Foto tumpukan sejumlah koran yang terbit di Jakarta, Rabu (22/5/2019). Ditengah gempuran media sosial, media arus utama saat ini masih menjadi acuan informasi bagi warga.
JAKARTA, KOMPAS – Jurnalisme kini menghadapi tantangan besar seiring perkembangan media sosial. Di sejumlah negara, media sosial menjadi senjata sejumlah pihak untuk melawan kredibilitas, bahkan menjadikan media massa sebagai musuhnya.
Pengalaman di Filipina misalnya. Media massa diserang kredibilitasnya lewat penyebaran tautan kiriman media sosial seperti Facebook oleh akun-akun yang diduga terafiliasi dengan penguasa.
Ketua National Union of Journalist of The Philipinnes (UNJP) Nonoy Espina mengungkapkan, di Filipina media sosial digunakan oleh pemerintah sebagai senjata untuk melawan media massa. Media sosial seperti Facebook digunakan penguasa untuk menyebarkan hoaks.
“Dengan media sosial, pemerintah menyebarkan berita palsu dengan mengubah judul sebuah berita. Masyarakat hanya bisa membaca komentar, bukan isi beritanya,” ujar Nonoy saat menjadi pembicara pada Konferensi Regional bertema “Tantangan Jurnalisme di Era Digital” yang diselenggaran Aliansi Jurnalis Independen (AJI) di Jakarta, Selasa (6/8/2019).
Kompas
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mengadakan Konferensi Regional bertema “Tantangan Jurnalisme di Era Digital” di Jakarta, Selasa (6/8/2019).
Konferensi antara lain membahas tantangan media massa menghadapi eksploitasi media sosial dalam menyebarkan hoaks.
Menurut Nonoy, masyarakat Filipina diberikan akses dengan mudah ke tautan-tautan kiriman berita di Facebook oleh pemerintah. Namun tautan tersebut hanya terbatas pada tampilan judulnya saja. Pemerintahan Presiden Rodrigo Duterte menurut Nonoy, dengan leluasa membuat judul pemberitaan yang mereka inginkan, termasuk yang menyudutkan media massa.
Hal tersebut lanjut Nonoy menyebabkan masyarakat Filipina menjadi tidak bersimpati lagi kepada media massa yang berjung pada kesenjangan antara media dengan pembacanya. Bahkan, tidak sedikit yang menganggap bahwa media sudah bukan lagi menjadi bagian dari mereka.
“Banyak sekali jurnalis muda yang kemudian keluar dari industri media,” ujarnya.
Tidak berhenti disitu, jurnalis di Filipina juga seringkali mendapatkan intimidasi secara daring yang akhirnya berujung pembunuhan. Nonoy mengungkapkan, sebanyak 186 wartawan di Filipina dillaporkan tewas sejak 1996.
Menurut Pemimpin Redaksi Malaysiakini.com, Malaysia Stefen Gan, hoaks di media sosial memang menjadi salah satu ancaman bagi media massa. Gan menggambarkan film dokumenter Active Measures yang bercerita tentang bagaimana Rusia mengeskploitasi media sosial untuk mempengaruhi Pemilihan Presiden Amerika Serikat 2016.
“Keterlibatan Rusia dimulai sejak 10 tahun sebelumnya di Ukraina. Kemudian dicoba lagi di Estonia dan Georgia,” katanya.
Dengan media sosial tersebut, menurut Gan, Rusia melakukan polarisasi kepada masyarakat sehingga muncul perpecahan. Baik ekstrimis kiri maupun kanan, keduanya diperkuat dengan saling menyebar hoaks. Masyarakat dibuat kebingungan.
Kompas
Pemimpin Redaksi Malaysiakini.com, Malaysia Stefen Gan menerima cinderamata pada Konferensi Regional bertema “Tantangan Jurnalisme di Era Digital” di Jakarta, Selasa (6/8/2019).
Menurut Gan, hoaks saat ini menjadi musuh bersama para jurnalis yang mesti terus dilawan. Sumber-sumber kredibel dan akurat harus terus diproduksi. Perkembangan teknologi harus dimanfaatkan untuk meningkatkan performa kerja. Dengan begitu, media massa tetap akan mendapat tempat di tengah masyarakat.
“Kita harus terus melindungi jurnalisme karena demokrasi akan lebih hidup dengan banyaknya jurnalis,” katanya.
Beban kerja
Jurnalisme di Asia Tenggara tak hanya menghadapi tantangan penyebaran hoaks lewat media sosial dan intimidasi terhadap para pekerjanya. Di sejumlah negara masalah upah dan beban kerja juga masih dihadapi oleh para jurnalis. Perkembangan digital kini menuntut wartawan bekerja lebih keras dengan jam kerja yang panjang.
“Sayangnya, hal tersebut belum diimbangi dengan gaji yang layak. Akibatnya, banyak yang merasa stres dan keluar dari industri media,” kata Direktur International Federation of Journalists (IFJ) Asia Pasifik Australia Jane Worthington.
Menurutnya, hal tersebut menjadi salah satu alasan mengapa serikat pekerja harus dibentuk baik secara internal maupun eksternal. Perkumpulan tersebut penting untuk memahami permasalahan yang dihadapi oleh para jurnalis. Diharapkan, solusi bisa dicapai.
Kompas
Direktur International Federation of Journalists (IFJ) Asia Pasifik Australia Jane Worthington.
“Kita perlu belajar juga dari industri lain. Banyak hal yang bisa dipetik dari industri lainnya berkaitan dengan masalah upah dan beban kerja,” kata Jane.
Victorian Brand of Media Entertainment and Art Alliance (MEA) Australia Adam Portelli menyatakan, hal serupa juga terjadi di Australia. Undang-undang ketenagakerjaan di Australia hanya berlaku untuk media cetak dan penyiaran, bukan untuk media daring.
“Hak cuti dan upah layak tidak dirasakan pekerja media daring. Hal itu kini berangsur membaik dengan adanya serikat pekerja,” katanya.
Hal tersebut, kini banyak dikembangkan oleh industri media di Eropa seperti The Guardian. Mereka membentuk serikat pekerja dan melakukan advokasi. Alhasil, terbentuk perjanjian kerja yang baru untuk memberikan pembayaran lembur dan insentif untuk jurnalis yang bekerja di luar jam kerja.
“Kesadaran tersebut tumbuh dari para jurnalis muda yang merasakan kegelisahan dan memutuskan untuk berserikat,” katanya.