JAKARTA, KOMPAS — Sektor pariwisata menjadi harapan untuk meraih devisa. Bahkan, sektor yang neracanya selalu surplus ini diarahkan untuk membantu menekan defisit transaksi berjalan.
Berdasarkan Neraca Pembayaran Indonesia yang dirilis Bank Indonesia, neraca jasa perjalanan selalu surplus. Jasa perjalanan menghitung pengeluaran pelawat dari luar negeri di Indonesia dan pelawat Indonesia yang ke luar negeri.
Selama ini, surplus neraca perjalanan menekan defisit neraca jasa sehingga bisa membantu mengurangi defisit transaksi berjalan. Namun, surplus jasa perjalanan pada triwulan II-2019 tertekan menjadi di bawah 1 miliar dollar AS.
Peningkatan defisit perdagangan jasa menjadi 3,8 miliar dollar AS sepanjang semester I-2019 dari sebelumnya 3,4 miliar dollar AS pada periode sama 2018 patut diwaspadai. Tantangan besar dihadapi dalam mendorong ekspor jasa untuk memperbaiki kondisi tersebut.
Analis kebijakan dari Indonesia Services Dialogue, Muhammad Syarif Hidayatullah, mengingatkan, surplus yang mengecil ini mesti diwaspadai.
”Jumlah pelawat yang ke luar negeri pada semester I-2018 sekitar 4,6 juta orang, yang naik menjadi 5,2 juta orang pada semester I-2019,” katanya di Jakarta, Senin (12/8/2019).
Hal senada disampaikan Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal.
Menurut dia, secara struktural, defisit neraca jasa lebih banyak disumbang jasa transportasi, khususnya barang dan penumpang. Adapun surplus jasa perjalanan yang terkait dengan sektor pariwisata menjadi peredam defisit neraca jasa.
”Salah satu penyebabnya kenaikan harga tiket pesawat di dalam negeri. Dampaknya, orang-orang yang semula ingin berwisata di dalam negeri menjadi ke luar negeri,” kata Faisal.
Menurut Syarif, untuk meningkatkan kunjungan wisatawan mancanegara, mesti ada katalis berupa kegiatan yang diselenggarakan pemerintah. Langkah ini tidak boleh dihentikan agar kunjungan wisman terus meningkat.
Sebanyak 7,828 juta wisman berkunjung ke Indonesia pada Januari-Juni 2019 atau naik 4,01 persen secara tahunan.
”Hal ini agar ekspor jasa pariwisata kita bisa lebih baik. Destinasi pariwisata yang ditetapkan pemerintah, seperti 10 Bali Baru, harus benar-benar dikembangkan,” katanya.
Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi B Sukamdani menyebutkan, pasar dalam negeri mendorong sektor pariwisata dan industri terkait. Namun, upaya mendatangkan wisman harus terus dilakukan.
Menagih komitmen
Salah satu cara yang dilakukan Pemerintah RI untuk menjaring wisman adalah menyusun kalender kegiatan wisata. Kalender ini disusun Kementerian Pariwisata dari 100 kegiatan wisata terbaik di Tanah Air.
Kendati demikian, kalender kegiatan wisata ini belum berjalan baik. Ada sejumlah daerah yang berhasil menjaring wisman dan wisatawan Nusantara melalui kegiatan wisata. Akan tetapi, ada juga daerah yang gagal menjaring wisatawan karena daerah belum memiliki komitmen.
Tenaga Ahli Menteri Pariwisata Bidang Manajemen Calendar of Events Esthy Reko Astuti mengatakan, sejumlah agenda acara yang masuk dalam 100 kalender kegiatan wisata Indonesia harus dibatalkan.
”Hal ini disayangkan dan semestinya jadi pembelajaran untuk teman-teman di daerah,” kata Esthy.
Ia mengatakan, suatu acara masuk kalender kegiatan wisata berarti sudah melewati proses kurasi yang sangat ketat. Selain itu, Kementerian Pariwisata juga mendukung dalam bentuk promosi di dalam negeri dan luar negeri.
”Namun, faktanya, setelah promosi dilakukan dan industri pariwisata telah menjual acara tersebut, jadwalnya diundur,” ujarnya.
Esthy menambahkan, pihaknya akan mempertimbangkan kelalaian pembuat acara yang telah masuk di dalam kalender kegiatan wisata, tetapi tidak mampu merealisasikannya. Kendati pembatalan acara tidak terlalu banyak, kondisi itu menandakan ada daerah yang belum berkomitmen menggelar kegiatan wisata.
Hal senada juga disampaikan Deputi Bidang Pengembangan Pemasaran I Kementerian Pariwisata Rizki Handayani. ”Banyak acara yang dimulainya terlambat karena kepala daerah tidak kunjung hadir. Mundur jamnya sehingga penonton bosan menunggu dan bubar. Ketika kegiatan wisata sudah dibuka, kepala daerah langsung pamit karena ada pekerjaan lain. Acara pun berjalan sendiri,” kata Rizki.
Selain itu, anggaran yang disiapkan untuk kalender kegiatan wisata lebih dialokasikan untuk hal lain, misalnya konsumsi. Padahal, ada hal yang lebih penting, seperti kostum penampil acara.
Adapun Ketua Umum DPP Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (Asita) Rusmiati mengakui, tidak semua acara menarik bagi wisatawan asing.