omisi Penyiaran Indonesia tengah menunggu penafsiran lebih lanjut dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Ini merupakan tindak lanjut dari wacana pengawasan KPI terhadap media-media baru.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Penyiaran Indonesia tengah menunggu penafsiran lebih lanjut dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Ini merupakan tindak lanjut dari wacana pengawasan KPI terhadap media-media baru.
Wacana ini pertama kali dikatakan oleh Ketua KPI periode 2019-2022 Agung Suprio saat pengukuhan komisioner KPI, awal Agustus 2019. Hal ini dirasa perlu mengingat banyaknya media baru, misalnya Netflix, Youtube, dan Facebook. Menurut dia, konten-konten pada media itu belum diawasi hingga saat ini.
”Kami pikir harus ada peran lembaga (pemerintah) dalam hal ini. Sampai saat ini, kami masih menunggu tafsir hukum atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Penafsiran ini bisa menjelaskan bahwa media baru itu bisa dijangkau KPI,” kata Agung saat dihubungi dari Jakarta, Senin (12/8/2019).
UU tersebut menyatakan KPI sebagai pihak yang berwenang di bidang penyiaran. Menurut konteks saat UU disusun, siaran tersebut mencakup televisi, radio, dan media lainnya. Frasa ”media lainnya” kini sedang ditafsirkan maknanya.
Agung mengatakan, frasa itu bisa ditafsirkan sebagai media digital. Namun, ia menerima pendapat berbeda-beda dari sejumlah ahli terkait frasa itu.
UU itu juga menjelaskan tentang lembaga penyiaran berlangganan (LPB). Lembaga ini menyiarkan konten melalui tiga medium, yakni satelit, kabel (termasuk serat optik), dan secara terestrial.
”Media baru biasanya menggunakan internet untuk siaran. Sementara LPB mengatur soal siaran melalui kabel, termasuk serat optik. Serat ini juga digunakan untuk internet,” kata Agung.
KPI akan melakukan diskusi kelompok terfokus (FGD) bersama para ahli untuk membahas tafsiran UU terkait. Agung menambahkan, wacana pengawasan yang akan dilakukan KPI mirip seperti pengawasan terhadap media konvensional.
Ia mengatakan, pengawasan tidak berarti menegur pembuat konten ataupun melarang media baru. Pengawasan dilakukan untuk mencegah kebocoran konten berisi, antara lain, ajakan terorisme dan kekerasan. Kebocoran konten nanti akan ditanggung oleh penanggung jawab media tersebut.
Saat dihubungi secara terpisah, Kepala Biro Humas Kementerian Komunikasi dan Informatika Ferdinandus Setu mengatakan, KPI harus memastikan legitimasi hukum dari wacana pengawasan ini. Selain itu, KPI juga harus memastikan ketersediaan sumber daya jika nanti diberi wewenang untuk mengatur media baru.
”Misalnya, di Kominfo punya tim untuk mengawasi dan mengais konten hoaks serta pornografi (di internet). Kami juga punya mesin untuk mengidentifikasi, verifikasi, dan validasi konten yang melanggar ketentuan undang-undang. KPI harus memastikan mereka punya sumber daya manusia dan peralatan agar peran pengawasan bisa dijalankan,” kata Ferdinandus.
KPI juga harus memastikan ketersediaan sumber daya jika nanti diberi wewenang untuk mengatur media baru.
Selama ini, konten di platform serupa Youtube dan media digital lainnya diawasi oleh Kementerian Kominfo. Ferdinandus mengatakan, Kementerian Kominfo akan tunduk pada UU jika frasa di dalamnya telah ditafsirkan.
Petisi penolakan
Di sisi lain, sejumlah warga internet menandatangani petisi penolakan wacana pengawasan KPI terhadap media baru. Hingga kini, ada lebih dari 63.600 orang yang menandatangani petisi melalui situs change.org.
Penggagas petisi, Dara Nasution, mengatakan, Netflix dan Youtube menjadi alternatif tontonan masyarakat karena kinerja KPI yang dinilai buruk. Tayangan televisi dinilai tidak mendidik karena menampilkan tayangan yang tidak mendidik, penuh sandiwara, dan sensasional.
”Banyak orang yang beralih ke konten digital adalah bukti kegagalan KPI menertibkan lembaga penyiaran. KPI seharusnya mengevaluasi diri,” kata Dara seperti dikutip di laman change.org.
Sementara itu, Agung Suprio mengapresiasi sikap demokratis para warganet melalui petisi ini. Menurut dia, ini juga menjadi tamparan bagi pihak televisi konvensional untuk meningkatkan kualitas konten.