Agus Gundamanah Menarikan Zaman
Tari bagi Agus Gandamanah adalah sebuah ungkapan hati yang diekspresikan lewat gerak. Melalui koreografinya, dia menyampaikan sejuta makna dan pesan.
Tari bagi Agus Gandamanah adalah sebuah ungkapan hati yang diekspresikan lewat gerak. Melalui koreografinya, dia menyampaikan sejuta makna dan pesan.
Kiprah Agus atau yang kerap disapa Mpap Gondo (50) dalam dunia koreografi tak bisa dipandang sebelah mata. Sosoknya menjadi kunci dalam berbagai acara tarian di layar kaca televisi nasional dan festival tari kolosal di Jawa Barat. Ide dan kreativitasnya selalu dinanti para penari.
Keseriusannya terlihat saat melatih para penari di Purwakarta, Jawa Barat, Jumat (2/8/2019) malam. Koreografi tari menong karya Gondo itu ditarikan sekitar 15 anak muda yang tergabung dalam berbagai sanggar seni di Purwakarta. Sorot mata Gondo begitu tajam memperhatikan setiap gerakan para penari. Sesekali ia mendekat ke arah mereka untuk memperbaiki gerakan yang dirasanya kurang tepat.
”Gerakana kurang rengkuh (menekuk). Energi ayo ditambah. Coba adeg-adegna (kuda-kudanya) diperbaiki,” katanya mengingatkan.
Baginya, keselarasan antara gerakan dan musik sangatlah penting. ”Setiap gerakan yang dilakukan dalam tari itu harus dirasakan sang penari. Kesalahan kecil akan memengaruhi gerakan selanjutnya, keseriusan dalam latihan menentukan bagaimana saat pentas,” kata Gondo.
Gondo memulai perjalanan seninya sejak duduk di bangku kelas II sekolah dasar. Dia sangat menyukai dunia tari. Gondo pun kerap mengisi acara di kampung halamannya dengan menyuguhkan tari. Terlahir dari keluarga yang mencintai seni, maka tak heran jika kecintaan Gondo terhadap seni begitu mengakar kuat.
Berkat dukungan pamannya, ia ingin mengasah diri dengan bergabung di Dapur Seni Gema Manunggal Bandung. Potensi Gondo dalam bidang tari begitu memukau, bahkan Asep Syafaat, pelatihnya saat itu, menjadikan Gondo sebagai asisten tari di sanggarnya.
Gondo kian mantap menggeluti dunia seni. Hingga suatu ketika ia pulang membawa piala untuk diperlihatkan kepada ayahnya untuk menunjukkan keseriusannya dalam bidang seni. Namun, mimpinya tak mendapat dukungan dari sang ayah yang bekerja sebagai pengusaha sepatu. Bekerja di dunia seni dianggap bermasa depan suram.
Gondo sempat menuruti permintaan ayahnya. Ia pun pernah menjadi pegawai di dinas dan perusahaan swasta. Namun, ia tak betah hanya bekerja di balik meja. ”Pekerjaan itu memang membanggakan bagi orangtua, tapi hati saya berkata lain. Saya memilih ikuti suara hati dengan segala konsekuensinya,” ucap Gondo.
Gondo terus menempa diri agar semakin berkembang. Kala itu Gondo tak memiliki biaya untuk menempuh pendidikan formal seni. Ia pun menyiasatinya dengan ikut kelas kuliah di salah satu akademi seni di Bandung secara diam-diam. Baginya, teori bisa dipelajari dan didapat dari mana saja.
Selain berbekal teori itu, Gondo juga belajar dari sejumlah penari kawakan. Kerap kali ia memperhatikan gerakan para penari legendaris dari berbagai daerah untuk menambah pengetahuan. Mengenali berbagai tari Nusantara semakin memperkaya ide-idenya.
Inspirasi
Dari awal hingga kini, karya ciptaan Gondo memiliki ciri khas yang membedakan antara karyanya yang dulu dan sekarang. Proses kreativitasnya berkembang seiring perubahan zaman.
Untuk pertama kalinya, pada tahun 1986, ia menelurkan karya bernama BreakPong (Breakdance Jaipong). Kala itu, tarian breakdance dari budaya Barat sedang digandrungi para remaja. Gondo pun memadukan gerakan patah-patah dari breakdance dan tari jaipong.
Karya pertamanya mendapat sambutan positif dari masyarakat, khususnya anak muda. Ia semakin teguh untuk menciptakan kreasi-kreasi lain. Karya kontemporer ciptaannya antara lain jaipong acapella (tarian jaipong tanpa iringan kendang dan gamelan, tapi diganti dengan suara manusia), tari komedi topeng rehe, dan tari komedi niku (nini-nini kuat).
Bagi Gondo, inspirasi gerakan bisa diperoleh dari mana saja, misalnya dari interaksi dengan orang-orang yang ia temui, isu yang menjadi tren, hingga melamun sendirian. Satu koreografi setidaknya membutuhkan waktu penyelesaian sekitar 1-3 bulan.
Setiap gerakan yang tercipta tidak serta-merta lahir karena demi keindahan. Ada makna, rasa, dan karsa yang melebur di dalamnya. Misalnya, tari komedi niku garapannya merupakan bentuk ungkapan hatinya. Dalam tarian ini digambarkan seorang nenek tua yang energik dan gembira menari bersama teman-temannya menggunakan tongkat.
”Tarian itu mewakili ekspresi jiwa saya dan beberapa pelaku seni, sampai tua nanti tetap setia untuk menggeluti dunia seni,” ujarnya. Ia baru saja mendapat penghargaan Penata Tari Terbaik dalam Pasanggiri Upacara Adat Se-Jabar 2019.
Perjalanan kreativitas Gondo tak selamanya mulus. Banyak suara negatif yang menyudutkan dirinya karena dianggap berani melanggar pakem-pakem tari tradisional. Namun, ia tak ambil pusing dengan hal itu. Menurut dia, karya-karyanya tetap memasukkan unsur-unsur utama. Adapun tujuan lainnya adalah mengajak kaum muda agar mencintai tari seni tradisional.
Hal tersebut kian memotivasi Gondo untuk terus produktif dalam menghasilkan karya. Kritikan dalam sebuah karya merupakan hal yang lumrah. Sebab, menurut Gondo, hal itu menandakan bahwa karyanya diperhatikan.
Pada tahun 2010, Gondo pun mendirikan sanggar seni bernama Klinik Tari Gondo Art Production. Hingga saat ini, sudah ada 50 penari yang telah lulus dari sanggar itu. Lewat sanggar ini, Gondo ingin mencetak generasi-generasi muda penerus budaya tari Sunda.
”Tarian itu mewakili ekspresi jiwa saya dan beberapa pelaku seni, sampai tua nanti tetap setia untuk menggeluti dunia seni,” ujarnya. Dia baru saja mendapat penghargaan Penata Tari Terbaik dalam Pasanggiri Upacara Adat Se-Jabar 2019.
Mancanegara
Tak hanya di dalam negeri, karya Gondo juga dinikmati masyarakat mancanegara. Dia menjadi penata tari Jaipongan pada acara Pasar Malam Tong-Tong di Den Haag Belanda (1996), penata tari Indonesian Art and Culture Schoolarship Asia tenggara dan Eropa timur bersama Saung Angklung Udjo (2002), penata tari misi kesenian ke Den-Haag Belanda dan Hongaria bersama Disbudpar Provinsi Jawa Barat (2007).
Akan tetapi, semuanya tak membuat lupa Tanah Air-nya. Belakangan ia sibuk membesarkan Festival Goyang Karawang 2019 yang akan digelar pada September nanti. Festival itu melibatkan lebih dari 10.000 penari untuk memecahkan Museum Rekor Dunia Indonesia (Muri).
Bagi Gondo, ada suatu kebahagiaan tersendiri saat karyanya dibawakan apik oleh para penari. ”Saat mereka bisa menikmati setiap gerakan dan gembira, saya ikut bahagia karena kerja keras semua anggota terbayar,” ucapnya.
Dirinya tak pernah puas pada satu karya, hingga tua nanti ia tetap ingin mengeksplorasi ide dan kreativitasnya. Saat ini, Gondo juga tengah menyiapkan karya khusus sebagai penanda kiprahnya di dunia tari. Konsep tarian ini telah ia mulai sejak 2010, dan direncanakan tahun 2020 dirilis.
Melalui tari, Gondo seolah ingin mengajak masyarakat untuk semakin mencintai budaya khas daerahnya. Ketekunan Gondo memadukan budaya lokal dan modern tanpa sekat menunjukkan budaya lokal bukan untuk ditinggalkan, tetapi dilestarikan.
Agus Gandamanah
Lahir: Bandung, 14 Juli 1969
Pendidikan:
SD Pamoyanan Bandung (Lulus 1983)
SMP Pasundan 1 Bandung (Lulus 1986)
SMA Karya Pembangunan Bandung (Lulus 1989)