Lampu Kuning Pinjaman Perbankan
Dalam sistem keuangan berbasis perbankan, seperti Indonesia, penurunan suku bunga sebagai respons atas kelesuan perekonomian global dan domestik belum tentu berdampak efektif tanpa diimbangi dengan prinsip kehati-hatian.
Dalam sistem keuangan berbasis perbankan, seperti Indonesia, penurunan suku bunga sebagai respons atas kelesuan perekonomian global dan domestik belum tentu berdampak efektif tanpa diimbangi dengan prinsip kehati-hatian.
Dinamika politik dan perekonomian global membawa imbas juga pada kecenderungan lesunya perekonomian nasional. Kelesuan pertama dimulai dari krisis perumahan di AS pertengahan 2007, yang menjalar secara sistemik menjadi krisis di Eropa dan dunia. Di tengah krisis ekonomi global, perang dagang kedua raksasa ekonomi dunia, China dan Amerika Serikat, belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir.
Situasi terkini, bank sentral China mematok kurs referensinya pada level 6,9996 yuan per dollar AS, kemarin. Melemahnya yuan terhadap dollar AS berarti produk AS akan lebih mahal dan produk China akan lebih murah jika dinilai dalam dollar AS (Kompas, 8/8/2019).
Hubungan Korea Selatan (Korsel) dan Rusia juga kembali memanas pasca-Korsel menembaki pesawat Rusia yang dituding melanggar wilayah udara dalam kendali Seoul. Sementara baru-baru ini ramai diperbincangkan juga Korsel yang tengah berseteru dengan Jepang.
Jepang melakukan pembatasan ekspor hidrogen fluorida dan fotoresis ke Korsel, yang mana komoditas tersebut dibutuhkan dalam produksi teknologi tinggi yang menjadi produk ekspor andalan Korsel. Ancaman lain adalah Seoul akan dikeluarkan dari daftar negara penerima kemudahan perizinan ekspor produk strategis (Kompas, 1/8/2019).
China, AS, Jepang, dan Korsel adalah mitra dagang strategis Indonesia. Tengok saja impor Indonesia dari keempat negara ini. Impor Indonesia terbanyak berasal dari China, disusul Jepang di urutan kedua, lalu AS di peringkat kelima dan Korsel di urutan keenam, menurut data statistik perdagangan tahun lalu. Masih di tahun lalu, Kementerian Perdagangan mencatat, impor dari empat negara ini mencapai 50,4 persen dari total impor nasional senilai 158.842,8 juta dollar AS.
Kinerja perekonomian domestik mencerminkan semua dinamika yang terjadi di ranah global, khususnya keempat negara mitra dagang Indonesia. Salah satunya, kinerja sektor keuangan. Patut dicatat, aset pada sektor perbankan masih mendominasi sistem keuangan Indonesia. Sejak 2013 hingga Mei 2019, total aset di sektor perbankan tercatat mencapai lebih dari tiga perempat nilai total aset sistem keuangan Indonesia.
Pertumbuhan melambat
Hingga kini, sebagian besar pemasukan sektor perbankan nasional, khususnya bank umum, bersumber pada interest income atau pendapatan bunga yang berasal dari kredit. Sejak 2015 hingga Mei 2019, capaian pertumbuhan dana pinjaman bank umum sepintas cukup mengesankan.
Hanya saja, tren pertumbuhan kredit juga menunjukkan pelambatan selama tiga tahun terakhir. Sepanjang 2016, kredit bank umum masih mencatat angka pertumbuhan 10 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Dua tahun berikutnya, pertumbuhan kredit bank umum mencatat persentase di bawah dua digit dengan tren menurun.
Melambatnya kinerja sektor moneter sejalan dengan sinyal yang ditunjukkan di sektor riil. Neraca pembayaran dan neraca perdagangan menunjukkan angka pertumbuhan yang kurang menggembirakan dalam beberapa tahun terakhir.
Neraca perdagangan masih mencatat angka surplus pada 2015 hingga tahun 2017. Kendati demikian, surplus neraca perdagangan yang hanya tumbuh 24,22 persen pada 2017 jauh di bawah pencapaian pertumbuhan sepanjang 2014-2015 yang mencapai lebih dari empat kali lipat.
Bahkan, neraca perdagangan tumbuh defisit dalam satu setengah tahun terakhir. Data terakhir hingga Juni 2019 oleh Kementerian Perdagangan menunjukkan, defisit neraca perdagangan mencapai 1.933,9 juta dollar AS.
Pelambatan kinerja sektor riil tecermin juga dari tren neraca pembayaran Indonesia. Kuartal I-2019 menunjukkan surplus neraca pembayaran. Namun, ketika ditarik beberapa tahun sebelumnya, posisi neraca pembayaran terbilang lesu. Bahkan, posisi neraca pembayaran sempat mengalami defisit pada 2018 sebesar 7.131 juta dollar AS setelah mengalami surplus sebesar 11.842,6 juta dollar AS di tahun sebelumnya.
Kebijakan suku bunga
Berbagai kebijakan tentunya sudah diformulasikan sebagai respons lanjutan dari kondisi perekonomian yang kini sedang dialami. Pada level global, pergerakan suku bunga AS turut menjadi salah satu pertimbangan banyak negara, termasuk Indonesia. Sepanjang November 2018-Juni 2019, suku bunga The Fed Fund Rate AS bertahan di level 2,5 persen. Seiring dengan itu, Bank Indonesia mempertahankan suku bunga BI 7-days repo rate pada level 6 persen.
Pada 31 Juli 2019, The Fed mengumumkan memangkas target untuk suku bunga acuan federal fund (FFR) sebesar 25 basis poin ke kisaran 2 persen hingga 2,25 persen. Sebelumnya, 18 Juli 2019, pemerintah juga menurunkan suku bunga BI 7-days repo rate menjadi 5,75 persen setelah suku bunga BI cukup lama bertahan pada level 6 persen.
Namun, dampak dari kebijakan suku bunga terhadap gairah kredit tidak semudah membalik telapak tangan. Dengan suku bunga 6 persen, perusahaan-perusahaan dalam negeri memilih menahan laju ekspansi karena bunga pinjaman perbankan yang tinggi.
Pada sisi lain, penurunan suku bunga berkorelasi dengan bunga pinjaman yang menurun sehingga cost of borrowing atau biaya meminjam uang bagi perusahaan akan lebih murah. Korporasi lebih leluasa melakukan ekspansi yang dapat meningkatkan produksi dan berdampak pada penguatan ekspor. Ekspansi korporasi selanjutnya akan menekan defisit transaksi berjalan.
Meski demikian, dinamika perekonomian global beberapa tahun belakangan masih mengarah pada kelesuan pasar ekspor. Sepanjang Januari-Mei 2019, kinerja ekspor nonmigas mencatat pertumbuhan minus 7,24 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2018.
Seperti halnya impor, Indonesia bergantung kepada China sebagai pasar ekspor terbesar, diikuti AS dan Jepang di peringkat kedua dan ketiga, kemudian Korsel di peringkat kedelapan. Andil pasar ekspor keempat negara itu mencapai 40,46 persen dari total nilai ekspor Indonesia sepanjang 2018.
Dengan kondisi perekonomian global yang lesu, kredit korporasi yang idealnya menekan defisit transaksi berjalan memberikan sinyal lain yang patut diwaspadai. Persoalan di balik kebijakan suku bunga tak hanya sebatas pada kuantitas kredit. Secara kualitas, potensi kredit bermasalah kian meningkat.
Prinsip kehati-hatian
Persentase kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) perbankan nasional menunjukkan sinyal meningkat. Mengawali tahun 2019, NPL meningkat hingga mencapai 2,56 persen setelah akhir tahun lalu berada pada 2,37 persen. Dua bulan terakhir, angka NPL terus meningkat, hingga Mei angka NPL sebesar 2,61 persen.
Angka tersebut menunjukkan bahwa peningkatan kuantitas penyaluran kredit yang terjadi tidak diimbangi dengan kualitas kredit. Angka NPL yang terus naik mencerminkan lemahnya kemampuan debitor dalam memenuhi kewajibannya membayar utang.
Kasus gagal bayar kewajiban utang yang baru-baru ini menjadi perbincangan hangat adalah kasus salah satu industri tekstil terbesar di Indonesia, Duniatex. Mengutip pemberitaan Kontan (1/8/2019), Duniatex mengaku tidak yakin mampu membayar pinjaman sindikasi yang jatuh tempo pada September tahun ini.
Salah satu anak usaha Duniatex yang menjadi sorotan, PT Delta Merlin Dunia Textile (DMDT), masih memiliki tunggakan Rp 5,39 triliun. Sebanyak Rp 2,92 triliun merupakan utang sindikasi. Utang DMDT ini sebagian besar dibiayai oleh bank pelat merah, yakni Bank Mandiri, BNI, dan BRI. Exposure Bank Mandiri di DMDT sebesar Rp 2,2 triliun. Sedangkan di BNI (konvensional dan syariah) sebesar Rp 645,9 miliar dan di BRI Syariah sebesar Rp 440 miliar.
Anak usaha Duniatex lainnya, PT Delta Dunia Sandang Textile (DDST), pernah mengalami gagal bayar pokok dan bunga pinjaman senilai 11 juta dollar AS pada 10 Juli 2019. Bukan hanya Duniatex, industri tekstil lainnya juga pernah mengalami gagal bayar utang. Texmaco Group pernah menghadapi problem utang hingga Rp 29 triliun.
Pengalaman lain, PT Lee Cooper Indonesia juga pernah memiliki utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih kepada pemohon penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) dan utang kepada kreditor lain.
Mencermati sisi risiko kredit tentu menuntut kehati-hatian sektor perbankan dalam melakukan penyaluran kredit. Prinsip prudential banking atau kehati-hatian justru perlu dijalankan lebih cermat beberapa waktu ke depan guna menjaga kualitas kredit yang disalurkan. Melonggarkan, apalagi meremehkan prinsip kehati-hatian perbankan, bukan tidak mungkin berujung pada risiko sistemik kejatuhan bank. (AGUSTINA PURWANTI/LITBANG KOMPAS)