Kegelisahan Berperan Ganda
Jenjang perkuliahan bukan sekadar perkara mengisi lembar-lembar soal, atau presentasi di depan kelas. Perkuliahan adalah jenjang persiapan mahasiswa untuk terjun ke dunia kerja, dan akhirnya berkontribusi di masyarakat. Makanya, ada keleluasaan bagi mahasiswa memiliki kegiatan luar ruang kelas, termasuk bekerja.
Layaknya program akselerasi, kuliah sambil kerja memiliki tantangan dan rasa bangga tersendiri di kalangan mahasiswa. Mahasiswa memang membutuhkan wadah implementasi berbagai teori yang sudah diperoleh di bangku perkuliahan.
Praktik kerja mampu menjawab tantangan tersebut. Tak hanya soal pengalaman, sisi independensi finansial juga menjadi daya tarik yang kuat bagi mahasiswa untuk bekerja sekaligus belajar.
Di sisi lain, ada risiko tinggi menanti mahasiswa yang memutuskan kuliah sambil kerja. Kedua lakon itu melahirkan beragam tanggung jawab yang berlomba menyita perhatian sang mahasiswa. Kemampuan menyeimbangkan kehidupan sebagai mahasiswa dan pekerja ini yang membuat keputusan nyambi ini harus dipertimbangkan dengan matang.
Pertimbangan dan persiapan matang ini turut diakui oleh Aleksandra Nugroho (22), mahasiswi Jurusan Ilmu Komunikasi, Universitas Multimedia Nusantara, Tangerang. Dia pernah nyambi jadi barista di tiga kefe saat berkuliah. Bagi dia, kondisi fisik dan manajemen waktu adalah dua modal utama.
“Asalkan kuat di fisik, sih, karena mobilitasnya tinggi. Aku saja pernah kena tifus karena saking capeknya kerja sambil kuliah. Meskipun capek, tapi tetap harus mengatur waktu, karena kalau tidak, ya, bisa kacau jadwal kita dan akhirnya mandek dua-duanya,” kata Aleksandra.
Untuk menyiasatinya, dia sengaja mengatur jadwal perkuliahannya di pagi hingga siang hari, yakni pukul 08.00-13.30. Baru setelahnya, dia mengambil shift kerja sore di kafe yang mulai buka pukul 14.00-23.00. Tak hanya itu, ia juga menyediakan satu hari khusus dengan tidak bekerja, ataupun tidak berkuliah, untuk mengerjakan tugas-tugas kuliah selama seminggu.
Bagi Aleksandra, pilihan kuliah sembari kerja ini merupakan inisiatif untuk membantu biaya perkuliahan, dan sewa kos. Aleksandra yang mulai bekerja sejak semester empat ini mengakui bahwa kemandirian finansial memunculkan kebanggan diri, meski harus mengorbankan waktu santai bersama kawan-kawannya. Dia bangga dan bahagia karena bisa meringankan beban orangtuanya.
Fleksibilitas waktu dan lokasi jadi pertimbangan utama Aleksandra memilih pekerjaan sampingan. Meski demikian, kelenturan itu tak bisa jadi alasan mengatur jadwal semena-mena, agar tidak merepotkan rekan lain di tempat kerja.
"Karena kuliah itu padat jadwalnya, jadi kalau tidak bisa nego jadwal dengan tempat kerja pasti akan sulit ngaturnya. Tempat juga kalau bisa yang dekat dengan kampus jadi nggak habis waktu atau ongkos di jalan," ujarnya.
Kelas karyawan
Sejatinya, sistem pendidikan di Indonesia telah mengakomodir banyaknya keinginan berkuliah sambil bekerja. Hal ini disebutkan dalam Penjelasan UU Nomor 20/2003 Pasal 4 Ayat 2 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Aturan itu berbunyi, “peserta didik dapat belajar sambil bekerja atau mengambil program-program pendidikan pada jenis dan jalur pendidikan yang berbeda secara terpadu dan berkelanjutan melalui pembelajaran tatap muka atau jarak jauh”.
Aturan ini diwujudkan dengan adanya perkuliahan kelas karyawan. Sistem kelas karyawan yang pada umumnya memulai kegiatan perkuliahan di sore hari menjadi alternatif bagi para mahasiswa yang hendak bekerja, ataupun karyawan yang mau kuliah.
Winni (22), mahasiswi jurusan akuntansi, Universitas Buddhi Dharma, Tangerang, Banten, mengaku memilih kelas karyawan karena memungkinkan berdampingan dengan pekerjaannya sebagai make up artist (MUA). Meski sudah bertekad menjadi perias sejak SMA, Winni tetap ingin berkuliah agar tak hanya memiliki satu jenis kemampuan saja.
"Sudah dari SMA aku ingin jadi MUA, tapi aku tetap ingin punya back-up plan kalau seandainya aku nggak menghasilkan di dunia make up. Orangtuaku juga mendukung banget untuk tetap kuliah," ucap Winni.
Kelas karyawan, diakui Winni, memberinya keleluasaan bagi mahasiswa untuk berbagi fokus dengan pekerjaan. Jadwal kuliah sore atau malam membuat mahasiswa memiliki opsi tempat kerja yang jauh lebih banyak dan beragam. Namun sebaliknya, opsi jurusan kelas karyawan sampai saat ini masih terbatas. Tak semua jurusan kelas reguler turut tersedia dalam kelas karyawan.
Meski demikian, ia juga mengakui semangat dan niat belajar berkemungkinan akan turun setelah beraktivitas sedari pagi. Maka, Winni menganggap urusan tekad menjadi sebuah elemen penting saat berkuliah sambil bekerja. Tekad harus kuat sehingga terus membakar semangat diri untuk menjalani kegiatan dari pagi hingga malam.
"Habis kerja pasti otaknya juga capek, jadi kadang suka kurang fokus di kelas. Ada yang nggak niat dengan telat-telat masuk ke kelas, tapi banyak juga yang dengar dosen dengan saksama. Ya tergantung orang dan niatnya," tutur Winni.
Kuliah sambil kerja memang sarat dengan tantangan dan bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Begitu banyak situasi dilematis yang harus dihadapkan pada pengambilan keputusan dan perencanaan yang bijak. Namun satu yang pasti, kuliah sambil kerja yang dijalankan dengan persiapan dan tekad yang kuat mampu meningkatkan kualitas hidup seseorang.(***)