Ribuan santri rela menempuh puluhan hingga ratusan kilometer menuju Sarang, Kabupaten Rembang, melepas Mbah Moen walau almarhum dimakamkan di Mekkah. Satu wujud hormat kepada sang guru.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·5 menit baca
Banyak hati terenyuh mendengar kabar berpulangnya KH Maimoen Zubair (90) di Mekkah, Arab Saudi, Selasa (6/8/2019), tak terkecuali para santri yang pernah diajarinya. Mereka rela menempuh jarak puluhan hingga ratusan kilometer menuju Sarang, Kabupaten Rembang, meskipun jenazah dikebumikan di Mekkah. Satu wujud hormat kepada sang guru.
Di depan pintu kayu mushala Pondok Pesantren Al-Anwar yang menganga, Robith Jazuli (49) duduk sambil tertunduk. Sesenggukan ia mengusap wajahnya yang berlinang air mata. Suara tangisnya terdengar hingga sudut jalan kawasan ponpes sekaligus kediaman Mbah Moen, di Sarang, Rembang, Jawa Tengah, siang itu, Rabu (7/8/2019).
Robith, yang nyantri di Al-Anwar pada 1995-1999, kemudian mencoba menenangkan diri di dalam mushala. ”Saya terkenang segala kebaikan dan ajaran Mbah Moen. Dulu saya sering diminta memijat setiap beliau habis jalan jauh. Saya diajarkan banyak hal, salah satunya selalu hargai orang lain, siapa pun dia,” ujarnya.
Saya diajarkan banyak hal, salah satunya selalu hargai orang lain, siapa pun dia. (Robith Jazuli)
Oleh Mbah Moen, Robith, yang kini tinggal di Kabupaten Purworejo, Jateng, juga diminta untuk menerapkan segala ilmu dalam kehidupan. Menurut dia, santri boleh memakai jas, seragam, ataupun pakaian apa pun yang mewakili pekerjaannya. Namun, sampai kapan pun, hati harus tetap sebagai santri.
Di dekat Robith, ada Ali Masykur Maturiti (47), teman sekelasnya saat mondok di Al-Anwar. Siang itu, mata Ali tertuju pada rumah Mbah Moen yang jaraknya hanya 5 meter di depan mushala. Kendati demikian, tatapannya kosong. Ia masih tak percaya sang guru yang amat dihormatinya telah pergi.
Pikiran Ali, yang kini mengasuh ponpes di Kabupaten Kebumen, Jateng, tak bisa lepas dari momen pada 1 Juli 2019. ”Itu terakhir kali saya sowan ke Mbah Moen. Saya datang sekalian minta dicarikan nama untuk anak keempat saya yang baru lahir. Ternyata itu menjadi pertemuan terakhir,” kata Ali tersedu.
Ali mengatakan, nama pemberian Mbah Moen untuk putrinya adalah Azza Maimanah yang berarti kemuliaan. Lewat nama itu, ia berharap apa yang diajarkan Mbah Moen, seperti saling menghormati terhadap sesama serta tak membeda-bedakan suku dan agama, dapat diikuti putrinya kelak.
Salah satu putra Mbah Moen, Taj Yasin, menuturkan, semasa hidup, ayahnya tidak pernah meninggalkan para santri. ”Beliau selalu menanamkan kepada kami untuk selalu mengajar. Kapan pun dan di mana pun. Itu yang beliau lakukan. Meski hanya bismillahirahmanirrahim, misalnya,” kata Yasin.
Yasin, yang juga Wakil Gubernur Jateng, bercerita, Pondok Sarang sudah berdiri sejak 1800-an. Adapun Ponpes Al-Anwar didirikan Mbah Moen pada 1969. Segala hal terkait aturan, metode pembelajaran, dan materi disusun sendiri oleh ulama karismatik yang lahir pada 28 Oktober 1928 itu.
Beliau selalu menanamkan kepada kami untuk selalu mengajar. Kapan pun dan di mana pun. Itu yang beliau lakukan. Meski hanya bismillahirahmanirrahim, misalnya. (Taj Yasin)
Ponpes Al-Anwar kini telah berkembang. Selain Al-Anwar pusat, juga ada Al-Anwar 2, Al-Anwar 3, dan Al-Anwar 4. ”Anak-anaknya yang akan meneruskan. Kesepuluh putra-putri beliau sudah mendapat tugas masing-masing. Semuanya sudah ditata oleh Mbah Moen,” ucap Yasin.
Berdatangan
Meskipun Mbah Moen dimakamkan di Ma’la, Mekkah, tamu-tamu berdatangan ke Ponpes Al-Anwar, Sarang, sejak Selasa pagi. Siang hingga sore dilaksanakan pembacaan Surat Yasin serta tahlilan. Selepas Maghrib, shalat Ghaib dilakukan di jalan dengan lebar sekitar 5 meter, di depan kediaman Mbah Moen.
Semakin malam kawasan sekitar kediaman Mbah Moen semakin padat. Santri, alumni, kerabat, hingga pengagum terus berdatangan. Tak ayal arus lalu lintas di jalur pantura tersendat. Namun, sama sekali tak ada klakson berbunyi. Para pemakai jalan, termasuk para sopir truk, menghormati kepergian sang ulama teladan.
Di bawah gapura Al-Anwar, empat pemuda tampak bersabar untuk masuk ke dalam antrean orang-orang menuju ke depan kediaman Mbah Moen. Membawa tas ransel, mereka datang dari Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, ke Sarang, karena terenyuh akan kepergian sosok yang mereka kagumi.
”Kami menumpang truk dari Mojokerto ke Gresik, lalu dilanjutkan bus jurusan Semarang sampai sini. Kami pikir Mbah Moen dimakamkan di sini, ternyata di Mekkah, tetapi tidak apa-apa. Sekarang sudah lega bisa sampai sini dan ikut mendoakan. Mbah Moen kiai sepuh yang sangat kami hormati,” kata Ahmad Himawan (16).
Ahmad bersama Dadang Julianto (16), Syaikhul Rosyidin (18), dan Daru Panuntun (16) merupakan santri Ponpes Sabilul Muttaqin, Mojokerto. Meskipun baru sekali bertemu, keempatnya kagum pada Mbah Moen. Ajarannya selalu membuat hati tenang karena selalu mengedepankan perdamaian.
Parmu (45), warga Jiken, Kabupaten Blora, juga sengaja datang ke Sarang pada Selasa siang. ”Saya enggak pernah nyantri di sini, tetapi kepergian Mbah Moen begitu menyayat hati. Pertama kali tahu dari anak yang alumnus Pondok Sarang. Saya coba untuk tak menangis, tidak bisa. Langsung saja meluncur,” katanya.
Menurut Parmu, petuah, petunjuk, dan ajaran Mbah Moen begitu membekas. Apa yang disampaikannya selalu menyejukkan dan benar-benar berguna dalam kehidupan. Misalnya, manusia harus menjaga perasaan orang lain yang berbeda pendapat. Semua hal harus disikapi dengan hati dan kepala jernih.
M Ainul Yaqin (25), santri Ponpes Al-Anwar asal Wonorejo, Kabupaten Pasuruan, Jatim, mengatakan, dirinya setengah tak percaya akan kepergian Mbah Moen. ”Mendengar kabar itu, seperti orang jatuh cinta kemudian patah hati. Hancur rasanya. Mbah Moen berpesan kepada santri untuk menjadi nasionalis religius,” katanya.
Pendidik
Putra bungsu Mbah Moen, Muhammad Idror, menuturkan, dalam mendidik, ayahnya sebenarnya tidak memiliki cita-cita untuk mendirikan pondok pesantren. Mbah Moen awalnya hanya mendirikan majelis, tetapi kemudian banyak murid yang datang hingga akhirnya terus berkembang menjadi Ponpes Al-Anwar.
Dalam mendidik, Mbah Moen juga melihat situasi pada orang yang dididik. ”Artinya, semua tidak bisa disamaratakan. Namun, secara umum, ajaran-ajaran beliau mengikuti Rasulullah SAW. Hadis, tafsir, dan fikih, itulah yang menjadi patokan. Beliau senang mengajar dan tak gampang marah,” kata Idror.
Ia menambahkan, Mbah Moen menginginkan Indonesia maju dan damai. Hal itu bergantung pada generasi penerus bangsa ke depan. Bukan hanya putra-putrinya, Mbah Moen berharap generasi muda Indonesia mampu gigih guna membawa negara maju serta terus merajut persatuan dan kesatuan bangsa.
Beberapa hari setelah Mbah Moen wafat, warga, santri, alumni ponpes, hingga pengagum masih memadati Ponpes Al-Anwar, Sarang. Ratusan karangan bunga masih dijajar di sisi jalan pantura. Duka mendalam itu benar-benar terasa. Sang kiai pembawa kesejukan hati itu akan selalu dikenang di Sarang.