Dengan penghasilan Rp 13 juta sebulan, Menur Maretta (29) tak pernah berpikir untuk mencari bantuan pembiayaan kepemilikan perumahan. Sebab, gajinya sudah jauh di atas dari syarat untuk menerima bantuan itu. Untuk program Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Rumah DP 0 Rupiah, misalnya, syarat gaji tak lebih dari Rp 7 juta sebulan.
Oleh
Irene Sarwindaningrum
·5 menit baca
Kaum menengah Jakarta seolah sendiri dalam menghadapi kesulitan mencari rumah di pusat kota. Mereka terlalu kaya untuk masuk dalam program bantuan pemerintah, tetapi juga terlalu miskin untuk membeli sendiri rumah yang memadai di pusat kota.
Dengan penghasilan Rp 13 juta sebulan, Menur Maretta (29) tak pernah berpikir untuk mencari bantuan pembiayaan kepemilikan perumahan. Sebab, gajinya sudah jauh di atas dari syarat untuk menerima bantuan itu. Untuk program Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Rumah DP 0 Rupiah, misalnya, syarat gaji tak lebih dari Rp 7 juta sebulan.
Namun, hingga sekarang perempuan asal Madiun, Jawa Timur, itu belum juga melakukan kredit rumah atau boro-boro beli rumah sendiri setelah empat tahun bekerja di sebuah perusahaan di Tanjung Priok, Jakarta Utara. Ia sudah berulang kali mencari rumah, tetapi selalu mundur karena harganya terlalu tinggi atau lokasinya terlalu jauh.
”Saya pernah melihat tawaran perumahan di Bekasi, dekat dengan akses tol. Harganya Rp 1 miliar, tapi kalau saya membelinya, saya nanti juga harus beli mobil untuk berangkat kerja nyaman. Itu akan jadi pengeluaran tambahan yang sangat besar,” katanya.
”Saya pernah melihat tawaran perumahan di Bekasi, dekat dengan akses tol. Harganya Rp 1 miliar, tapi kalau saya membelinya, saya nanti juga harus beli mobil untuk berangkat kerja nyaman. Itu akan jadi pengeluaran tambahan yang sangat besar,” katanya.
Ia juga berkali-kali mencari rumah di kawasan perumahan di kawasan di dekat kantornya. Ia berharap bisa memperoleh di kawasan Sunter, Kemayoran, sekitar Tanjung Priok, agar tetap dapat berangkat bekerja dengan sepeda motor tanpa harus membeli mobil.
Namun, harga yang ditawarkan di lokasi-lokasi itu sudah lebih dari Rp 5 miliar. Harga ini hanya untuk rumah tiga kamar dengan halaman yang layak di kompleks yang terjaga keamanannya 24 jam.
Untuk membeli apartemen di pusat kota, menurut dia, harganya juga sudah terbilang tak murah. Harga satu unit apartemen kelas menengah di sana sekitar Rp 550 juta-Rp 700 juta. Namun, ia menilai, unit-unit itu tak manusiawi untuk tempat tinggal sekeluarga karena sangat sempit dan tak mempunyai teras atau balkon yang bisa memberinya ruang menyalurkan hobi berkebun.
Menur sebenarnya sangat mengharapkan pemerintah bisa mewujudkan pemukiman terjangkau secara adil, tidak hanya untuk warga menengah ke bawah. Ia tak keberatan untuk membeli unit rumah susun yang layak selama harga dan luasnya masuk akal.
”Mungkin seperti di Singapura ya. Rumah susun yang mempunyai ruang tamu dan tiga ruang tidur yang layak dan juga teras yang memadai. Harganya tak perlu terlalu murah, asal tidak melambung tak masuk akal seperti sekarang ini,” ujarnya.
”Mungkin seperti di Singapura ya. Rumah susun yang mempunyai ruang tamu dan tiga ruang tidur yang layak dan juga teras yang memadai. Harganya tak perlu terlalu murah, asal tidak melambung tak masuk akal seperti sekarang ini,” ujarnya.
Hal yang sama dialami karyawan swasta Ciputri (26) yang baru saja menikah. Ia terpaksa mencari rumah di Depok, Jawa Barat. Padahal, ia sendiri dan suaminya warga ber-KTP DKI Jakarta dan sehari-hari bekerja di kawasan Jakarta Pusat. Untuk menuju ke tempat kerjanya, dibutuhkan waktu tempuh sekitar 2 jam dengan kereta.
”Standar sebenarnya 40 menit, tetapi saya harus bersiap 2 jam sebelum masuk kerja karena sekarang siapa tahu kereta kena gangguan atau semacamnya,” katanya.
Dengan waktu tempuh itu, ia merasa kualitas hidupnya tak sebaik kalau bisa memperoleh hunian di dalam pusat kota, dekat dengan tempatnya bekerja.
Namun, dengan penghasilan Rp 7 juta per bulan, ia merasa tak mungkin dapat membeli properti yang layak di pusat kota karena harganya miliaran rupiah untuk rumah atau unit apartemen yang memadai untuk hidup berkeluarga saja. Di sisi lain, ia juga tak mungkin bisa memperoleh program bantuan dari pemerintah karena penghasilannya sudah lebih besar.
Ia heran dengan harga properti di Jakarta yang sekarang ini ia nilai tak masuk akal lagi. ”Sekarang ini rumah di pelosok-pelosok saja harganya sudah miliaran. Kalau mau yang murah, kondisinya tak layak untuk hidup berkeluarga,” katanya.
Menurut data yang dipaparkan Direktur Eksekutif Real Estate Indonesia (REI) Dhani Muttaqin, saat ini masih ada sekitar 51 persen warga Jakarta yang belum mempunyai rumah sendiri. Sebagian besar, sekitar 40 persen, adalah masyarakat berpenghasilan rendah.
Intervensi pemerintah
Menurut Dhani, ada dua hal yang memicu semakin mahal rumah di Jakarta. Pertama, pengembangan pemukiman sangat mengikuti harga lahan. Dengan harga lahan yang tinggi dan luasannya yang kian terbatas di pusat kota, pengembang semakin menjauh dari pusat kota Jakarta.
”Bukan pengembang tak mau, tapi memang sulit tercapai. Oleh karena itu, harus ada intervensi kebijakan pemerintah untuk rumah murah,” katanya.
”Bukan pengembang tak mau, tapi memang sulit tercapai. Oleh karena itu, harus ada intervensi kebijakan pemerintah untuk rumah murah,” katanya.
Intervensi pemerintah untuk menjaga rumah murah ini bisa ditempuh lewat dua cara, yaitu salah satunya zonasi rumah murah atau menetapkan satu kawasan sebagai kawasan rumah murah sehingga harga lahan dan properti di sana tidak bisa naik.
Cara lainnya adalah land banking atau membeli lahan untuk simpanan pemukiman rakyat sebanyak mungkin untuk nantinya dikerjasamakan dengan pihak swasta untuk membangunnya.
Selama ini, kata Dhani, sudah ada kerja sama soal kewajiban swasta menyediakan rumah murah sebagai bentuk CSR. Namun, dengan harga lahan di pusat kota yang begitu tinggi, kewajiban ini pun sulit dipenuhi untuk memenuhi kekurangan rumah (backlog) di DKI Jakarta.
Kepala Dinas Cipta Karya, Pertanahan, dan Tata Ruang Heru Hermawanto mengatakan, selama ini pengaturan zonasi di DKI Jakarta sudah dipermudah untuk pembangunan rumah susun. Hal ini untuk mendorong pembangunan rumah susun di Jakarta agar bukan pemerintah saja yang akan menyediakan rumah susun, tetapi juga swasta.
”Sementara harga untuk masyarakat berpenghasilan rendah, harga disubsidi agar harga tak melambung,” katanya.
Heru mengatakan, selama ini memang ada fenomena warga asli Jakarta yang kesulitan mempunyai tempat tinggal sendiri di dalam rumah. Ini juga karena selama ini warga begitu mudah menjual lahannya kepada pengembang.
Ke depan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta ingin mendorong pengelolaan lahan bersama yang dimiliki warga di perkampungan di DKI Jakarta. Pengelolaan bersama atau land consolidation ini akan didorong untuk pembangunan rumah susun, serta lahan yang dimiliki masyarakat tak hilang ke pengembang swasta.