Ketidakpastian Hukum Picu Ekspor Timah Lewat Singapura
Kebijakan Presiden Joko Widodo membangun pusat logistik berikat menjadi solusi mengatasi persoalan ekspor timah.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah harga komoditas global yang lesu, ekspor timah murni batangan Indonesia terhambat masalah interpretasi dan pelaksanaan regulasi. Permasalahan itu jadi salah satu penyebab timah murni asal Indonesia diperdagangkan lewat pasar Singapura.
Mengutip data Indonesian Commodity and Derivatives Exchange (ICDX), perdagangan timah asal Indonesia di pasar sekunder Singapura turun dari 80 persen tahun 2014 menjadi 24 persen tahun 2018. Namun, pada triwulan I-2019, perdagangan di pasar sekunder naik tajam menjadi 49 persen atau 35.450 ton.
Chief Executive Officer ICDX Megain Widjaja, yang dihubungi Kompas dari Jakarta, Kamis (8/8/2019), mengatakan, interpretasi dan pelaksanaan regulasi menjadi salah satu masalah utama ekspor timah Indonesia. Kedua masalah menimbulkan ketidakpastian hukum dan menurunkan daya saing ekspor.
”Daya saing ekspor timah seharusnya ditingkatkan, apalagi harga komoditas global sedang lesu. Namun, yang terjadi malah pukulan berganda dari internal dan eksternal,” kata Megain.
Kasus terbaru, ekspor salah satu pabrik pengolahan dan pemurnian timah (smelter) tertahan karena dugaan bijih timah ilegal. Setelah melalui proses persidangan sekitar 9 bulan, dugaan itu tidak terbukti. Namun, ekspor tetap gagal karena masa berlaku persetujuan ekspor dan eksportir terdaftar telah habis atau berakhir.
Menurut Megain, kasus gagal ekspor yang terjadi di Provinsi Bangka Belitung menyebabkan reputasi Indonesia dalam perdagangan internasional turun. Akibatnya, pasar global lebih memilih membeli timah asal Indonesia dari Singapura karena ada jaminan kepastian hukum.
”Kondisi itu harus menjadi perhatian karena peningkatan perdagangan timah Indonesia melalui Singapura memberi sinyal risiko perdagangan di Indonesia tinggi,” kata Megain.
Persepsi pasar global terhadap risiko perdagangan Indonesia akan berbuntut panjang. Ekspor timah bisa terus menurun karena kepercayaan global terhadap Indonesia berkurang. Berdasarkan data ICDX, rata-rata ekspor timah asal Indonesia berkisar 68.000-72.000 ton per tahun atau senilai 1,45 miliar dollar AS (Rp 20,3 triliun).
Megain menambahkan, kebijakan Presiden Joko Widodo membangun pusat logistik berikat (PLB) menjadi solusi mengatasi persoalan ekspor timah. Barang-barang ekspor yang sudah masuk PLB akan memperoleh imunitas dan kepastian hukum yang lebih jelas.
”Namun, koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah jadi kunci untuk mendorong ekspor timah,” kata Megain.
Terkait kasus gagal ekspor dan misinterpretasi regulasi ekspor timah, pihak Bea dan Cukai Kementerian Keuangan belum memberikan konfirmasi.
Sebelumnya, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang PS Brodjonegoro menyatakan, regulasi dan institusi menjadi penghambat utama ekonomi tumbuh tinggi. Selanjutnya, masalah sumber daya manusia dan infrastruktur.
Menurut kajian Bappenas, beberapa regulasi belum mendukung penciptaan dan pengembangan bisnis, bahkan ada kecenderungan membatasi. Regulasi itu khususnya di bidang perdagangan, investasi, dan tenaga kerja, sedangkan kualitas institusi rendah karena tingkat korupsi tinggi dan koordinasi antarkebijakan lemah.