Rumah Dambaan Sebatas Brosur
Hari Senin (29/7/2019), apel di Kantor Lurah Pisangan Timur, Pulo Gadung, Jakarta Timur, memberi percik harapan bagi Rendi Hadi Saputra (28). Pembina apel saat itu, salah satu atasan di kantor lurah, membagikan brosur penawaran rumah di Cibarusah, Kabupaten Bekasi, ke petugas penanganan prasarana dan sarana umum (PPSU) kelurahan, termasuk Rendi.
Mereka didorong mengambil peluang sebelum harga rumah naik lagi.
Pada brosur, gambar bangunan ukuran 21 meter persegi dan tanah 60 meter persegi. Masih ada sisa tanah sebagai halaman rumah.
“Wah, itu halaman bisa buat main anak, buat nongkrong sore-sore,” kata Rendi saat ditemui di kontrakannya di Pisangan Timur, Kamis (1/8/2019) lalu.
Namun, setelah berdiskusi dengan istrinya, Novianti Anggraeni (26), impian membeli rumah pupus sudah.
Sebagai pegawai kontrak PPSU pendapatan Rendi sekitar Rp 3,9 juta. Rumah dengan cicilan sekitar Rp 1 juta per bulan selama 15 tahun, hanya bisa dibeli jika pendapatan bulanannya dipastikan tetap selama batas masa kredit. Jika Rendi tidak lolos seleksi PPSU tahun depan, ia belum tentu mendapat pekerjaan lain bergaji setara.
Baca juga : Kisah Para Saksi Perubahan
Selain itu, jika pindah ke Cibarusah, Rendi harus menyisihkan uang untuk kredit sepeda motor. Sebab, Rendi wajib mulai bekerja pukul 05.00, dan jarak Cibarusah-kantor lurah Pisangan Timur lebih dari 50 kilometer. Waktu tempuh sekitar dua jam sekali jalan karena padatnya lalu lintas.
Belum lagi pengeluaran kebutuhan lain, termasuk untuk anak perempuan mereka yang kini baru berusia 1 tahun 4 bulan.
Tetap tak terjangkau
Cerita berbeda dituturkan Menur Maretta (29). Dengan penghasilan Rp 13 juta sebulan, ia tak pernah berpikir mencari bantuan pembiayaan kepemilikan perumahan. Untuk program Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Rumah DP 0 Rupiah, misalnya, syarat gaji tak lebih dari Rp 7 juta sebulan.
Namun, perempuan asal Madiun, Jawa Timur yang bekerja di sebuah perusahaan di Tanjung Priok, Jakarta Utara itu pun tetap tidak bisa menjangkau tempat tinggal layak di dekat tempat kerja.
”Saya pernah melihat tawaran perumahan di Bekasi, dekat akses tol. Harganya Rp 1 miliar, tapi kalau saya membelinya, saya juga harus beli mobil untuk berangkat kerja nyaman. Itu pengeluaran tambahan sangat besar,” katanya.
”Saya pernah melihat tawaran perumahan di Bekasi, dekat akses tol. Harganya Rp 1 miliar, tapi kalau saya membelinya, saya juga harus beli mobil untuk berangkat kerja nyaman. Itu pengeluaran tambahan sangat besar,” katanya.
Di sekitar tempat kerjanya, rumah layak dengan tiga kamar dan terjaga keamanannya 24 jam bernilai sekitar Rp 5 miliar. Sementara, harga satu unit apartemen kelas menengah sekitar Rp 550 juta-Rp 700 juta. Namun, ia menilai, unit-unit terlalu sempit untuk ia, suami, dan anaknya.
Menur sebenarnya sangat mengharapkan pemerintah bisa mewujudkan pemukiman terjangkau secara adil bagi semua kalangan.
”Mungkin seperti di Singapura. Rumah susun dengan ruang tamu dan tiga ruang tidur yang layak dan teras. Harganya tak perlu terlalu murah, asal tidak melambung tak masuk akal seperti sekarang ini,” ujarnya.
Hal yang sama dialami karyawan swasta Ciputri (26) yang baru saja menikah. Ia terpaksa mencari rumah di Depok, Jawa Barat. Padahal, ia dan suaminya ber-KTP DKI Jakarta dan sehari-hari bekerja di Jakarta Pusat. Dari Depok ke tempat kerjanya, butuh 2 jam dengan kereta.
Baca juga : Perumahan di Pinggiran Jakarta
”Standar sebenarnya 40 menit, tetapi saya harus bersiap 2 jam sebelumnya, siapa tahu kereta kena gangguan atau semacamnya,” katanya.
Dengan waktu tempuh itu, ia merasa kualitas hidupnya tak sebaik kalau bisa memperoleh hunian di pusat kota, dekat tempatnya bekerja. Namun, dengan penghasilan Rp 7 juta per bulan, ia tak mampu.
Pengamat masalah perkotaan Universitas Trisakti, Yayat Supriatna mengatakan, membeli rumah sebaiknya tidak dipaksakan jadi solusi bagi pekerja Jakarta. Rumah sewa yang layak huni, dengan lingkungan yang sehat, harga wajar terkontrol, direkomendasikan jadi prioritas. Namun, itu bukan tanpa masalah.
Sebagai gambaran, penghuni 57 persen atau 9.094 unit rumah susun sederhana sewa milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta belum membayar uang sewa. Jika ditotal, nilainya diperkirakan mencapai Rp 30 miliar-Rp 35 miliar (Kompas, 3 /7/2019). Itu risiko yang sangat besar bagi pengembang swasta.
Karena itu, Yayat menyarankan pemerintah dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyediakan skema subsidi untuk rumah sewa bagi warga. Beberapa skema kelas rumah sewa bisa diterapkan sesuai kategori pendapatan. Insentif khususnya diperlukan bagi yang berpendapatan rendah.
Dengan adanya jaminan subsidi seperti itu, Yayat yakin pengembang bersedia membangun rumah sewa. Fasilitas bantuan sewa rumah pun sebaiknya dibatasi, misalnya diberikan maksimal lima tahun.
Kepala Dinas Cipta Karya, Pertanahan, dan Tata Ruang Heru Hermawanto mengatakan, selama ini pengaturan zonasi di Jakarta sudah dipermudah untuk pembangunan rumah susun oleh pemerintah dan swasta. ”Harga untuk masyarakat berpenghasilan rendah, harga disubsidi agar harga tak melambung,” katanya.
Heru mengatakan, selama ini memang ada fenomena warga asli Jakarta yang kesulitan mempunyai tempat tinggal sendiri. Ini karena warga begitu mudah menjual lahannya kepada pengembang.
Akan tetapi, faktanya, pemerintah terkesan tak berdaya mengatasi masalah ini. Pengendalian harga lahan agar harga properti terkendali saja, sulit dilakukan. Pada akhirnya, banyak warga dibiarkan terpukau oleh iklan perumahan layak tanpa kemampuan menjangkaunya.