Indonesia Belum Berdaulat di Wilayah Udara Kepulauan Riau
Pengelolaan wilayah informasi penerbangan atau flight information region di Kepulauan Riau sejak tahun 1946 masih berada di bawah otoritas Singapura.
Oleh
Sharon Patricia
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengelolaan wilayah informasi penerbangan atau flight information region di Kepulauan Riau sejak tahun 1946 masih berada di bawah otoritas Singapura. Indonesia dinilai masih belum berdaulat atas wilayah udara di atas Kepulauan Riau.
Persoalan ini kemudian menjadi kegelisahan bagi mantan Kepala Staf TNI AU Chappy Hakim yang dituangkan melalui bukunya berjudul Flight Information Region di Kepulauan Riau Wilayah Udara Kedaulatan NKRI.
Buku ini akan diluncurkan besok, Sabtu (10/8/2019), di Cozyfield Cafe, Gramedia Pondok Indah Mall, Jakarta Selatan, pukul 14.00 WIB. Buku ini ditulis agar masyarakat memperoleh informasi yang benar dan jelas tentang masalah flight information region (FIR) di Kepulauan Riau (Kepri).
Adapun pembahas yang akan hadir dalam peluncuran buku ini antara lain adalah Duta Besar RI untuk PBB periode 2004-2007 Makarim Wibisono, Ketua Dewan Penasihat Bali International Arbitration and Mediation Center (BIAMC) Ida Bagus Rahmadi Supancana, dan Kolonel Penerbang Supri Abu.
Dalam keterangan tertulis pada Jumat (9/8/2019), Chappy Hakim menjelaskan bahwa persoalan ini menjadi isu hangat di kalangan masyarakat luas. Sebab, persoalan FIR di Kepri bukan sekadar terkait dengan keselamatan penerbangan internasional, melainkan juga masuk dalam ranah pertahanan dan keamanan negara, serta berkelindan dengan aspek kedaulatan sebagai bangsa dan negara.
Chappy menceritakan, pada awal 2012, sahabat dekatnya yang sedang berada di Batam untuk urusan bisnis mendapat kabar bahwa ibunya yang berada di Jakarta meninggal dunia. Kemudian sahabatnya memperoleh pesawat carter yang siap berangkat pada pukul 17.00 WIB.
Penerbangan di atas Kepulauan Riau ternyata memang sudah sejak tahun 1946 berada dalam kekuasaan negara lain.
Namun, setelah itu, kapten pilot mengabarkan bahwa pesawat tidak diperkenankan lepas landas dari Batam ke Jakarta karena lalu lintas udara yang sedang padat. Penguasa pengatur lalu lintas udara Singapura, walau sudah dijelaskan ada urgensi keberangkatan pesawat pukul 17.00 WIB, tetap saja tidak memberi izin dan baru diberikan clearance untuk lepas landas dari Batam pada pukul 20.00 WIB.
”Kejadian ini hanya satu saja dari banyak cerita menyedihkan tentang orang Indonesia yang berada di negerinya sendiri, tetapi tidak berdaya untuk dapat bepergian sesuai keinginannya karena adanya larangan dari penguasa negara lain,” kata Chappy.
Penerbangan di atas Kepri ternyata memang sudah sejak tahun 1946 berada dalam kekuasaan negara lain. ”Sekali lagi, sungguh menyedihkan, berada di rumah sendiri, tetapi gerakan di dalam rumah sendiri itu ternyata diatur oleh tetangga,” tuturnya.
Chappy menilai, pengelolaan FIR di Kepri yang berada di bawah otoritas Singapura sejak tahun 1946 memang agak aneh. Sebab, pada saat itu Singapura belum ada dan Indonesia pun belum menjadi anggota International Civil Aviation Organization (ICAO).
ICAO waktu itu mendelegasikan pengelolaan FIR di Kepri kepada kolonial Inggris di Singapura. Padahal, mengacu pada Konvensi Chicago 1944, kedaulatan negara di wilayah udaranya adalah penuh dan eksklusif. Artinya, Indonesia berhak penuh atas wilayah udaranya tersebut dan pengelolaan oleh negara lain hanya bersifat sementara.
Dengan demikian, ”keselamatan penerbangan internasional” dan ”hubungan baik antarnegara tetangga” tidak bisa mengalahkan kedaulatan negara. Apalagi, FIR di Kepri memiliki posisi yang begitu strategis.
Singapura bahkan telah menentukan ”Danger Area” yang tidak boleh digunakan negara lain, termasuk negara pemilik, bagi keleluasaan angkatan perangnya berlatih. Dapat dibayangkan betapa sebuah kawasan milik Indonesia ditentukan sebagai wilayah yang tidak boleh digunakan oleh Indonesia untuk keperluan angkatan perang asing berlatih di situ.
Singapura bahkan telah menentukan ’Danger Area’ yang tidak boleh digunakan negara lain, termasuk negara pemilik, bagi keleluasaan angkatan perangnya berlatih.
”Lebih aneh lagi karena Indonesia pun mendiamkan saja hal itu berlangsung. Mengapa dan apa yang menjadi alasan Indonesia untuk berdiam diri terhadap masalah yang sangat mendasar ini?” ujar Chappy.