Cerita Panjang Membangun Rumah Rakyat di Ibu Kota Jakarta
Pembangunan permukiman bagi masyarakat menengah ke bawah Ibu Kota sudah dilakukan sejak dulu. Hal itu diawali dengan pembangunan perumahan rakyat berupa rumah tapak hingga bangunan vertikal rumah susun.
Pembangunan permukiman bagi masyarakat menengah ke bawah Ibu Kota sudah dilakukan sejak dulu. Hal itu diawali dengan pembangunan perumahan rakyat berupa rumah tapak hingga bangunan vertikal rumah susun.
Perbaikan kampung kumuh juga sempat dipilih sebagai salah satu solusi. Daya beli warga yang rendah, lokasi rumah yang jauh dari tempat kerja, dan keterbatasan anggaran pemerintah menjadi penyebab rumah untuk rakyat tak kunjung terwujud.
Masalah perumahan ini mulai mencuat di Jakarta pasca-kemerdekaan. Setelah gelombang migran datang ke Jakarta untuk mengadu nasib, penduduk Jakarta meningkat dua kali lipat dari kurun waktu sekitar tujuh tahun. Tahun 1948 ada 823.000 jiwa. Tahun 1952 menjadi 1,78 juta jiwa.
Kedatangan kaum migran tersebut mengakibatkan Jakarta kekurangan fasilitas umum dan fasilitas sosial, termasuk rumah. Migran kelas atas bisa membeli rumah dari pasar swasta atau membangun rumah sendiri. Sementara migran kelas bawah harus tinggal di rumah nonpermanen beratap rumbia di bantaran sungai.
Digambarkan dalam buku Jakarta Sejarah 400 Tahun, rumah-rumah tersebut berderet tanpa sela. Barisan rumah yang ditempati berukuran sekitar 10 meter x 7 meter dan dihuni 57 orang.
Solusinya, Gubernur Sjamsuridjal mulai membangun permukiman rakyat di Bendungan Hilir, Karet Pasar Baru, Jembatan Duren, dan Tanjung Grogol.
Selanjutnya, Gubernur Sudiro memilih untuk membuat rumah bagi kaum buruh di Grogol pada 1953. Gubernur Soemarno yang meneruskan pemerintahan pada 1964-1966 membangun rumah minimum di kawasan Raden Saleh, Karanganyar, Tanah Sereal, Tanjung Priok, Bandengan Selatan, Cempaka Putih, dan Pulo Mas.
Tahun 1960-an, saat jumlah penduduk Jakarta meningkat drastis menjadi 3,81 juta orang, ketersediaan rumah kembali menjadi masalah. Mengutip pemberitaan Kompas pada 11 Mei 1968, jumlah perumahan di Jakarta masih sekitar 500.000 unit. Karena itu, Jakarta masih membutuhkan 32.000 rumah, di samping 13.000 unit lainnya yang harus dibangun Pemda DKI setiap tahun.
Hal itu berarti Pemda Jakarta mengeluarkan biaya Rp 3,9 juta setiap tahun dengan asumsi syarat minimal pembangunan Rp 300.000.
Namun, biaya sebesar itu belum bisa dipenuhi Pemerintah DKI yang saat itu dipimpin Gubernur Ali Sadikin. Selain tidak ada dana, Sadikin juga tidak setuju dengan penyediaan tempat tinggal dalam blok-blok rumah susun. Alasannya, solusi tinggal di rusun tidak sesuai dengan penduduk miskin Jakarta.
Sadikin mencoba untuk membangun perumahan siap huni di pinggiran Jakarta dengan bantuan Bank Dunia. Namun, sedikit sekali penduduk miskin yang mampu membayar ongkos perumahan semacam itu. Selain itu, lokasinya juga jauh dari sumber pekerjaan.
Salah satu contoh gagal adalah perumahan yang dibangun di Muara Angke untuk para nelayan. Setahun setelah dibangun, dari 360 rumah sederhana, yang dihuni hanya 14 unit. Penghuninya pun bukan nelayan, melainkan pemilik perahu yang relatif lebih kaya dan sejumlah pegawai negeri.
Perbaikan kampung
Akhirnya, langkah yang ditempuh Gubernur Ali Sadikin adalah perbaikan kampung. Dikutip dari laman Historia, Ali Sadikin menyebut, 60 persen penduduk Jakarta tinggal di kampung kumuh dan padat.
Program ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas lingkungan fisik dan layanan yang tersedia bagi kampung. Program ini dimulai pada 1969 dan pada 1974 mendapat pinjaman dari Bank Dunia.
Gubernur Ali Sadikin memberi nama program tersebut MH Thamrin. Program MH Thamrin dilanjutkan Gubernur Tjokropanolo (1977-1982), Soeprapto (1982-1987), hingga terakhir Gubernur Wiyogo Atmodarminto (1987-1992).
Hasilnya, terjadi perubahan wajah kampung. Kampung yang semula kumuh dan tidak mempunyai sarana prasarana dasar menjadi kampung yang tertata, bersih, dan mendapat akses air bersih serta sanitasi yang baik.
Dampak lanjutannya, terjadi peningkatan sosial ekonomi. Selain itu, warga juga terlibat dalam upaya perbaikan kampung tersebut berupa gagasan perbaikan, bantuan tenaga kerja dan material bangunan, serta bersedia memberikan lahannya.
Tahun 1979, program MH Thamrin versi Jakarta ini menjadi program nasional. Hingga akhirnya pada 1976, program ini juga dipraktikkan di Surabaya. Namun, masalah mulai muncul saat warga mulai sulit untuk mengorbankan lahan miliknya sendiri. Alhasil, akses jalan lingkungan yang ada terpaksa harus berliku-liku mengikuti lahan yang sudah berdiri.
Kepadatan penduduk terus meningkat. Persediaan lahan di kampung terbatas, tetapi kaum urban dari luar Jakarta terus berdatangan. Kualitas sarana-prasarana terus menurun, seperti rusaknya hidran air, MCK, dan jalan.
Selain itu, sebenarnya program perbaikan kampung ini belum menjawab soal ketersediaan rumah bagi warga berpenghasilan rendah. Akhirnya, program perbaikan kampung tersebut dihentikan tahun 2000-an.
Rumah Perumnas
Pemerintah pusat melalui Perumnas pada 1974 hadir untuk membantu menyediakan rumah yang layak bagi masyarakat menengah ke bawah. Tahun 1976, Perumnas mulai membangun 7.000 unit rumah di Klender serta 5.000 unit di Cengkareng, Jakarta, dan Depok.
Pemilihan kedua lokasi itu didasarkan pertimbangan dekat dengan tempat pekerjaan. Kedua lokasi tersebut masih termasuk dalam jalur yang dilalui oleh bus kota sehingga meringankan biaya transportasi.
Rumah murah yang akan dibangun di Klender terdiri dari rumah-rumah dengan luas 20 m2, 36 m2, dan 45 m2 dengan luas tanah 80-100 m2. Penduduk yang berpenghasilan Rp 7.000 hingga Rp 20.000 disediakan rumah di Klender. Adapun yang penghasilannya Rp 20.000-Rp 35.000 tinggal di Perumnas Depok.
Harga rumah di Klender berkisar Rp 10.000-Rp 15.000 per meter persegi. Adapun harga rumah di Depok Rp 20.000-Rp 25.000 per meter persegi. Syarat memilikinya pun cukup ringan. Warga Jakarta cukup mencicil dengan uang Rp 8.000 atau sekitar Rp 5.500 setiap bulan (Kompas, 8/11/1977).
Pemilihan lokasi kompleks perumahan di Klender, Cengkareng, dan Depok tersebut terlalu jauh dari lokasi kerja mayoritas penduduk meski sebenarnya sudah tersedia angkutan bus. Kepemilikan rumah Perumnas tidak tepat sasaran. Warga berpenghasilan lebih dari Rp 75.000 bisa memiliki rumah Perumnas di Depok (Kompas, 10/9/1974).
Akibatnya, rumah sederhana disulap menjadi rumah mewah yang memamerkan banyak mobil. Rumah di Perumnas Depok pun hanya dijadikan sarana investasi, tidak ditinggali. Padahal, di sisi lain, warga yang benar-benar membutuhkan justru tidak mendapatkan rumah.
Rumah susun
Selanjutnya, program rumah susun (rusun) dipilih menjadi solusi penyediaan rumah murah. Sebelum rusun, sudah ada konsep bangunan permukiman vertikal yang dicetuskan Gubernur Soemarno.
Soemarno membangun flat yang masing-masing seluas 45 m2 dan bertingkat dua di Tebet. Flat tersebut bermaterial ringan dan berharga murah sehingga disebut ”flat minimum”.
Sasaran flat minimum tersebut bagi penduduk berpenghasilan rendah. Namun, karena harganya tidak terjangkau warga kelas bawah, flat malah terisi oleh warga mampu. Namun, itu pun hanya terisi sedikit.
Perumnas, setelah membangun rumah tapak, beralih membangun rumah susun. Rumah susun pertama kali dibangun di Jakarta tahun 1981 di kawasan Kebon Kacang pada masa pemerintahan Gubernur Soeprapto.
Harga jual setiap unit berkisar Rp 4,5 juta-Rp 6 juta. Penghuninya bisa mencicil Rp 30.000 per bulan selama 20 tahun. Generasi awal rusun ini bisa dimiliki masyarakat bawah.
Perumnas kemudian membangun rusun lagi di Kebon Kacang pada April 1982 untuk perbaikan kampung kumuh. Warga kampung kumuh diminta pemerintah untuk menjual tanahnya kepada pemerintah. Sebagai gantinya, warga boleh tinggal di rusun.
Namun, cerita yang telah digariskan berubah. Warga gusuran enggan tinggal di rusun karena belum terbiasa dan masalah biaya. Penghuni rusun lebih banyak warga di luar Kebon Kacang. Dan, kisah rumah untuk rakyat itu pun belum sepenuhnya terwujud hingga sekarang. Backlog rumah di Ibu Kota masih 1 juta unit.... BERSAMBUNG. (Litbang Kompas)