Sanksi yang Erat Memasung
Sebagai kekuatan adidaya, Amerika Serikat tidak sekadar didukung kemampuan militer yang menggentarkan. Washington pun memiliki dollar dan jejaring ekonomi yang mampu mengikat pesaing.
Menteri Keuangan Amerika Serikat John Connally pada 1971 pernah berkata, ”Dollar AS adalah mata uang kami, walakin jadi masalah Anda.”
Pernyataan itu seolah jadi mantra yang membuat AS sangat perkasa dengan sanksi-sanksi yang dikenakan. Pada 1979, AS mengenakan beragam sanksi kepada Iran selepas Revolusi Februari 1979. Washington menyita aset Iran, termasuk uang yang dikirim Teheran ke AS. Uang itu sedianya untuk membayar senjata pesanan Iran saat di bawah pemerintahan Shah Reza Pahlevi. Senjata tak dikirim, uang disita.
Hingga saat ini pun sanksi yang membelit Iran itu membuat berbagai pihak turut dilarang bertransaksi dengan Iran. Tak hanya itu, sejumlah negara membekukan kekayaan Iran.
Kala kesepakatan nuklir (JCPOA) ditandatangani, Juli 2015, nilai aset Iran yang dibekukan sejumlah negara ditaksir sekurang-kurangnya 100 miliar dollar AS. Sejatinya, saat JCPOA ditandatangani, Iran berpeluang besar mencairkannya.
Namun, keputusan AS keluar dari JCPOA membuat penyerahan aset-aset itu kembali mengambang. Apalagi, AS malah menerapkan serangkaian sanksi baru kepada Teheran. Terbaru diumumkan pada Rabu (31/7/2019) dalam bentuk pembekuan aset-aset Menteri Luar Negeri Iran Javad Zarif di AS atau yang dikelola badan hukum AS.
Seperti sebelumnya, sanksi oleh AS akan menyulitkan targetnya bergerak di dunia yang semakin terhubung ini. Nilai perdagangan Indonesia-Iran anjlok dari hampir 2 miliar dollar AS pada periode 2010-2011 menjadi tak sampai 200 juta dollar AS per tahun pada 2014-2015. Menteri Koordinator Perekonomian RI Darmin Nasution menyebut, tak ada bank berani memfasilitasi perdagangan dengan Iran gara-gara sanksi Washington kepada Teheran.
Eropa, yang beberapa negaranya adalah sekutu AS, sekalipun tidak berani melanggar sanksi AS. Eropa kebingungan mencari cara bertransaksi dengan Iran tanpa melanggar sanksi AS. Instex, yang dibuat Eropa dan digadang-gadang sebagai mekanisme transaksi untuk menyiasati sanksi itu, tidak jelas kapan bisa dipakai.
Eropa belum melupakan denda hampir 9 miliar dollar AS yang dijatuhkan AS kepada bank Perancis, BNP Paribas, pada 2014. Selain dikenai denda, BNP juga dilarang mengakses sistem kliring dollar AS di wilayah hukum AS. Sanksi itu dijatuhkan karena BNP dinilai terbukti membantu pencucian uang untuk negara-negara dalam daftar sanksi AS, termasuk Iran.
Globalisasi terpusat
Denda BNP memang besar dan pembekuan aset merugikan secara finansial. Walakin, bukan itu yang mematikan. Larangan mengakses sistem keuangan AS yang membuat sanksi oleh Washington demikian menakutkan banyak pihak.
Meski ada peribahasa kejujuran adalah mata uang yang berlaku di mana saja, di dunia nyata, dollar AS yang jelas diterima sebagai alat pembayaran oleh orang dan pihak lintas negara lintas benua.
Berbagai perusahaan dari beragam penjuru bumi tidak hanya menjual produk dan jasa yang hanya menerima dollar AS sebagai alat pembayaran. Mereka juga membayar pembelian bahan mentah dan pasokan cadangan dengan dollar AS. Mereka meminjam dan menyimpan dollar AS untuk kegiatan usaha.
Dominasi dollar AS
Banyak komoditas diperdagangkan dengan menggunakan dollar AS sebagai alat pembayaran. Bahkan, emas juga ditransaksikan dalam mata uang dollar AS.
Hampir seluruh transaksi dollar AS harus melewati sistem kliring di AS, seperti CHIPS milik asosiasi di New York atau FedWire milik Bank Sentral AS. CHIPS, FedWire, dan pengelola kliring lain yang lebih kecil di AS adalah bagian dari sistem keuangan AS. Singkatnya, New York menjadi ”pusat globalisasi” karena menjadi pencatatan dollar AS yang dipakai di mana saja. Setiap transaksi akan terlacak dari siapa, oleh siapa, untuk siapa.
Larangan mengakses sistem keuangan AS sama saja dengan larangan memakai dollar AS. Bagi BNP, sanksi mengakses sistem kliring AS sama saja dengan tidak bisa menangani bisnis energi yang menyumbang 5 persen omzet bank itu pada 2014.
Selepas dikenai sanksi mengakses sistem kliring AS, BNP meminta pertolongan kepada bank-bank besar lain. Semua membalikkan punggung dan menjauh karena tidak mau bernasib serupa dengan bank Perancis itu.
Mantan pejabat Kementerian Keuangan AS yang kini menjadi pengurus Council for Foreign Relations, Jonathan Masters, menyebut pihak yang dikenai sanksi AS sama saja divonis mengidap penyakit amat menular. Oleh karena itu, harus dijauhi. Sanksi ekonomi AS merusak reputasi pihak yang disasar dan hal itu menyulitkan dalam tatanan global yang semakin terhubung seperti sekarang. (AP/REUTERS)