Dalam Enam Bulan, Tujuh Kali Lokasi Minyak Ilegal Meledak
Sebuah sumur dan kolam penampungan hasil tambang minyak ilegal dalam kawasan taman hutan raya di Kabupaten Batanghari meledak, Selasa (13/8/2019).
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·3 menit baca
JAMBI, KOMPAS — Sebuah sumur dan kolam penampungan hasil tambang minyak ilegal dalam kawasan taman hutan raya di Kabupaten Batanghari meledak, Selasa (13/8/2019). Musibah akibat praktik liar itu telah tujuh kali terjadi dalam enam bulan terakhir, tetapi tak kunjung mendapatkan penanganan serius.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Batanghari Parlaungan Nasution mengatakan, ledakan terjadi sekitar pukul 11.00 WIB dalam Tahura Sultan Thaha Syaifuddin yang merupakan wilayah kerja pertambangan (WKP) PT Pertamina (Persero). Adapun kegiatan produksi minyak WKP tersebut dikerjakan PT Prakarsa Betung Meruo Senami.
”Penyebab ledakan belum dapat kami ketahui, tetapi saya sedang turunkan petugas mengecek ke lokasi kejadian,” katanya.
Public Relations and Government Relations and Assistant Manager Pertamina EP Asset I Jambi, Andrew, membenarkan soal ledakan tersebut. Menurut dia, ledakan itu akibat adanya percikan api ke dalam sebuah kolam terbuka penampungan minyak hasil tambang ilegal. ”Kolam penampungan yang seluruhnya berisi minyak itu meledak karena tepercik api,” ujarnya.
Ledakan itu berjarak 50 meter dari salah satu sumur pengeboran PBMS. Tetapi, sejauh ini, ledakan tersebut dilaporkan tidak mengganggu aktivitas sumur bor perusahaan.
Ledakan berulang
Parlaungan menambahkan, tambang minyak ilegal dalam tahura sudah sangat meresahkan. Sejak mulai marak tahun 2017, aktivitas itu sulit dihentikan karena berlangsung terorganisasi.
Praktik liar itu pun kerap menimbulkan kecelakaan. Selama 2019 ini, sudah tujuh kali terjadi ledakan, baik dari sumur, kolam penampungan, maupun usaha pengolahan minyak hasil pengeboran liar dari tahura.
Pihaknya telah berulang-ulang melaporkan soal masifnya aktivitas itu kepada Pemerintah Provinsi Jambi dan pemerintah pusat. Tim terpadu bahkan sudah dibentuk, mulai dari tingkat provinsi hingga gabungan pusat dan daerah. Namun, hingga kini belum ada penanganan optimal yang berhasil menghentikannya.
Ketua Lembaga Pemantau Penyelamat Lingkungan Hidup (LP2LH) Tri Joko menambahkan, areal tahura yang dirambah untuk aktivitas tambang minyak ilegal itu bahkan terus meluas. Awal tahun ini, areal tambang liar diketahui luasnya 50 hektar.
Sebulan terakhir, luasnya sudah naik empat kali lipat. ”Hasil pemetaan kami Juli lalu, luas tahura yang dirambah untuk tambang minyak ilegal sudah lebih dari 200 hektar,” katanya. Jumlah sumur bor lebih dari 3.000 titik.
Pekan lalu, pihaknya kembali melaporkan secara resmi praktik liar tersebut kepada Presiden dengan surat tembusan ke berbagai instansi berwenang di Jakarta. ”Di daerah nyaris belum ada upaya penegakan hukum yang berarti sehingga kami meminta pemerintah pusat untuk turun tangan,” katanya.
Kepala Teknis Migas Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Jambi Zulfahmi sebelumnya menegaskan bahwa pengeboran minyak ilegal harus ditertibkan. Tidak ada opsi legalisasi tambang rakyat di wilayah itu. Sebab, legalisasi bagi tambang rakyat hanya dapat diberikan terhadap sumur-sumur tua peninggalan Belanda.
Hal itu mengacu Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2008. Disebutkan bahwa sumur-sumur tua yang dibuka sebelum tahun 1970 dan tidak lagi beroperasi dapat dikelola masyarakat. Syaratnya, masyarakat membentuk badan usaha. Selanjutnya, hasil tambang minyak wajib dijual kepada Pertamina. Saat ini, ada 76 sumur tua yang belum dikelola di Jambi.