Betawi Punya Cerita
Petikan lirik lagu sinetron Si Doel Anak Sekolahan itu secara tersurat mengungkapkan stigmatisasi etnis Betawi. Penggambaran tokoh dan karakter di media massa kerap memunculkan stigma negatif di masyarakat. Beberapa di antaranya orang Betawi dianggap ”nyablak”, ”kampungan”, dan ”norak”.
”Anak Betawi ketinggalan zaman, katenye. Anak Betawi nggak berbudaye, katenye…”
Petikan lirik lagu sinetron Si Doel Anak Sekolahan itu secara tersurat mengungkapkan stigmatisasi etnis Betawi. Penggambaran tokoh dan karakter di media massa kerap memunculkan stigma negatif di masyarakat. Beberapa di antaranya orang Betawi dianggap ”nyablak”, ”kampungan”, dan ”norak”.
Sebagai orang asli Jakarta, etnis Betawi nyaris selalu terpinggirkan dan terstigma. Sejumlah generasi muda Betawi mengakui, mereka terus terdesak oleh pendatang. Eksistensi mereka seolah terus dibayangi para perantau di Jakarta.
Raisa (30), warga keturunan etnis Betawi, mengatakan, orang Betawi memang sudah tersingkirkan oleh pendatang di tanahnya sendiri. Kebudayaannya pun sudah mulai tergerus meski beberapa orang masih memegang tradisinya dengan kuat.
Perempuan asli Karet Tengsin, Tanah Abang, ini mengamini bahwa penggambaran tokoh Betawi dalam film memang kerap memunculkan stigma negatif. Namun, ia memilih untuk bersikap cuek.
”Saya tetap bangga menjadi orang Betawi. Dan, kalau di keluarga, walau hanya dalam acara-acara besar, tradisi terus dipertahankan,” ujar Raisa.
”Saya tetap bangga menjadi orang Betawi. Dan, kalau di keluarga, walau hanya dalam acara-acara besar, tradisi terus dipertahankan,” ujar Raisa.
Di keluarga Raisa, tradisi masih dijaga kuat terutama saat Idul Fitri, ada orang menikah, meninggal, dan sunatan. Misalnya saja, saat ada keluarganya menikah selalu ada tradisi membuat sayur penganten dan palang pintu. Demikian juga saat Idul Fitri, keluarganya masih kerap membuat penganan tradisional dodol ketan. Saat berkumpul di waktu Lebaran, anggota keluarga juga kerap berbalas pantun.
Baca juga : Peneliti, Orang Betawi Cenderung Malu Pada Identitas Etnisnya
”Nggak hanya boleh makan dodol terus enak. Tapi harus ngerti kenapa dodol warnanya item itu karena ngaduknya kudu sebelah kanan, nggak boleh kiri,” kata Raisa.
Bagi Raisa, menjaga nilai luhur budaya Betawi sangatlah penting. Nilai luhur Betawi yang masih ia pegang teguh adalah silaturahmi dan menjaga ibadah. Tradisi dan kekayaan kuliner Betawi pun, menurut dia, harus terus dilestarikan. Namun, untuk tradisi yang bersifat konservatif dan tidak sesuai dengan tantangan zaman, hal itu bisa dikesampingkan. Misalnya, terlalu kolot terhadap aturan adat istiadat sehingga membatasi ruang gerak orang Betawi untuk maju.
”Jangan sampai anak cucu ane entar enggak ngerti ngaduk dodol, bikin kue geplak, atau tape uli. Ngakunya orang Betawi, tetapi enggak mencerminkan Betawi. Kan, bahaya,” kata Raisa.
Sementara itu, hasil penelitian Kajian Komunikasi Antarbudaya Puslit Masyarakat dan Budaya Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menunjukkan, justru orang-orang bikultural atau anak hasil perkawinan antaretnis di Jakarta bangga dengan etnis Betawi. Mereka juga aktif berkegiatan dalam menjaga dan melestarikan budaya Betawi lewat kuliner dan media sosial.
Anak-anak hasil perkawinan antaretnis di Betawi cenderung malu mengakui identitas etnisnya sebagai orang Betawi. Hal itu, antara lain, disebabkan oleh stigmatisasi yang terbentuk di media bahwa orang Betawi digambarkan dengan citra negatif, seperti ”nyablak” dan ”kampungan”.
Baca juga : Lembaga Kebudayaan Betawi Dorong Pelestarian Sastra Lisan
Halimatusa\'diah, peneliti LIPI yang meneliti tentang komunikasi individu bikultural di Jakarta, menyebutkan bahwa anak-anak hasil perkawinan antaretnis di Betawi justru mengidentifikasi dirinya dengan identitas orangtuanya yang lebih unggul. Mereka bahkan malu mengakui identitasnya sebagai orang Betawi.
”Kalau orang Betawi sendiri malu sebagai etnis Betawi, siapa yang akan melanjutkan budaya ini?” ujar Halimatusa\'diah dalam diskusi bertema ”Orang Betawi dan Perhimpoenan Orang Betawi” di Setu Babakan, Minggu (21/7/2019).
”Kalau orang Betawi sendiri malu sebagai etnis Betawi, siapa yang akan melanjutkan budaya ini?” ujar Halimatusa\'diah.
Peneliti yang juga keturunan Betawi itu mengungkapkan, di sisi lain justru anak-anak yang berasal dari perkawinan nonetnis Betawi, tetapi tinggal dan terpapar budaya Betawi, bangga menyandang identitas itu. Mereka dengan pengalamannya secara sadar mendefinisikan diri sebagai orang Betawi.
Hal itu karena sebenarnya orang tersebut tidak memiliki ikatan yang kuat oleh akar budayanya sendiri. Sementara itu, secara sosial manusia memiliki kebutuhan untuk mengikat diri pada kelompok tertentu. Di Indonesia, kelompok yang paling kuat adalah kelompok budaya.
Beberapa alasan yang dikemukakan oleh narasumber bikultural memilih kesadaran etnis Betawi adalah sikap keterbukaan dan toleransi yang kuat, agama Islam sebagai perekat identitas, serta bahasa yang terlihat dari logat Betawi sebagai penanda kuatnya ikatan kultural.
”Mereka juga merasa nyaman, diterima, dan sesuai dengan agama yang mereka anut, yaitu agama Islam. Betawi di mata mereka merepresentasikan egaliter, terbuka, dan religius,” ujar Halimatusa\'diah.
”Mereka juga merasa nyaman, diterima, dan sesuai dengan agama yang mereka anut, yaitu agama Islam. Betawi di mata mereka merepresentasikan egaliter, terbuka, dan religius,” ujar Halimatusa\'diah.
Kebanggaan orang nonetnis Betawi akhirnya mendorong mereka untuk aktif menjaga dan melestarikan budaya Betawi. Ada yang mendalami kuliner, seperti kerak telor, dan memperkenalkan hingga ke mancanegara. Ada pula yang aktif di sosial media Youtube dengan memuat konten-konten budaya Betawi.
Kondisi ini diharapkan ikut mendorong etnis Betawi terutama generasi millenial untuk mau mengenal apa itu budaya Betawi sehingga mereka tidak malu dengan identitasnya sebagai orang Betawi. Selain itu, mereka nantinya juga akan menjadi pewaris, penjaga, dan pelestari budaya Betawi agar tidak punah.
Menurut Halimatusa\'diah, sejumlah strategi yang bisa dilakukan komunitas Betawi adalah menyampaikan pesan dengan cara yang menyenangkan bahwa citra Betawi tidak melulu buruk seperti yang digambarkan di media. Ruang diskusi harus dihidupkan dengan konten yang mengena pada generasi milenial. Dengan demikian, mereka mau mengenal dan mencintai identitasnya sendiri.
Kiprah politik Betawi
Sementara itu, dosen sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Siswantari Sijono, mengemukakan, pada masa lampau identitas Betawi muncul sejak tahun 1923 melalui Perhimpoenan Kaoem Betawi.
Ada tiga orang yang sangat berperan dalam menjalankan organisasi itu, yaitu Muhammad Husni Thamrin, Muhammad Masserie, dan Abdul Manaf. Sebelum muncul perhimpunan itu, masyarakat Betawi lebih sering menyebut dirinya berdasarkan identitas tempat tinggal, seperti orang Kemayoran, orang Kebayoran, orang Tambun, orang Depok, dan sebagainya.
Sejumlah faktor penyebab lahirnya Perhimpoenan Kaoem Betawi adalah Batavia yang menjadi kota pergerakan pribumi pada masa sebelum kemerdekaan. Apalagi, di Batavia saat itu sudah ada sekolah dokter STOVIA yang memegang peranan penting dalam kemajuan pendidikan.
Kemudian, muncul organisasi pemuda dan politik yang bersifat kedaerahan, seperti Jong Java ataupun Jong Sumatranane Bond. Hal itu kemudian mendorong pemuda-pemudi Betawi untuk membentuk solidaritas kebetawian mereka dengan membentuk Perhimpoenan Kaoem Betawi.
”Perhimpunan Kaoem Betawi eksis hingga akhir Hindia Belanda. Hal itu dapat dilihat dari majalah terbitan organisasi ini, yaitu Tjahaja Betawi dan Berita Kaoem Betawi. Majalah ini memberikan informasi secara berkala bahwa perhimpunan itu tetap aktif sampai masa akhir Hindia Belanda,” kata Siswantari.
Kemudian, pada awal abad ke-20, kaum Betawi mengalami proses kemunduran karena aset tanah mereka dikuasai partikelir orang asing. Orang Betawi kemudian mundur dari masa kesuburan dan kemakmurannya. Rumah-rumah, tanah pekarangan, dan perniagaan jatuh ke tangan orang asing. Orang Betawi saat itu juga lebih tertarik kepada pendidikan agama dibandingkan pendidikan formal.
”Dulu pada masa penjajahan, gerakan politik Betawi lebih banyak dipengaruhi oleh ketokohon yang punya pengaruh kuat di zaman pergerakan, seperti MH Thamrin, Masserie, dan Abdul Manaf,” kata Siswantari.
Kini, selayaknya yang tergambar dalam film Si Doel Anak Sekolahan, orang Betawi kian terpinggirkan. Secara geografis, mereka semakin tinggal ke pinggiran Jakarta karena tergusur proyek infrastruktur pemerintah ataupun swasta. Dari sisi budaya pun, para budayawan Betawi khawatir lama kelamaan tradisi dan budaya mereka dapat tergerus perkembangan zaman.
Padahal, dengan budayanya, Betawi sebenarnya aset bagi DKI Jakarta. Sebab, setiap kota tetap membutuhkan identitas otentik, yang bisa diisi oleh Betawi. Namun, syaratnya, orang Betawi harus mau maju, tampil, percaya diri, dan bangga. Jangan sampai orang Betawi justru malah malu mengakui identitas etnisnya.