Betawi Tersisih, Jakarta Merugi
Hingga kini, Betawi masih lekat dengan predikat kampungan dan tersisih. Stigma yang coba terus dilawan, termasuk lewat film dan sinetron, bahkan sejak masa sebelum kemerdekaan negeri ini.
Hingga kini, Betawi masih lekat dengan predikat kampungan dan tersisih. Stigma yang coba terus dilawan, termasuk lewat film dan sinetron, bahkan sejak masa sebelum kemerdekaan negeri ini.
Dalam buku Katalog Film Indonesia 1926-2007 yang disusun JB Kristanto, orang Betawi sudah muncul di layar perak sejak era film bisu. Cerita Nyai Dasima dan Si Pitung mendominasi.
Selepas Orde Lama, film Matjan Kemajoran (1967) tenar yang berlanjut dengan film Djampang (1969), Dasima dan Samiun (1970), serta Si Pitung (1970). Tren ini berlanjut ke dekade 1970-an, orang Betawi kian mendapat tempat di film Indonesia. Namun, di dunia nyata, apakah juga sama?
Kajian Komunikasi Antarbudaya Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, seperti dikutip dari Kompas.id, 21 Juli 2019, menyatakan, orang Betawi cenderung malu pada identitas etnisnya.
Hal itu di antaranya disebabkan stigmatisasi yang terbentuk di media bahwa Betawi digambarkan dengan citra negatif seperti ”nyablak” dan ”kampungan”. Kondisi itu menimbulkan kegelisahan terutama soal eksistensi dan pelestarian budaya Betawi.
Baca juga: Peneliti, Orang Betawi Cenderung Malu pada Identitas Etnisnya
Penulis sekaligus kritikus film Ade Irwansyah mengatakan, kebudayaan Betawi pada 1970-an kembali menggeliat dan hidup setidaknya melalui pentas-pentas kesenian, seperti lenong. Hingga kemudian lahirlah sosok Betawi melegenda, Benyamin Sueb.
”Suasana kebatinan masa itu menggambarkan masyarakat Betawi telah tersisih, tetapi pada saat bersamaan yang serba Betawi mulai ditengok dan diminati publik kembali. Sebetulnya Betawi sudah tersisih, padahal usia Republik Indonesia masih muda. Ini artinya, Betawi sudah terpinggirkan sejak lama,” ujar Ade.
Popularitas Benyamin sepanjang 1970-an pula yang membuat tren ”yang serba Betawi” tak surut. Si Doel, anak Betawi yang berpendidikan meski kedua orangtua dan lingkungan sekitarnya tidak demikian, ada sejak 1973.
Ade menuturkan, film itu hendak melawan stigma negatif yang melekat pada masyarakat Betawi. Terutama terkait dengan ”ketinggalan zaman” dan ”tak berbudaya” yang lekat dengan lagu soundtrack Si Doel. Sjuman Djaya lalu mengangkat cerita Si Doel Anak Modern (1976). Doel diperankan Benyamin, melompat dari Betawi kampung menjadi modern.
Di kebanyakan film-film berlatar Betawi tahun 1970-an, tutur Ade, orang Betawi sibuk dengan persoalan identitas, melawan stigma negatif, ataupun berupaya eksis di tengah modernitas. Persoalan orang Betawi sebagaimana lazimnya manusia dengan segudang persoalan lain nyaris tak disentuh.
Hal itu terus berlangsung melewati dekade 1980-an, 1990-an, dan saat ini.
Ade juga menganalisis film seperti Benyamin Biang Kerok yang menggambarkan anak Betawi kaya, manja, dan suka menghamburkan uang.
”Yang luput dari berbagai protes atas film itu, ada isu identitas dan eksistensi kebetawian di sana. Di film itu sebuah keluarga Betawi digambarkan kaya raya, hidup dengan gadget canggih. Seolah sebuah anomali ada orang Betawi hidup teramat berkecukupan,” kata Ade.
Hikmat Darmawan, kritikus film sekaligus Ketua Komite Film Dewan Kesenian Jakarta, mengatakan, dari masa ke masa, stereotipe orang Betawi lekat dengan kejawaraan, jago berkelahi, dan lainnya. Padahal, Betawi punya banyak intelektual yang jarang ditampilkan.
Dari masa ke masa, stereotipe orang Betawi lekat dengan kejawaraan, jago berkelahi, dan lainnya. Padahal, Betawi punya banyak intelektual yang jarang ditampilkan.
Baca juga: Lembaga Kebudayaan Betawi Dorong Pelestarian Sastra Lisan
Perasaan asing yang dirasakan Hikmat juga muncul pada tayangan seri Lenong Rumpi. Menurut dia, gambaran orang Betawi di film itu terlalu dibuat-buat dan tampak keterasingan terhadap budaya Betawi dalam dunia nyata.
Tersisih fisik dan mental
Asal muasal orang-orang Betawi dalam film dan media lain, seperti novel dan cerpen, kata Hikmat, tentu berakar dari stereotip orang Betawi sejak masa Hindia Belanda.
”Dalam lanskap imajiner yang dominan dalam bacaan resmi masa itu, orang Betawi adalah liyan, pribumi di pinggir arena. Posisi imajiner orang Betawi berkaitan dengan stratifikasi sosial dan sistem kelas yang berlaku secara resmi di Hindia Belanda, dengan kaum pribumi yang berada di kelas terbawah masyarakat,” kata Hikmat.
Ade melanjutkan, permasalahan yang muncul karena secara fisik ataupun mental orang Betawi tersisih dan terpinggirkan. Bagi orang Betawi, wacana penting adalah pengakuan eksistensi, gugatan pada pembangunan dan modernitas yang tidak merangkul mereka.
Juara Stand Up Comedy Indonesia musim keempat, David Nurbianto, sebagai Betawi asli, menuturkan, orang Betawi tidak menolak modernitas, tetapi perlu berjalan dan menjaga nilai luhur.
”Apa kita bisa menemukan rambutan di Kampung Rambutan? Jakarta dulu wilayah yang banyak ditumbuhi beraneka ragam pepohonan, kapuk, kebon jeruk, kemanggisan, karet, menteng, gandaria. Semua tinggal nama saja. Ada nilai luhur yang ditanamkan oleh orang Betawi agar menjaga kelestarian, itu bagian dari budaya kami,” kata David.
Ada nilai luhur yang ditanamkan oleh orang Betawi agar menjaga kelestarian. Itu bagian dari budaya kami. (David Nurbianto)
Ia melanjutkan, kemodernan dan laju urbanisasi memaksa pohon-pohon hilang. Ketiadaan pohon-pohon tidak hanya menyingkirkan orang Betawi, tetapi juga menghilangkan ekosistem sosial, budaya, hingga lingkungan.
”Sekarang dampak negatif dari modernitas siapa yang merasakan? Bukan hanya kami, melainkan juga seluruh warga Jakarta. Kota kita terlalu berisik dengan suara klakson, pertumbuhan kendaraan tidak terbendung, begitu pula dengan bangunan. Akhirnya macet dan polusi. Kita rugi semua dan sekarang baru ribut, mengeluh, dan mulai mengampanyekan atau bertindak. Lah, loe pade ke mane aje dulu?” kata David.