Raksasa Rapuh Jabodetabek
Pengembangan kawasan baru di sekitar Jakarta terus tumbuh hingga hampir seluas ibu kota. Meski meraksasa, kehadiran “kota-kota baru” belum menjawab kebutuhan pemenuhan tempat tinggal dan memicu berbagai masalah serius.
JAKARTA, KOMPAS -- Kota-kota baru yang dikelola pengembang terus tumbuh di seputar pinggiran Jakarta.
Menurut data yang dipaparkan Executive Director Real Estate Indonesia (REI) Dhani Muttaqin, perkembangan kota baru itu amat pesat. Sekitar tahun 1990, terdata sekitar 20 township (kota baru yang dikelola pengembang) di seputaran Jabodetabek. Sekarang, jumlahnya mencapai 33 township dengan luas sekitar 50.338 hektar atau hampir setara luas DKI Jakarta yang mencapai 66.150 hektar.
Jakarta sampai ke Cikarang hingga perbatasan Karawang sudah tersambung oleh kota-kota baru yang dikelola pengembang swasta. Kawasan permukiman baru menggantikan desa-desa berbasis sawah dan ternak. Hal serupa terjadi hingga ke Balaraja di Kabupaten Tangerang yang berbatasan dengan Serang. Pun hingga ke Kota dan Kabupaten Bogor. Harga rumah di kompleks perumahan di ujung Cikarang sekitar Rp 500 juta per unit. Itu sudah tergolong murah.
Dhani, saat ditemui di diskusi CitiesTalk 2 yang digelar Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) Indonesia di Jakarta, Rabu (31/7/2019) mengatakan, pengembangjuga terpaksa semakin ke pinggir karena kenaikan harga tanah di pusat-pusat kota di Jabodetabek begitu tinggi. Peningkatan harga lahan di Jabodetabek mencapai 24,54 persen per tahun dengan laju kenaikan tertinggi di Depok mencapai 37,13 persen.
Beralihnya lahan produktif untuk pangan menjadi untuk permukiman bukan hanya soal pembangunan perumahan berkonsep kota mandiri. Di Kota Bogor, terdapat area kebun singkong dan sawah yang berubah fungsi jadi permukiman “skala kampung”, seperti terlihat di Bojongkerta, Kecamatan Bogor Selatan.
Berdampingan dengan Kampung Bojong Pesantren, satu kawasan bermukim seluas sekitar 1 ha muncul enam tahun lalu. Permukiman yang dijuluki Kampung Baru itu tempat berpindah bagi sebagian warga Kelurahan Bojongkerta serta Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor, yang lahannya dibebaskan untuk proyek tol Bogor-Ciawi-Sukabumi (Bocimi).
Mulyadi Maulana (19) yang lahir dan tumbuh di Kampung Parung Lesang, Cikarang Pusat, Kabupaten Bekasi berkisah mirip dengan warga Bojongkerta. Banyak warga kampungnya kini pindah ke kampung lebih ke pinggir lagi saat lahannya dibeli pengembang. “Tak mungkin beli rumah di sini lagi. Terlalu mahal. Biasanya dibeli orang yang kerja di Jakarta,” katanya.
Padahal, dari Slipi, Jakarta Pusat menuju ke kawasan itu dibutuhkan sekitar 1,5 jam melalui tol sekali jalan. Itu pun kalau lancar. Perjalanan lebih sering macet karena banyaknya kendaraan angkutan berat, baik truk dan trailer, menuju kawasan-kawasan industri yang tersebar di sana.
Kondisi ini terjadi di sepanjang penjuru mata angin. Melaju ke barat, kawasan pengembangan baru sudah mencapai perbatasan dengan Serang, Banten. Tol Jakarta-Merak menjadi akses utama guna mencapai kawasan perumahan besar tak jauh dari Pintu Tol Balaraja Timur. Ke arah selatan, siapa yang tidak kenal Kota Depok yang kini begitu rapat dengan pelbagai perumahan.
Peneliti dan pengajar di Departemen Perencanaan Kota dan Real Estate Universitas Tarumanegara mengatakan, proses pengembangan kota-kota baru oleh pengembang dimulai sejak awal 1980. Saat itu, para pengembang berusaha menguasai sebanyak mungkin lahan dengan memanfaatkan kebijakan pemerintah memberikan izin penguasaan lahan untuk pengembangan permukiman, termasuk rumah murah.
“Namun, pembangunan kota baru kini lepas dari yang dibayangkan pertama kali,” ucap Suryono, Selasa (23/7).
“Namun, pembangunan kota baru kini lepas dari yang dibayangkan pertama kali,” ucap Suryono, Selasa (23/7).
Saat ini, kota-kota yang dikelola pengembang bahkan menjadi lebih kuat daripada pemerintah daerahnya dan hanya mampu diakses masyarakat menengah ke atas.
Baca juga : Kisah Para Saksi Perubahan
“Seperti konsolidasi BSD, Lippo Karawaci, Gading Serpong dan Alam Sutra sudah mengalahkan pemerintah Kota Tangerang, Tangerang Selatan dan Kabupaten Tangerang. Karena semua pusat aktivitas dan pelayanan publik di sana sudah tingkat internasional. Sekolah, rumah sakit, universitas hingga toko-tokonya,” katanya.
Pemborosan
Di sisi lain, kondisi perumahan di DKI Jakarta pun masih memprihatinkan. Tahun ini, dari kebutuhan 1,46 juta unit, Pemprov DKI baru bisa memfasilitasi 700 unit rumah susun milik dengan program rumah DP 0 Rupiah di Klapa Village.
Wakil Direktur Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) Indonesia Faela Sufa mengatakan, pola yang sekarang terjadi merupakan pemborosan dari sisi ekonomi, energi hingga lingkungan. Dari sisi ekonomi, pola ini memaksa pemerintah terus membangun infrastruktur ke kota-kota baru yang terus bertambah. Jalan-jalan baru, rel hingga beragam fasilitas publik yang tidak murah.
Baca juga : Perumahan di Pinggiran Jakarta
Pola hunian yang sekarang berkembang pun eksklusif dengan akses didesain untuk kendaraan bermotor. Warga pun terdorong menggunakan mobil atau sepeda motor. "Seberapapun fasilitas dan infrastruktur transportasi dibangun pemerintah, kemacetan jadi ancaman karena orang terus menggunakan kendaraan pribadi," kata Faela.
"Seberapapun fasilitas dan infrastruktur transportasi dibangun pemerintah, kemacetan jadi ancaman karena orang terus menggunakan kendaraan pribadi," kata Faela.
Tak usah heran jika kualitas udara di Jakarta dan sekitarnya buruk. Setiap hari sesuai data Litbang Kementerian Hubungan, ada 100 juta perjalanan per hari di Jabodetabek dan didominasi kendaraan pribadi. Tak terhitung polusi dari asap pembakaran kendaraan tersebut.
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono mengatakan, pengembangan kota di Indonesia umumnya menyebar tidak beraturan. Perkembangan itu tidak bisa ditahan atau dihentikan. Untuk itu, ke depan seperti jika membangun ibu kota baru, harus dibuat strategi pengembangan lebih teratur.
Ketua Umum IAP Bernardus Djonoputro berpendapat, pengembangan kapasitas pemerintah daerah merupakan salah satu hal krusial untuk perumahan rakyat. Pemerintah daerah mesti kuat untuk menjaga agar rasio pembangunan rumah mewah, menengah, dan murah terlaksana. Pemda juga mesti memiliki kapasitas fiskal guna menjamin infrastruktur dasar tersedia bagi warganya.
Ketua Umum IAP Bernardus Djonoputro berpendapat, pengembangan kapasitas pemerintah daerah merupakan salah satu hal krusial untuk perumahan rakyat.