Ternyata, "Demokrasi" Indonesia Berbuah "Kesejahteraan"
Sekalipun pelik dan berliku, tampaknya tak sia-sia demokrasi menjadi jalan politik yang dipilih bangsa ini dalam upaya menyejahterakan penduduknya. Masihkah relevan mencari alternatif jalan politik lain?
Relasi positif antara demokrasi dan kesejahteraan terkuak dalam berbagai indeks yang dipublikasikan Badan Pusat Statistik (BPS). Pada akhir Juli 2019, BPS memublikasikan Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) tahun perhitungan 2018. Hasilnya, capaian demokrasi negeri ini 72,39. Dalam kategori kualitas, besaran indeks tersebut menunjukkan kualitas demokrasi ”sedang”.
Menariknya, selama satu dasawarsa pencermatan (2009-2018), indeks komposit yang dibangun dengan 28 indikator, 11 variabel, dan terkelompokkan dalam 3 aspek persoalan inti demokrasi (kebebasan sipil, hak-hak politik, dan lembaga demokrasi) itu menunjukkan tren peningkatan. Secara statistik, peningkatan skor memang tak spektakuler, tetapi cukup signifikan perubahannya.
Jika dielaborasi berdasarkan periodisasi capaian, terdapat pula dinamika perubahan yang cukup signifikan. Sebelum tahun 2014, skor total indeks berada di bawah 70,0, sementara setelah 2014, skor indeks di atas 70,0 (grafik 1).
Kendati menunjukkan tren pencapaian demokrasi yang positif, secara kualitas, capaian sepanjang satu dasawarsa tersebut belum beranjak dari posisi ”sedang”. Bahkan, jika ditelisik berdasarkan perkembangan setiap aspek demokrasi yang diukur, terdapat beberapa situasi yang tergolong riskan.
Paling mencolok, misalnya, kecenderungan penurunan pada aspek kebebasan sipil. Kebebasan sipil dalam indeks ini dibangun 10 indikator, di antaranya terkait kondisi kebebasan berpendapat, kebebasan berkeyakinan, dan kebebasan dari diskriminasi. Pada awal pengukuran tahun 2009, kebebasan sipil mencapai 86,97 dan terkategorisasi berkualitas ”baik”. Namun, dari tahun ke tahun, angka itu menurun. Penurunan cukup signifikan terjadi setelah tahun 2014 yang mengarah pada kualitas ”sedang”.
Catatan paling menguatkan dari penurunan tersebut terkait dengan skor indikator kebebasan berkeyakinan. Kasus-kasus pelarangan pembangunan rumah ibadah di berbagai tempat, yang diikuti beragam tindakan intoleransi, tampaknya memperkeruh capaian demokratisasi di Indonesia. Selama setahun terakhir, indikator ini pula yang paling drastis penurunannya.
Begitu pula tekanan terhadap praktik kebebasan berpendapat. Kebebasan yang semakin terfasilitasi oleh kemajuan teknologi komunikasi tampaknya mendapat tekanan baru justru tatkala batasan kebebasan menjadi serba relatif. Kasus-kasus pelaporan pencemaran nama baik, penghinaan, dan penyebarluasan kabar bohong menjadi marak.
Akan tetapi, pada aspek hak-hak politik dan kelembagaan demokrasi justru terjadi kecenderungan meningkat. Dari dua aspek itu, hak-hak politik mampu bertahan dalam capaian kualitas ”sedang”. Periode sebelumnya (2009-2014), aspek ini tergolong ”buruk”.
Peningkatan partisipasi politik warga dalam dua pemilu presiden dan legislatif ataupun beragam ajang pilkada tampaknya menjadi pendorong pencapaian penilaian positif. Namun, di balik antusiasme penggunaan hak-hak politik itu, terdapat kecenderungan penurunan agak mengkhawatirkan terkait partisipasi politik warga dalam pengambilan keputusan dan pengawasan jalannya pemerintahan.
Sementara itu, pada aspek kelembagaan demokrasi, sisi positif mulai terkuak. Sekalipun kondisi penilaian tetap pada posisi kualitas ”sedang”, indeks ini dalam tiga tahun terakhir menunjukkan peningkatan signifikan (grafik 2). Jika ditelusuri, peran partai politik dan peradilan yang independen menjadi dua indikator yang mendukung peningkatan aspek kelembagaan demokrasi.
Hal itu bisa terjadi karena pada satu dasawarsa terakhir, ruang politik negeri ini banyak dipenuhi kiprah partai dalam menjalankan peran politiknya, terutama pada setiap kontestasi yang semakin intensif. Selain itu, maraknya persidangan berkaitan dengan sengketa politik dan hukum dinilai kian independen.
Dengan semua capaian yang terekam dalam indeks demokrasi tersebut, tidak keliru jika demokratisasi semakin bertumbuh di negeri ini. Namun, apakah capaian peningkatan kualitas demokrasi sebesar itu sudah sepantasnya dibanggakan?
Bagaimanapun, pilihan politik demokrasi ataupun format politik lainnya selalu dikaitkan dengan cita-cita bangsa dalam memajukan kesejahteraan warganya. Dengan menggunakan cara pandang yang sama, apakah dengan memilih jalan demokrasi berikut capaiannya selama ini sudah mampu memajukan kesejahteraan warga?
Tesis kesejahteraan
Tesis demokrasi sebagai faktor pendorong kesejahteraan sudah menjadi rumusan global yang diuji kesahihannya di negara-negara yang tengah menapak jalan demokrasi. Tesis kausalitas itu dibangun oleh dasar argumentasi yang bersifat rasional.
Praktik demokrasi berlandaskan pada kebebasan individu, kesamaan derajat, dan ruang kesempatan yang luas bagi setiap warga dalam memacu segenap potensi subyektif yang dimilikinya. Setiap warga menjadi subyek terhadap dirinya sendiri, termasuk di dalam menjalankan kehidupan ekonomi, politik, ataupun sosialnya.
Premis semacam ini berelasi terhadap kesejahteraan individu. Kesejahteraan pada hakikatnya adalah capaian yang diharapkan dan dituju oleh setiap individu. Juga menjadikan individu (warga) lebih sejahtera, yang ditopang capaian-capaian kualitas manusianya menjadi tujuan dari pembangunan politik di setiap negara. Karena kebebasan individu dapat meningkatkan kualitas manusia, jalan demokrasi dipilih.
Persoalannya, bagaimana mengukur kualitas kesejahteraan yang dituju? Terdapat beragam ukuran yang sedikit banyak memberi gambaran kesejahteraan warga. Salah satunya ialah mengukur kesejahteraan sebagai hasil dari pembangunan manusia di suatu kawasan. Dengan berlandas pada konsep tersebut, ukuran Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dapat dirujuk.
IPM sebagai suatu model pengukuran global juga dilakukan di negeri ini. Seperti juga indeks demokrasi, BPS menjadi institusi negara yang mengukur berbagai indikator IPM secara rutin. IPM dibangun oleh tiga aspek yang merupakan kapasitas dasar penduduk. Ketiganya ialah besaran umur panjang dan kesehatan, pengetahuan, serta kehidupan yang layak masyarakat.
Dalam perhitungannya, ketiga aspek diturunkan dalam berbagai indikator, seperti angka harapan hidup, angka melek huruf, lama rata-rata sekolah, dan kemampuan daya beli. Sekalipun tak sepenuhnya identik dengan seluruh aspek kesejahteraan manusia, berbagai indikator itu dipandang cukup memadai dijadikan rujukan. Perhitungan terbaru menunjukkan, IPM Indonesia 2018 sebesar 71,39. Skor IPM Indonesia meningkat dari waktu ke waktu (grafik 3).
Pada 2010, angka itu masih 66,53. Maka, hingga kini ada peningkatan rata-rata 0,54 poin setiap tahun. Hal ini menunjukkan capaian peningkatan kesejahteraan di negeri ini. Capaian kesejahteraan manusia yang terlihat dalam perkembangan IPM menggambarkan peningkatan kapasitas dasar manusia Indonesia. Meski segenap capaian IPM ini cenderung tak merata pada seluruh wilayah, gambaran peningkatan IPM secara nasional membuktikan kemajuan sisi kesejahteraan masyarakat.
Yang menjadi soal, apakah capaian kesejahteraan yang ditoreh berelasi dengan peningkatan kualitas demokrasi? Dengan mengaitkan kedua indeks, yaitu IDI dan IPM, relasi antara demokrasi dan kesejahteraan terpetakan (grafik 4). Kesimpulannya, terdapat korelasi positif signifikan di antara keduanya. Terjadi kecenderungan, semakin besar capaian kualitas demokrasi, semakin besar pula capaian kesejahteraan. Dua indikator tersebut jelas saling berelasi dalam arah yang sama.
Bahkan, jika kedua indeks diuji kausalitasnya, apa yang tergambar tak lagi sekadar pola hubungan simetrikal. Secara signifikan pula terinformasikan terbangun pola hubungan sebab akibat. Peningkatan besaran indeks demokrasi ikut memengaruhi pula peningkatan IPM di negeri ini. Artinya, sesuai dengan proposisi konklusi demokrasi dan kesejahteraan yang dipaparkan sebelumnya, buah-buah demokrasi di negeri ini telah berelasi terhadap capaian kesejahteraan warga.
Tentu saja, tak seluruh besaran capaian kesejahteraan itu disumbangkan oleh peningkatan kualitas demokrasi. Apabila ditelusuri lagi, masih terdapat berbagai pola penyebab lain yang mendorong terbentuknya kesejahteraan. Variabel determinan lainnya itu tak terangkum dalam indikator-indikator indeks demokrasi.
Selain itu, sekalipun kedua indikator saling terkait dan besaran satu indikator memengaruhi besaran indikator lainnya, relasi semacam ini masih belum mampu menyentuh gambaran variasi pada level pengukuran yang lebih realistis, khususnya di tingkat provinsi atau kabupaten.
Seperti juga tergambar pada setiap indikator demokrasi dan pembangunan manusia dalam kajian ini, meski menunjukkan peningkatan di setiap indikator, peningkatannya tidak terjadi secara merata di setiap kawasan. Kesenjangan di antara provinsi, misalnya, masih tampak besar.
Itulah sebabnya, jika demokrasi tidak serta-merta menentukan kesejahteraan di seluruh pelosok negeri, persoalannya kini, di mana kawasan yang masih berjarak senjang itu? Mengapa pula demokrasi cenderung tidak berbuah?(LITBANG KOMPAS)