Bermimpi Program Rumah Rakyat
Kisah mewujudkan rumah untuk rakyat di Jakarta berlanjut dengan penyediaan rumah susun sistem sewa dan ”Program 1.000 Menara” pemerintah pusat. Hunian berimbang untuk berbagai kelas sosial pun dihadirkan pemerintah pusat.
Kisah mewujudkan rumah untuk rakyat di Jakarta berlanjut dengan penyediaan rumah susun sistem sewa dan ”Program 1.000 Menara” pemerintah pusat. Hunian berimbang untuk berbagai kelas sosial pun dihadirkan pemerintah pusat. Saat harga lahan makin tinggi dan migrasi penduduk ke Ibu Kota terus terjadi, tampaknya mimpi warga kelas bawah untuk memiliki rumah tinggal impian.
Rumah susun sewa
Kisah di Kebon Kacang mendapat kritik dari berbagai pihak karena dianggap sebagai penggusuran terselubung. Akhirnya, untuk memperkuat program rumah susun (rusun), pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun. Isinya, mengatur penggunaan tanah dalam kompleks rusun, masa berlaku hak guna bangunan (HGB), status hak milik rusun, dan pembayaran.
Pemerintah Daerah Jakarta di bawah kepemimpinan Gubernur Soeprapto menjawab permasalahan tersebut dengan membangun rusun sewa di Angke, Klender, Pondok Kelapa, Tambora, dan Karanganyar. Sepanjang periode 1984-1991 Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tercatat berhasil membangun 7.020 unit rusun. Sistem huniannya tidak hanya membeli dengan cicilan, tetapi juga dengan sistem sewa mengingat daya beli masyarakat yang rendah. Sistem rumah sewa ini pernah diterapkan juga pada pemerintahan Gubernur Sjamsurijal (1951-1953) dengan program pembangunan perumahan darurat untuk masyarakat miskin dengan sistem sewa.
Konsep peruntukan rusun terus berkembang. Tahun 2001, pemerintah juga mulai membangun rusunawa untuk pegawai pemprov yang berlokasi di pusat kota. Hunian vertikal ini terus dibangun sehingga sampai 2007 total berbagai jenis rusun mencapai 16.235 unit yang tersebar di 18 lokasi.
Pembangunan rumah susun yang ditujukan untuk masyarakat berpenghasilan rendah ini di Jakarta cukup pesat. Percepatan pembangunan ini didorong juga oleh Program 1.000 Menara yang dicanangkan pemerintah pusat pada 2007-2011.
Alhasil, selama periode itu, jumlah rumah vertikal bertambah 1.000 menara. Tahun 2011, data Dinas Perumahan DKI menyebutkan, jumlah rusunawa mencapai 22.542 unit yang ada di 40 lokasi. Rusun yang sudah berganti konsep menjadi rumah susun sederhana sewa tersebut tidak hanya dikelola oleh Dinas Perumahan DKI, tetapi juga oleh Perumnas, PD Sarana Jaya, BPL Pluit, serta pihak swasta, seperti Yayasan Buddha Tzu Chi dan Pelindo.
Namun, kejar target 1.000 menara tersebut di sisi lain mengakibatkan sejumlah rusunawa yang telah selesai dibangun terlunta-lunta proses penghuniannya karena minimnya sarana-prasarana yang ada. Sebut saja Rusun Marunda yang selesai dibangun 2005. Hingga tahun 2011, banyak fasilitas bangunan yang hilang dicuri, seperti pintu, daun jendela, pipa air, juga kabel instalasi listrik.
Hingga tahun 2012, rusunawa yang belum dihuni mencapai 4.180 unit, sepertiga dari keseluruhan rusunawa yang dibangun. Sementara dua pertiga rusunawa yang sudah terhuni, sayangnya, juga minim pemeliharaan.
Tak hanya persoalan rusunawa yang mangkrak dan minimnya sarana-prasarana, tetapi juga penghuninya tidak tepat sasaran. Hal ini diperkuat dari hasil penelitian Dinas Perumahan DKI Jakarta (2002), hanya 20 persen penghuni rusun yang merupakan kelompok sasaran. Di antaranya, Rusun Penjaringan dan Tambora yang awalnya dibangun untuk korban kebakaran, kenyataannya 90 persen dihuni golongan menengah atas.
Kesejahteraan penghuni rusunawa pun tidak mengalami peningkatan, bahkan menurun. Penyebabnya, menurut penelitian Yusman (2008), lokasi rusun jauh dari tempat kerja dan peluang ekonomi menjadi subsisten karena pola darm rusun kurang sesuai dengan karakteristik kegiatan ekonomi keluarga.
Penelitian di rumah susun Tzu Chi tersebut juga menyebutkan, beban ekonomi keluarga bertambah karena perubahan pola hidup dari ilegal menjadi legal. Dulu mereka tidak harus membayar iuran listrik, air, dan biaya operasional saat tinggal di tempat ilegal. Setelah masuk rusun, pengeluaran tersebut muncul.
Akibatnya, muncul persoalan lain, banyak penghuni rusunawa yang menunggak uang sewa. Sebanyak 57 persen atau 9.094 unit belum dibayarkan sewanya. Diperkirakan jumlah tunggakan Rp 30 miliar-Rp 35 miliar (Kompas, 3/7/2019). Namun, masalah tunggakan tersebut belum ada solusinya.
Tak hanya itu, persoalan rusunawa yang kosong pun masih terjadi hingga kini, antara lain Rusunawa Rawa Buaya, Cengkareng, Jakarta Barat, yang nyaris kosong tanpa penghuni (Kompas, 8/8/2018). Warga belum tertarik karena biaya hidup di tempat tersebut lebih mahal ketimbang tempat tinggal sekarang ini.
Hingga tahun 2019, masih tersedia 5.334 unit hunian di lima lokasi, yakni Rusunawa Nagrak dan Rorotan, Jakarta Utara, Rusunawa Penggilingan dan Pulogebang, Jakarta Timur, serta Rusunawa KS Tubun, Jakarta Barat. Sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) DKI 2018-2022, masyarakat bergaji di bawah Rp 4 juta bisa tinggal di rusunawa.
Rusunami DP 0 rupiah
Pemprov DKI mempunyai kebijakan baru untuk memenuhi kebutuhan rumah warga kelas menengah Ibu Kota yang selama ini juga kesulitan memiliki rumah di Jakarta. Digariskan dalam RPJMD DKI 2018-2022, warga dengan penghasilan Rp 4 juta-Rp 7 juta per bulan bisa memiliki rumah susun milik (rusunami) melalui pendanaan uang muka 0 rupiah.
Program yang dikenal dengan rumah DP 0 rupiah tersebut berlokasi di Pondok Kelapa, Jakarta Timur. Hingga sekarang, konstruksi rusunami Kelapa Village yang dikerjakan Perusda Pembangunan Sarana Jaya mencapai 90 persen, ditargetkan selesai dan siap huni pada Agustus 2019. Menurut rencana, akan dibangun 14.000 unit oleh BUMD dan 218.214 unit melalui mekanisme KPBU dan mekanisme pasar.
Selain berpenghasilan Rp 4 juta-Rp 7 juta per bulan, ada beberapa syarat lain untuk bisa memiliki rusunami samawa (solusi rumah warga) ini. Pertama, warga ber-KTP DKI dan telah tinggal di Jakarta sekurang-kurangnya lima tahun. Selanjutnya, warga belum mempunyai rumah sendiri, tidak pernah menerima subsidi rumah, dan prioritas bagi warga yang sudah menikah.
Setelah memenuhi syarat administrasi, pendaftar harus melewati proses seleksi tiga tahapan. Tahapan pertama dari Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman DKI Jakarta. Kemudian, verifikasi dari Bank DKI. Terakhir, penetapan daftar normatif penerimaan manfaat.
Warga dengan penghasilan Rp 4 juta-Rp 7 juta per bulan bisa memiliki rumah susun milik melalui pendanaan uang muka 0 rupiah.
Hingga Juli 2019, telah ada 1.790 pemohon yang tercatat memenuhi kriteria untuk program DP 0 rupiah. Selanjutnya, mereka diundang untuk melengkapi berkas permohonan pengajuan kredit dan memilih unit.
Rusunami DP 0 rupiah sebentar lagi akan terwujud bagi impian 1.790 pemohon. Namun, beberapa pihak mengkhawatirkan soal kredit macet. Jika hal itu terjadi, bisa berujung pada meruginya PD Sarana Jaya yang membangun hunian tersebut.
Selain itu, ternyata masyarakat harus tetap membayar uang muka. Yang dimaksud dengan uang muka DP 0 rupiah, pemerintah yang membayar terlebih dulu uang muka. Selanjutnya, masyarakat wajib membayarnya dengan cicilan melalui kredit bank setiap bulan selama 20 tahun. Belum lagi jika masyarakat mengalihkan kepemilikan kepada orang lain karena tidak mampu membayar.
Hunian berimbang
Konsep hunian berimbang baru diatur resmi dalam UU Perumahan tahun 1992. Namun, pada 1960-an, Gubernur Soemarno telah melakukannya pada proyek pembangunan ”rumah minimum” Cempaka Putih. Pada lahan seluas 6 hektar dibangun 204 unit tipe rumah minimum, 33 rumah sedang, dan 11 tipe vila.
Mengutip laman Historia, Soemarno melebur lingkungan rumah minimum dengan rumah sedang dan rumah vila supaya penghuninya bekerja sama membentuk lingkungan baru di luar pusat kota. Pemilik rumah vila diharapkan bisa membuka usaha dengan merekrut pekerja dari pemilik rumah minimum dan warga perkampungan sekitarnya. Sebaliknya, pemilik rumah minimum dan penduduk kampung sekitar bisa bekerja tak jauh dari tempat tinggalnya sehingga bisa menghemat biaya transportasi dan mengurangi beban pusat kota.
Aturan formal mengenai hunian berimbang baru ada tahun 1992 melalui Surat Keputusan Bersama Mendagri, Menteri Pekerjaan Umum, dan Menteri Perumahan Rakyat No 648-394/1992. Badan usaha wajib menyediakan permukiman dengan hunian berimbang.
Hunian berimbang yang meliputi rumah sederhana, menengah, dan mewah diharapkan dapat menampung secara serasi di antara kelompok masyarakat dari berbagai profesi, tingkat ekonomi, dan status sosial. Perbandingannya adalah 1 rumah mewah: 3 rumah menengah : 6 rumah sederhana. Selain itu, juga menjadi solusi untuk menyediakan rumah bagi kelas bawah.
Namun, dalam pelaksanaannya, aturan tersebut menghadapi banyak kendala. Di antaranya, harga tanah di perkotaan mahal dan terbatas serta citra lingkungan perumahan yang cenderung menurun kalau ada rumah sederhana. Kemudian, dalam aturan tersebut, tidak secara jelas dan tegas diatur mengenai insentif, sanksi, dan kompensasinya.
Hunian berimbang yang meliputi rumah sederhana, menengah, dan mewah diharapkan dapat menampung secara serasi di antara kelompok masyarakat dari berbagai profesi, tingkat ekonomi, dan status sosial.
Kebijakan hunian berimbang baru diperkuat dalam Pasal 34 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Permukiman. Isinya, badan hukum yang melakukan pembangunan perumahan wajib mewujudkan perumahan dengan hunian berimbang dalam satu hamparan. Komposisinya diatur dalam Peraturan Menteri PU No 10/2012. Perbandingannya adalah 1 rumah mewah : 2 rumah menengah : 3 rumah sederhana.
Namun, aturan tersebut malah dilonggarkan dengan munculnya Permenpera No 7/2013. Pemerintah menghapus sanksi pidana. Kelonggaran dalam penentuan komposisi lingkungan hunian berimbang yang ditetapkan oleh pemerintah daerah sesuai kebutuhan, tetapi tetap mengacu pada komposisi 1:2:3. Artinya, saat membangun satu rumah mewah, pengembang wajib mengimbangi dengan membangun dua rumah menengah dan tiga rumah sederhana bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Di sisi lain, ketentuan hunian berimbang tersebut juga bermasalah pada ketersediaan lahan. Lokasi pembangunan hunian kelas satu memiliki harga tanah tinggi sehingga pengembang kesulitan memenuhi pembangunan rumah masyarakat berpenghasilan rendah.
Akibatnya, terjadi urban sprawl ke Bodetabek. Pengembang memilih membangun hunian untuk kelas menengah bawah di Bodetabek. Hal ini berdampak pada makin banyaknya alih fungsi lahan pertanian dan alih kepemilikan lahan warga lokal. Masalah transportasi dari kemacetan hingga tidak memadainya infrastruktur jalan juga menjadi masalah ikutan.
”Backlog”
Berbagai pengalaman membangun rumah rakyat bagi warga Jakarta dari masa ke masa diharapkan bisa menjadi pelajaran untuk mewujudkan rumah bagi kelas menengah bawah. Alternatif rusunawa bisa dipilih, hanya saja diikuti langkah pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan bagi warga rusunawa.
Pelatihan keterampilan untuk meningkatkan pendapatan per kapita yang selama ini telah dilakukan di beberapa rusun, seperti Rusunawa Marunda, bisa menjadi alternatif. Masalah tunggakan rusunawa bisa teratasi dan penghuni rusunawa bisa memiliki rumah sendiri kelak.
Rusunami juga bisa menjadi alternatif lain bagi warga kelas menengah. Hanya saja, aturannya dipertegas untuk mengurangi risiko kepemilikan tidak tepat sasaran. Skema kredit pun diperbaiki untuk mengurangi risiko kredit macet.
Warga yang menginginkan rumah tapak terpaksa harus tinggal di Bodetabek. Sarana transportasi berupa angkutan umum dan infrastruktur jalan memadai menjadi kunci untuk menyelesaikan masalah tersebut guna mengurangi dampak kemacetan. Namun, jangan lupakan aturan soal kepemilikan lahan swasta untuk membatasi alih fungsi lahan di kawasan pinggiran.
Memang tak mudah untuk mewujudkan impian rumah bagi warga kelas menengah bawah di Ibu Kota. Catatan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, selama lima tahun, ketersediaan rumah hanya bisa mengurangi angka backlog 73.840 unit rumah. Backlog rumah di Jakarta selama 2010-2015 tetap berkisar pada angka 1 juta unit. (LITBANG KOMPAS)