Warga Mendukung jika Kebijakan Ganjil Genap Berlaku Adil
Sebagian warga Ibu Kota mendukung perluasan kebijakan ganjil genap yang diterapkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mulai 9 September 2019.
Oleh
STEFANUS ATO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebagian warga Ibu Kota mendukung perluasan kebijakan ganjil genap yang diterapkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mulai 9 September 2019. Meski demikian, warga berharap pemerintah berlaku adil karena kemacetan tidak hanya tanggung jawab pemilik mobil, tetapi juga semua pemilik kendaraan pribadi.
Rahman Wihelmi (47), mengatakan, Pemprov DKI tidak serius mengatasi persoalan kemacetan lalu lintas di Ibu Kota. Seharusnya, semua jenis kendaraan pribadi, baik itu mobil maupun sepeda motor, diberlakukan aturan yang sama. Penegakan hukum dalam berlalu lintas harus berlaku untuk semua.
”Belum lagi mereka yang punya mobil dua, pasti tetap bebas ke mana saja. Ada atau tidak kebijakan untuk membatasi mereka yang punya mobil lebih dari satu. Kebijakan ini tujuannya untuk siapa,” ucap Rahman saat ditemui di Jalan Salemba Raya, Jakarta Pusat, Rabu (7/8/2019).
Sebelumnya, Dinas Perhubungan DKI mengumumkan perluasan area ganjil genap di Ibu Kota. Total ada 25 ruas jalan arteri yang berlaku ganjil genap. Selain perluasan area, waktu pelaksanaan ganjil genap juga diperpanjang satu jam.
Penegakan hukum
Menurut Rahman, jika aturan ini diberlakukan dengan adil, dia tak keberatan untuk menggunakan angkutan umum. Namun, kebijakan ini dinilai tak menyasar semua jenis kendaraan sehingga kemacetan tetap akan menjadi masalah besar di ruas-ruas jalan yang tak berlaku sistem ganjil genap.
”Kalau saya pakai angkutan publik, apa ada yang bisa menjamin tidak lagi ada kemacetan. Lihat saja sendiri, banyak bus Transjakarta yang masih sering kena kemacetan karena jalurnya diterobos kendaraan lain. Penegakan hukum harus berjalan,” ucap lelaki yang bermukim di Clincing, Jakarta Utara itu.
Rahman menambahkan, selama belum ada jaminan terkait layanan transportasi publik yang bisa menjawab kebutuhan warga, dia akan tetap memilih mengendarai sepeda motor. Sebab, untuk menggunakan transportasi publik, kereta rel listrik misalnya, belum terhubung hingga wilayah Cilincing.
”Kereta, kan, hanya sampai (stasiun) Tanjung Priok, itu pun (jadwalnya) satu jam sekali. Nomor pelat mobil saya genap, saat tanggal ganjil pasti pakai sepeda motor, kan, enggak dilarang,” kata karyawan swasta di Paseban, Senen, itu.
Richard Yaz (28), pengguna mobil yang tinggal di Bintaro, mengatakan, dirinya tidak mempermasalahkan dan mendukung peraturan ganjil genap. Tanpa itu, masalah kemacetan dan polusi di Jakarta tidak akan pernah teratasi.
Menurut Richard, jika penerapan ganjil genap tidak disertai dengan integrasi pada angkutan lain , dia akan beralih pada ojek daring. Meski demikian, ia khawatir aturan ini justru kian menumbuhkan pengguna sepeda motor.
”Saya juga mungkin akan begitu. Dari rumah naik ojek daring menuju stasiun MRT atau KRL, sampai, lalu pakai ojek daring lagi menuju kantor. Nah, kalau begitu, kemacetan pasti akan terjadi di sekitar stasiun,” kata Yaz.
Sangat dibutuhkan
Sementara itu, di Jakarta Selatan, kebijakan ganjil genap diapresiasi sejumlah warga. Misalnya, Susan (38), warga yang berdomisili di Kecamatan Cilandak. Menurut dia, kebijakan perluasan sistem ganjil genap sangat dibutuhkan saat ini karena kondisi jalanan di Jakarta sudah terlalu semrawut.
”Bagus, kok. Dengan begitu, warga akan lebih banyak menggunakan angkutan umum. Harapannya kemacetan dan polusi akan berkurang,” kata Susan.
Susan juga siap beralih ke moda transportasi umum karena di sekitar tempat tinggalnya banyak tersedia moda transportasi publik, seperti Moda Raya Terpadu (MRT), bus Transjakarta, dan angkutan JakLingko.
Kebijakan ganjil genap dinilai akan akan mendorong warga untuk mengutamakan transportasi publik.
”Akan tetapi, pemerintah jangan hanya menyuruh warga beralih ke transportasi umum. Fasilitasnya juga perlu ditambah dan diperbaiki. Pasti orang-orang enggak segan pakai transportasi umum kalau bagus, nyaman, dan murah,” tutur Susan.
Sapta Hadi (32), warga Kramatjati, Jakarta Timur, yang setiap hari menggunakan sepeda motor ke tempat kerjanya di daerah Kuningan, Jakarta Selatan, mengatakan, kemacetan di Jakarta kian parah. Ia selalu menghabiskan waktu lebih dari sejam saat terjadi kemacetan. Waktu tempuh normal hanya sekitar 30 menit.
”Sementara kalau pakai transportasi publik juga repot. Saya harus jalan kaki 10 menit dulu keluar dari gang rumah sampai ke jalan raya untuk naik angkot. Pilihannya pakai Transjakarta terdekat. Sampai di Kuningan masih harus jalan kaki lagi atau pakai ojek,” kata Sapta.
Jika integrasi transportasi sudah terjangkau, kata Sapta, sebenarnya ia ingin menggunakan transportasi massal sehingga memudahkan aksesibilitas dan mobilitasnya. Meski pembangunan transportasi di Jakarta begitu masif, belum begitu dirasakan dan berdampak luas mengatasi kemacetan di Jakarta.
Sosialisasi
Di kesempatan berbeda, Wakil Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya AKBP I Made Agus Prasetya mengatakan, polisi akan melakukan tindakan preventif terlebih dahulu sebelum memberlakukan tilang. Polisi akan berjaga dan menyosialisasikan penerapan perluasan sistem ganjil genap di 25 ruas jalan yang telah ditetapkan Pemerintah Provinsi DKI.
Sosialisasi ganjil genap pada 7 Agustus-8 September 2019. Selanjutnya, uji coba di ruas jalan tambahan dimulai 12 Agustus hingga 6 September 2019.
”Preventif penempatan petugas-petugas kami di titik-titik yang telah ditentukan," ujar Agus.
Setelah itu, mulai 9 September, polisi akan menilang para pengendara mobil yang melanggar perluasan sistem pembatasan kendaraan bermotor berdasarkan nomor polisi ganjil dan genap. Penilangan akan mengacu pada ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
”Kami dari Ditlantas Polda Metro Jaya mulai 9 September akan melakukan tataran tindakan kepolisian penegakan hukum, yaitu penindakan secara represif,” kata Agus. (AGUIDO ADRI/AYU PRATIWI/NIKOLAUS HARBOWO)