Masyarakat Boven Digoel Ingin Frekuensi Penerbangan Ditambah
Moda transportasi udara memudahkan mobilitas dan distribusi bahan kebutuhan pokok. Sebelum ada penerbangan, perjalanan darat ataupun melalui sungai bisa makan waktu berjam-jam, bahkan berhari-hari.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·3 menit baca
TANAH MERAH, KOMPAS — Masyarakat Boven Digoel, Papua, berharap ada penambahan jadwal penerbangan komersial ataupun perintis dari Bandar Udara Tanah Merah, Boven Digoel, Papua. Moda transportasi udara memudahkan mobilitas dan distribusi bahan kebutuhan pokok.
Keinginan ini disampaikan sejumlah warga Boven Digoel ketika Kompas bersama Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kementerian Perhubungan berkunjung ke Tanah Merah, Boven Digoel, Selasa-Jumat (6-9/8/2019).
Marselina Jamlean (43), salah seorang warga yang bekerja di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Boven Digoel, misalnya.
Dia dan banyak warga Boven Digoel lainnya sering kali memilih menggunakan moda transportasi udara karena lebih cepat serta harga yang relatif terjangkau.
”Masyarakat pilih penerbangan karena lebih cepat (waktu tempuh). Manfaat penerbangan juga sangat terasa. Ke Jayapura (ibu kota Provinsi Papua), misalnya, dengan pesawat hanya makan waktu satu jam,” kata Marselina.
”Sebelum ada penerbangan, kalau mau ke Jayapura (ibu kota Provinsi Papua), misalnya, harus berangkat beberapa hari sebelumnya,” ujarnya.
Sebelum ada layanan penerbangan dari Tanah Merah ke Jayapura, warga Boven Digoel harus ke Merauke terlebih dahulu untuk terbang ke Jayapura. Padahal, untuk sampai di Merauke butuh waktu hingga delapan jam melalui jalur darat. Jalur sungai bahkan lebih lama lagi, bisa makan waktu berhari-hari karena laju perahu sangat bergantung pada pasang-surut air.
Sementara Dominggus Mesehatun (28), warga Koroway Batu, Boven Digoel, mengatakan, penerbangan membantunya untuk lebih mudah berbelanja kebutuhan pokok di Tanah Merah, ibu kota Boven Digoel.
”Adanya pesawat sangat membantu. Seminggu dua kali kami bolak-balik untuk cari (belanja) keperluan (kebutuhan pokok),” kata Dominggus.
Sebelum ada penerbangan Koroway Batu-Tanah Merah, menurut Abraham Bainggatun (25), warga Koroway Batu lainnya, masyarakat harus berjalan kaki sehari penuh untuk bisa ke Tanah Merah.
”Kini penerbangan sudah ada, tetapi kami minta frekuensinya ditambah,” ujarnya. Harapan senada dilontarkan oleh Marselina karena penerbangan dari Tanah Merah-Jayapura tidak setiap hari ada.
Berkaitan dengan itu, Kepala Bandara Tanah Merah Asep menyebutkan, pihaknya tengah mengupayakan pengembangan bandara dan penambahan subsidi untuk penerbangan perintis.
”Pengembangan bandara agar pesawat berukuran lebih besar dapat mendarat. Otomatis daya angkut semakin besar dan jadwal penerbangan akan bertambah,” kata Asep.
Pengembangan bandara ini, antara lain, perpanjangan landasan dari 1.250 meter menjadi 1.400 meter, perluasan terminal penumpang, dan perbaikan alat bantu pendaratan. Semua pengerjaan, menurut rencana, akan dimulai pada 2020.
Saat ini, Bandara Tanah Merah hanya bisa digunakan untuk lepas landas dan mendarat pesawat jenis ATR-42 atau pesawat jenis lain yang lebih kecil dari ATR-42. Apron yang luasnya 200 meter x 68 meter pun baru bisa menampung 11 pesawat, yakni 9 grand caravan, 1 ATR-42, dan 2 pesawat twin otter.
Setiap hari, bandara rata-rata melayani 55 penumpang dan 500 kilogram kargo.
Perintis
Bandara Tanah Merah melayani penerbangan perintis ke Oksibil di Kabupaten Pegunungan Bintang; Kepi di Kabupaten Mappi; serta Bomakia, Koroway Batu, dan Manggelum di Kabupaten Boven Digoel.
Penerbangan ini meliputi angkutan penumpang dan kargo. Kemudian, dibagi lagi menjadi penerbangan perintis yang disubsidi pemerintah dan komersial berupa sewa pesawat.
”Pemerintah menyubsidi Rp 12,5 miliar untuk kargo dan Rp 7,3 miliar untuk penumpang per tahun. Menurut rencana, akan ditambah,” ucap Asep.
Penerbangan perintis menggunakan pesawat kecil dengan daya angkut 12 orang. Adapun pesawat mengangkut 1 ton kargo berupa bahan pokok dan bahan bakar minyak sekali jalan.