Genderang Perang pada Jerat ”Sang Datuk”
Foto-foto harimau, gajah, dan sejumlah satwa lain yang terjerat tali jerat ditampilkan untuk memperingati Hari Harimau Sedunia, 31 Juli 2019, yang digelar Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Forum Harimau Kita di Manggala Wanabakti, Jakarta.
”Jahat sekali... jahat sekali,” kata Wiratno, Direktur Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, saat membaca ulang pesan via aplikasi Whatsapp dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar. Pesan dari menteri itu menanggapi foto ratusan jerat satwa berbahan kawat sling dan nilon yang dilaporkan Wiratno kepada Siti Nurbaya, beberapa menit sebelumnya.
Respons jawaban spontan Menteri Siti itu mafhum. Sebagai penguasa rimba, dalam sehari Siti bisa menerima ratusan pesan dari warga ataupun organisasi masyarakat sipil terkait berbagai kasus kejahatan lingkungan dan kehutanan, termasuk laporan perburuan satwa.
Puluhan foto harimau, gajah, dan sejumlah satwa lain yang terjerat tali jerat itu pun ditampilkan untuk memperingati Hari Harimau Sedunia, 31 Juli 2019, yang digelar Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Forum Harimau Kita di Manggala Wanabakti, Jakarta. Peringatan setiap 29 Juli itu, di Indonesia, khusus mengambil tema ”Darurat Jerat: Jerat sebagai Salah Satu Ancaman utama Konservasi Harimau Sumatera”.
Foto-foto vulgar berdarah-darah pada satwa harimau dan gajah yang biasanya tak ditayangkan di media pun ditampilkan panitia. Foto yang menunjukkan jerat kawat sling ataupun nilon yang menyobek kaki satwa hingga mengelupas dan tampak bagian tulang membuat hati ngilu.
”Silakan dipegang. Dirasakan seperti apa itu jerat satwa,” ujar panitia kepada peserta diskusi. Satwa-satwa yang mengandalkan insting itu dengan sekuat tenaga berupaya melepaskan diri dari jerat meski melukai dirinya sendiri. Upayanya itu selalu berujung pada kecacatan dan kematian. Pendarahan, kaki buntung, dan infeksi mematikan mengiringi laporan-laporan otopsi pada satwa eksotis yang terjebak jerat itu.
Berbeda dengan peringatan-peringatan sebelumnya sejak 2011, pada tahun 2019 ini peringatan digelar lebih sederhana. Menurut Munawar Kholis dari Forum Harimau Kita, tahun ini sengaja tak diisi dengan selebrasi. Hal ini mengingat mereka sedih karena hingga kini jerat-jerat penangkap masih menghantui satwa-satwa kebanggaan Indonesia. ”Tidak hanya harimau, jerat juga melukai dan membunuh gajah dan habitat di habitatnya,” katanya.
Wiratno menunjukkan patroli Spatial Monitoring and Reporting Tools-Report Based Management (SMART RBM) yang dilakukan sejak 2012 dan membongkar 3.285 jerat satwa di sejumlah kawasan hutan konservasi. Model simpul jerat tersebut bervariasi dan menandakan perbedaan kelompok/jaringan penangkap satwa.
Pada jerat yang menargetkan satwa eksotis, khususnya harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), bisa dipastikan pemburu memasangnya di pedalaman belantara. Jauh di rerimbunan semak zona inti ataupun zona lindung di taman nasional menjadi lokasi strategis untuk menangkap fauna yang pada dasarnya bersifat menjauhi manusia ini.
Jerat-jerat tersebut menambah tantangan—kalau tak mau disebut beban—terkait upaya konservasi harimau sumatera yang kian terancam punah. Berbagai tekanan terhadap populasi dan habitatnya akibat konflik satwa, perburuan, fragmentasi ruang hidup, kekurangan pakan alami, penyakit, dan jerat menghantui masa depan kucing besar ini.
Hal ini membuat subjenis harimau endemik Indonesia yang tersisa (setelah harimau bali dan harimau jawa punah) kian berada di ujung tanduk. Populasi harimau sumatera di habitatnya ditaksir tersisa 600 ekor yang tersebar di 23 kantong habitat berdasarkan Population Viability Analysis 2016. ”Dari kacamata saya pribadi, kinerja patroli kini sangat baik, berubah sangat membaik. Tapi, masih terjadi kecolongan adanya jerat di lapangan,” kata Munawar Cholis.
Wiratno pun meminta bantuan pengelola izin kehutanan, perkebunan, dan pemerintah daerah sebagai pengelola hutan lindung dan area penggunaan lain untuk membantu mengerem peredaran dan pemasangan jerat. ”Saya akan minta kepada para pemegang izin (konsesi) untuk membersihkan jerat,” ucapnya.
Ia mengaku selama ini kesulitan memproses hukum pembawa jerat satwa di dalam hutan. Maklum, jika ”hanya” kedapatan membawa jerat dan belum memasangnya, pelaku belum bisa dikenai sanksi, sesuai UU No 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Sanksi pada undang-undang itu mensyaratkan ”satwa sudah terluka/terbunuh”.
Ketegasan pasca-yurisprudensi
Namun, kini setelah ada yurisprudensi dari mitranya di Bareskrim Polri, Wiratno memberanikan diri untuk memerintahkan jajarannya bertindak tegas menangkap siapa pun yang membawa jerat ke dalam hutan. ”Saya mengampanyekan perang terhadap jerat ini dan memproses hukum siapa pun yang membawa jerat. Walaupun (hanya) membawa. Ini jerat, korbannya banyak sekali,” ujarnya.
Tindakan tegas pada pelaku pembawa jerat tersebut didasarkan pada Pasal 53 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Di situ diatur, dalam hal tindak pidana menangkap, melukai, membunuh satwa dilindungi (di antaranya dengan alat jerat) belum mencapai tujuan (baru dalam tahap tindakan permulaan atau membawa/memasang jerat) tetap dapat dikenai pidana percobaan.
Pengalaman membekuk pembawa jerat dengan ”pasal percobaan” itu disampaikan Komisaris Besar Adi Karya Tobing, Kepala Subdirektorat I Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri, yang hadir dalam diskusi. Ia menceritakan, beberapa waktu lalu patroli aparat di Aceh Barat menjumpai seseorang di dalam hutan membawa jerat di dalam tasnya. Setelah diperiksa identitasnya, pelaku tersebut ber-KTP di Padang, Sumatera Barat. ”Ini sudah masuk pasal percobaan (perburuan satwa dan perusakan hutan). Kami proses dan kena (pidana penjara) 1 tahun 8 bulan,” katanya.
Dalam hal tindak pidana menangkap, melukai, membunuh satwa dilindungi (di antaranya dengan alat jerat) belum mencapai tujuan (baru dalam tahap tindakan permulaan atau membawa/memasang jerat) tetap dapat dikenai pidana percobaan.
Adi Karya Tobing pun sepakat, ancaman kepunahan pada satwa liar di habitat aslinya di belantara Indonesia sudah darurat. Ia berharap, penegakan hukum bisa kreatif dalam memberikan shock therapy kepada pelaku.
Ia mencontohkan kasus lain berupa kematian gajah akibat sengatan listrik beberapa waktu lalu. Penyidik menetapkan kematian gajah itu akibat kelalaian pengelola. ”Kami datang ke lapangan untuk bedah kasus. Fakta yang kami temukan diperiksa ulang. Ternyata listrik tersebut dari nyantol (tiang listrik PLN),” tuturnya.
Temuan pencurian listrik itu pun dijadikan tambahan sanksi kepada pelaku akibat kelalaiannya yang menyebabkan kematian gajah liar. ”Aparat penyidik PPNS dan Polri harus lebih kreatif, pelanggaran apa yang akibat matinya hewan ini. Di situ buka semua,” lanjutnya.
Terkait hal ini, Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK Rasio Ridho Sani akan menggelar operasi jerat di lanskap Sumatera. Pada tahap awal, ia memilih lokasinya di Taman Nasional Gunung Leuser, Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil Bukit Batu, Ekosistem Bukit Tigapuluh, Taman Nasional Way Kambas, serta kawasan hutan produksi dan hutan lindung di Provinsi Aceh.
Ia pun mengatakan, sepanjang 2015-2019, sudah ditangani 260 kasus tumbuhan dan satwa liar yang berlanjut ke pengadilan. Jumlah ini lebih dari sepertiga kasus-kasus lingkungan hidup dan kehutanan yang ditanganinya.
Terkait kejahatan perburuan dan perdagangan harimau sumatera, ia mengatakan, terdapat 2 kasus pada 2015, 10 kasus pada 2016, 19 kasus pada 2017, 6 kasus pada 2018, dan 1 kasus pada 2019. Kejahatan tumbuhan dan satwa liar ini, lanjutnya, merupakan kejahatan kelompok yang terorganisasi serta memiliki kekuatan atau backing oknum yang mendukung kejahatan tersebut.
Bahkan, disebutkan Manajer Program WCS Indonesia Dwi Nugroho Adhiasto, penegakan hukum ataupun patroli pembersihan jerat yang tanpa menyasar bidikan hukum pada aktor, ”Kita akan kuat-kuatan saja.” Apalagi manfaat yang didapat pelaku lebih besar dari kerugian.
Patroli satu tim SMART RBM selama 15 hari per bulan membutuhkan biaya Rp 200 juta per tahun. Sementara jerat dari kawat sling yang diperoleh dari sampah suku cadang motor tersebut didapatkan secara murah.
”Selama pelaku mempertimbangkan pemasangan jerat itu lebih rendah risikonya, akan terus terjadi. Jerat adalah produk sebuah kejahatan dari para aktor di belakang layar,” kata Dwi Nugroho.
Ia pun menyarankan agar setiap pelaku yang tertangkap terus didalami hingga aktornya. Sanksi yang akan membuat aktor tersebut kapok tidak ada cara lain selain memiskinkan pelaku. Jadi, setiap manfaat/keuntungan yang didapat pelaku, seperti pada kasus korupsi, disita seluruhnya bagi negara. Sayangnya, hal ini belum terakomodasi dalam UU No 5/1990 yang hampir berumur 30 tahun.
Sanksi kurungan maksimal 5 tahun dan denda maksimal Rp 100 juta dinilai tak mampu menciptakan efek jera. Ironisnya, inisiatif DPR untuk merevisi UU No 5/1990 ditolak oleh pemerintah dengan alasan ”belum dibutuhkan”.
https://youtu.be/VIoTglQkZ60https://youtu.be/gPR45nFDO1I