P Swantoro, lengkapnya Polycarpus Swantoro, seorang sejarawan yang cermat terhadap sumber, tulis Jakob Oetama, rekan kerjanya selama puluhan tahun. Pernyataan itu disampaikan Jakob Oetama dalam pengantar Dari Buku ke Buku: Sambung Menyambung Menjadi Satu karya Swantoro, terbit pada 2002 oleh Kepustakaan Populer Gramedia atau KPG dan Rumah Budaya Tembi.
Hubungan Swantoro dan Jakob sangat dekat. Tak hanya dari waktu, tetapi juga intensitas dan ekstensivitas pertemuannya. Mereka saling melengkapi, didukung faktor latar belakang yang sama. Pendidikan humaniora yang kuat, satu asrama, meminati sejarah; sama-sama ingin jadi pastor, mundur, beralih ingin jadi guru, dan akhirnya menjadi wartawan.
Ada titik temu antara sejarawan dan wartawan. Profesi itu sama-sama menggumuli peristiwa, sumber, waktu, tempat, lingkungan, keadaan, efek, dan interpretasi. Segala peristiwa berfokus sebagai peristiwa manusia. Lebih dari dalil jurnalistik klasik, 5W+1H.
Mereka berdua, ide awal dari Jakob, menambahkan seberapa jauh dan bagaimana olah berita bermanfaat bagi kemaslahatan manusia. Jurnalisme makna.
Selama lebih dari 20 tahun Swantoro di kantor, dari pagi hingga tengah malam, saat harian Kompas siap cetak. Jakob beredar di banyak tempat, situasi, dan masalah yang berkembang setelah Petrus Kanisius Ojong, rekan Jakob sebagai pendiri/perintis Kompas Gramedia, meninggal pada 31 Mei 1980.
Untuk manajemen Redaksi Kompas, Jakob memercayai Swantoro. Ada perbedaan antara keduanya. Compassion atau sikap bela rasa Jakob sangat kuat. Pekerjaan masih dibawa pulang. Swantoro bisa memilah. Jakob selalu menulis Tajuk Rencana saat urusan krusial terjadi. Ia sering tak bisa tidur. Swantoro sebaliknya.
”Saya anjurkan Pak Jakob bisa ngebo, atau ndableg, tetapi tak bisa,” katanya, pada suatu kesempatan. ”Pak Jakob memiliki emotion intelellegency,” kata Swantoro tentang Jakob.
Bagi pekerjaan jurnalistik, kata Jakob, sejarah memberi perspektif. Swantoro mengamini pendapat rekannya, sejarah adalah kisah manusia. Melalui bukunya, Dari Buku ke Buku…, Swantoro mengajak pembaca melakukan penjelajahan di taman bunga. Ia ingin menulis buku yang bisa berdiri, setebal 435 halaman. Dan, memang buku itu bisa berdiri.
Swantoro meringkas pandangan sejarawan tentang Indonesia, dari abad ke-17 hingga tahun 2000-an. Sekitar 200 buku jadi sumber, karya asli, dan sebagian besar berbahasa Belanda.
Buku itu tak dipinjam dari perpustakaan, tetapi dicari lewat perantaraan orang atau blusukan sendiri ke pasar loak. Lewat buku ini, ia ingin berceritera tentang sejarah manusia. Ia melakukan penulisan sejarah ”dari bawah”. Sejarah memberi perspektif dalam kerja jurnalistik.
Metode yang pernah dirumuskan oleh sejarawan Sartono Kartodirdjo, perlunya penulisan sejarah secara historiografis, dilakukannya. Sejarawan dari UGM itu dan Pater Zoetmulder SJ, ahli Jawa—dua ilmuwan yang dikagumi Swantoro—menekuni askese intelektual dalam kerja keilmuan.
Lewat buku Dari Buku ke Buku…, ia menyediakan celah-celah berpikir lebih jauh tentang suatu masalah. Ia melakukan kritik terhadap sumber-sumber itu; sesuatu yang berat harus dilakukan oleh sejarawan, kata Hilmar Farid saat peluncuran buku ini, tahun 2002.
Seorang yogi
Bersama buku kedua, Masa Lalu Selalu Aktual, setebal 424 halaman, diterbitkan KPG dan Rumah Budaya Tembi tahun 2007, lengkaplah olah pikir Swantoro tentang sejarah manusia. Lewat buku, Swantoro melakukan yoga. Buku ini merupakan kumpulan tulisan dalam rubrik Fokus yang terbit di harian Kompas Minggu tahun 1979-1989.
Lewat buku, pembaca memperoleh kisah dan perspektif yang komprehensif tentang berbagai peristiwa manusia selama 10 tahun itu. Tak hanya peristiwa di Indonesia, tetapi juga di sejumlah negara. Melengkapi buku sebelumnya, Jakob menyebut Swantoro seorang yogi. Ibarat guru yoga, Swantoro melakukan senam dan gerakan yoga dalam sejarah dengan perspektif kemanusiaan.
Dunia buku terkait tulis-menulis melekat dengan jati diri Swantoro. Lahir pada 26 Januari 1932 di Wates, Kulon Progo, DI Yogyakarta, ia lulus dari Seminari Mertoyudan tahun 1953 dan meneruskan novisiat di Girisonta, 1953-1954. Sejak di kedua lembaga pendidikan itu, Swantoro akrab dengan dunia pustaka.
Swantoro mundur sebagai calon Jesuit dan masuk kelas III di SMA Albertus Malang, lulus tahun 1955. Sambil kuliah di IKIP Sanata Dharma (kini Universitas Sanata Dharma) tahun 1955-1959, pernah diminta menangani majalah Penabur di Jakarta saat Jakob belajar masalah perburuhan di Amerika Serikat.
Baru tahun 1960 Swantoro meneruskan kuliah di Fakultas Sastra (kini Fakultas Ilmu Budaya) UGM. Di UGM, status sarjana muda IKIP Sanata Dharma tak diakui. Ia memulai dari kelas persiapan.
Selain kuliah, ia juga membantu majalah Basis, Praba, Rohani, dan Intisari. Swantoro juga mengajar di SMA dan beberapa perguruan tinggi, termasuk IKIP Negeri Yogyakarta. Prof Dr A Syafii Maarif, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, setiap bertemu dengannya selalu mengatakan, ”Pak Swantoro ini dosen saya di IKIP dahulu.”
Tulis-menulis menjadi profesi profesional saat diajak Jakob menangani Kompas pada 1966, beberapa bulan setelah Kompas terbit pada 28 Juni 1965. Selain sebagai Wakil Pemimpin Redaksi dan Wakil Pemimpin Umum, Swantoro juga menduduki beberapa jabatan penting di Kompas Gramedia sampai pensiun efektif pada 2002.
Bagi rekan-rekan di Kompas, Swantoro merupakan pribadi yang lugas. Ketika rapat atau memberi penugasan, senantiasa jelas baik tujuan maupun target serta caranya. Tak mengenal kata abu-abu, tetapi hitam atau putih.
Sang Yogi itu pergi dalam damai, di rumahnya di Kompleks Wartawan, Cipinang, Jakarta Timur, Minggu (11/8/2019) pukul 03.30. Ia meninggal saat tidur di sisi istrinya, Rosa Antonia Kusmardijah (84)! Sang yogi itu meninggalkan istri, tiga putra, dan cucu. Selamat jalan Pak P Swantoro.