyoroti kekerasan yang terjadi dalam unjuk rasa. Dalam pernyataan tersebut, PBB menyatakan telah mengkaji ulang sejumlah bukti kredibel bahwa petugas penegak hukum menggunakan senjata dengan cara yang dilarang oleh standar internasional.
Sebagai contoh, petugas terlihat menembakkan gas air mata ke arah pengunjuk rasa serta kawasan padat dan ramai dalam beberapa kejadian. Tindakan ini dapat menyebabkan luka serius bahkan kematian.
”Kami mengimbau Otoritas Hong Kong untuk menyelidiki insiden ini secepatnya. Dan, jika diperlukan, mengubah aturan penanganan protes yang tidak sesuai standar internasional,” kata Bachelet.
Petugas menembakkan gas air mata ke arah pengunjuk rasa serta kawasan padat dan ramai dalam beberapa kejadian. Tindakan ini dapat menyebabkan luka serius bahkan kematian.
Kepolisian dan pengunjuk rasa beberapa kali terlibat dalam kerusuhan. Polisi menggunakan semprotan merica, gas air mata, peluru karet, dan tongkat untuk membubarkan unjuk rasa. Para pengunjuk rasa tidak jarang merespons dengan lemparan batu.
Puluhan pengunjuk rasa ditahan dan terluka dalam beberapa insiden. Terakhir, seorang perempuan pengunjuk rasa ditembak di salah satu mata sehingga buta permanen.
Juru bicara Michelle Bachelet, Rupert Colville, juga menanggapi istilah ”benih terorisme tumbuh di Hong Kong” yang digunakan Pemerintah China terkait aksi unjuk rasa yang membuat Bandara Internasional Hong Kong tutup pada Senin (12/8/2019). ”Penggunaan retorika seperti itu hanya akan memanaskan dan memperburuk situasi,” tuturnya.
Kantor Hak Asasi Manusia PBB menyatakan telah berkomunikasi dengan pejabat Pemerintah Hong Kong dan China mengenai situasi di Hong Kong.
Kembali tutup
Untuk kedua kalinya, Bandara Internasional Hong Kong kembali tutup pada Selasa (13/8/2019). Penerimaan penumpang ditunda sejak pukul 16.30 waktu setempat. Ribuan pengunjuk rasa yang mengenakan penutup wajah hitam kembali memenuhi bandara.
Para pengunjuk rasa berteriak, bernyanyi, dan mengayunkan spanduk. Lantai dan tembok bandara ditutupi berbagai tulisan dan kertas. Mereka kembali memberikan penjelasan kepada para penumpang mengenai tujuan unjuk rasa, yaitu Hong Kong yang lebih demokratis.
Unjuk rasa di bandara berlangsung sejak pekan lalu. Pengunjuk rasa berupaya untuk menarik dukungan internasional.
”Saya rasa melumpuhkan bandara akan menjadi cara efektif mendorong Carrie Lam merespons tuntutan kami. Strategi ini dapat menekan perekonomian Hong Kong,” kata Dorothy Cheng (17), salah satu pengunjuk rasa.
Sejak awal Juni 2019, warga Hong Kong melakukan aksi protes untuk menolak rancangan perubahan undang-undang ekstradisi yang diusulkan Pemerintah Hong Kong. Setelah berhasil menunda amendemen RUU ini, warga menuntut agar RUU Ekstradisi dicabut dan Kepala Eksekutif Hong Kong Carrie Lam mengundurkan diri.
RUU Ekstradisi yang diusulkan dapat membuat Hong Kong mengekstradisi warganya dan warga asing ke China. China menganut hukum dan sistem peradilan yang berbeda sehingga dikhawatirkan memiliki pemahaman lain mengenai kebebasan berpendapat, kebebasan pers, dan hak asasi manusia.
Hong Kong menjadi bagian dari China sejak diserahkan Inggris pada 1997. China dan Hong Kong adalah satu negara dengan dua sistem pemerintahan yang berbeda. Hong Kong baru akan melebur ke dalam China pada 2047.
Dalam konferensi pers, Lam menyatakan, Beijing masih memercayainya untuk meredakan situasi di Hong Kong. Meski demikian, sebuah video keamanan menunjukkan militer Beijing mulai berkumpul di sekitar perbatasan Hong Kong. (Reuters/AP)