Jalan Panjang Menuju Pelatnas
Masuk pemusatan latihan nasional bukan perkara gampang. Perlu kerja keras untuk melewati berbagai tingkat persaingan. Mereka yang menghuni pelatnas adalah atlet-atlet yang mampu melawan segala keterbatasan.
Pelari asal Jawa Tengah Adi Ramli Sidiq (18) bersama tujuh pelari lain bersiap melakukan start dalam final nomor 100 meter putra U-20 Kejuaraan Nasional Atletik di Stadion Pakansari, Cibinong, Bogor, Jawa Barat, Jumat (2/8/2019). Ketika petugas start meletuskan pistol tanda lomba dimulai, para sprinter yunior itu melesat bak kijang dikejar macan.
Hingga 30 meter awal, semua pelari tampak berimbang. Melewati 50 meter, baru terlihat Adi Ramli memimpin. Sprinter penghuni pelatnas itu memang diunggulkan. Saingan terberatnya hanya Adit Rico Pradana (18), rekan di pelatnas dan sesama dari Jawa Tengah. Enam sprinter lainnya adalah pelari daerah yang belum pernah masuk pelatnas.
Namun, 30-20 meter menjelang finis, tiba-tiba, Adi Ramli menurunkan kecepatan. Kaki kanannya seperti berat. Langkahnya pun pincang. Dia memegang bagian belakang paha kanannya. Lalu, ia berteriak kencang, ”Aaaahhhh!!!! Addduuhhh!!!!!”
Adi Ramli berhenti. Dia duduk kemudian terlentang di tengah lintasan. Tangan kanannya meraba-raba bagian belakang paha kanan, sedangkan tangan kiri menutupi wajah. Dia terlihat sangat gelisah.
Adi Ramli gagal menyelesaikan lomba. Sementara itu, Adit Rico menjadi juara dengan waktu 10,56 detik, disusul pelari Jawa Tengah lainnya Adit Rici Pradana (18) dengan 10,64 detik, dan pelari Gorontalo Izrak Ujulu (18) di posisi ketiga dengan waktu 10,88 detik.
”Adi kemungkinan kena hamstring paha. Tingkat keparahannya belum tahu pasti. Tapi, masa pemulihannya bisa 1-3 bulan,” ujar dokter pelatnas PB PASI Fauzan Anggadita.
Adi Ramli terpukul hingga tak kuasa menahan air matanya. ”Saya sudah lama mempersiapkan diri ikut lomba ini. Target saya bisa lari 10,40 detik di sini, supaya saya bisa tetap aman di pelatnas (limit pelatnas yunior 10,89 detik) dan lolos limit PON 2020 yang 10,73 detik,” ujarnya lirih.
Adi Ramli memang salah satu pelari berbakat di pelatnas. Ia menarik perhatian ketika juara 100 meter Popda Jawa Tengah 2016. Ia kemudian dipanggil masuk pelatnas sejak awal 2019. Salah satu capaian terbaiknya adalah finis kberlari 10,59 detik ketika mencapai urutan keenam final 100 meter Olimpiade Remaja 2018 di Argentina.
Kelebihan pelari kelahiran Kebumen, 17 Maret 2001 itu, adalah punya frekuensi langkah kaki yang cepat. Postur tubuhnya pun bagus, tingginya hampir 180 cm.
Walau berbakat, perjuangan Adi Ramli untuk bertahan di pelatnas cukup berat. Setelah cukup lama absen dari pelatnas karena ikut ujian nasional di Semarang, Jawa Tengah, pada Maret, kondisi fisik Adi Ramli tidak terlalu bugar. Bahkan, ia sempat cedera ringan hamstring pada paha kiri. Karena itu, ia melewati sejumlah kejuaraan internasional. Kejuaraan pertamanya di tahun ini adalah Kejurnas Atletik.
”Sudah jangan dipikirkan. Umurmu masih muda, karier mu masih panjang. Ini cedera biasa untuk sprinter. Pelari-pelari hebat nasional, seperti Suryo Agung (Wibowo) pernah juga mengalami ini. Toh untuk PON, masih ada kesempatan di Jawa Timur Terbuka tahun depan untuk lolos limit PON,” tutur Bondan Sanggara, salah satu pelatih PASI Jawa Tengah menyemangati Adi Ramli.
Titik darah penghabisan
Perjuangan Adi Ramli itu hanya satu dari sekian banyak kisah perjuangan atlet untuk menjadi yang terbaik di Kejurnas Atletik 2019. Atlet-atlet pelatnas memburu prestasi supaya bisa bertahan di pelatnas. Sedangkan atlet-atlet daerah berjuang masuk ke pelatnas supaya mendapatkan standar latihan lebih tinggi, dan punya kesempatan ikut kejuaraan internasional lebih sering.
Karena itu, untuk masuk pelatnas, tak jarang mereka melawan keterbatasan. Bahkan, banyak atlet yang sebenarnya cedera, tetapi tetap berjuang sampai titik darah penghabisan agar bisa mendapatkan tiket ke pelatnas.
Perjuangan itu dilakukan oleh Nur Afdaliah (19) di final lompat jauh putri yunior pada Kejurnas Atletik, Jumat lalu. Pelompat jauh asal Sulawesi Selatan itu ototnya betis kanannya tertarik saat melakukan lompatan kedua dan sempat dirawat tim medis.
Namun, Nur tidak menyerah. Sambil menahan rasa sakit, ia tetap melanjutkan perlombaan. Pada lompatan ketiga, ia hanya membukukan jarak 5,05 meter, merosot dari lompatan pertama sebelum cedera, 5,23 meter.
Namun, berkat semangat berlipat ganda, ia bangkit dan melompat sejauh 5,26 meter pada kesempatan keempat, yang membuahkan medali emas. ”Betis ini rasanya sakit sekali. Tapi, saya sudah mempersiapkan latihan jauh-jauh hari untuk ikut lomba ini. Kalau saya berhenti karena cedera tadi, sia-sia hasil latihan saya selama ini,” ujarnya.
Sayangnya, Nur gagal melampaui limit pelatnas yunior 5,28 meter dan limit PON 2020 sejauh 5,55 meter. ”Saya akan berjuang lebih baik untuk lolos limit pelatnas maupun PON 2020 di Pompnas 2019, September nanti,” ujar Nur yang lompatan terbaiknya 5,59 meter ketika meraih emas lompat jauh putri remaja Kejurnas Atletik 2018 itu.
Faktor non teknis
Untuk masuk pelatnas, kadang atlet juga menghadapi kendala non teknis, seperti izin orangtua. Tak sedikit orangtua yang tidak merestui anaknya masuk pelatnas.
Hal itu dialami oleh Izrak Ujulu, sprinter potensial yang sempat menjadi pesaing berat Lalu Muhammad Zohri (19) pada medio 2017. Zohri kemudian masuk pelatnas pada pengujung 2017, dan berkembang pesat hingga menjadi sprinter tercepat Asia Tenggara dengan waktu 10,03 detik pada nomor 100 meter.
Sedangkan Izrak yang dipanggil masuk pelatnas pada 2018, tidak mendapat izin orangtuanya masuk pelatnas yang terpusat di Stadion Madya, Senayan, Jakarta. Itu karena Izrak adalah tulang punggung keluarga setelah ayahnya tidak lagi bekerja sebagai sopir angkutan material sejak lima tahun lalu.
Izrak pun berlatih di Gorontalo. Namun, catatan waktunya tak bisa lebih baik dari 10,65 detik saat dia meraih perak Kejuaraan Atletik Antar PPLP 2017. Dua tahun lalu, Zohri yang meraih emas dengan waktu 10,30 detik.
”Saya pingin sekali masuk pelatnas. Kalau saya dapat standar latihan dan kesempatan ikut kejuaraan internasional seperti Zohri di pelatnas, mungkin saya juga bisa berkembang seperti dia saat ini. Sebab, dua tahun lalu, kemampuan kami tidak jauh beda,” tutur Izrak.
”Nanti saya mau yakinkan lagi orangtua saya. Kalau saya masuk pelatnas, kesempatan untuk meningkatkan derajat dan ekonomi keluarga jauh lebih besar ketimbang hanya ada di daerah,” ujar Izrak yang terus merawat mimpinya menjadi atlet atletik elite.
Tak bisa santai
Bagi atlet yang sudah masuk pelatnas, beban yang mereka pikul justru lebih berat. Mereka tidak bisa santai karena sudah berstatus atlet pelatnas. Sebab, tuntutan pelatnas sangat tinggi. Bila tak bisa memenuhi tuntutan itu, tim pelatih maupun pengurus PB PASI tidak segan mengeluarkan mereka dari pelatnas. Di samping itu, para atlet lain di daerah mengantre untuk menggantikan mereka di pelatnas.
Situasi itu punya dua sisi mata pisau. Bila disikapi dengan positif, tekanan tersebut bisa membawa atlet untuk terus menjadi lebih baik. Sebaliknya, bila disikapi negatif, tekanan itu justru bisa membunuh karier atlet tersebut.
Hampir semua atlet pelatnas menyikapi tuntutan itu dengan positif. Mereka pun bisa menunjukkan penampilan yang cukup apik selama Kejurnas Atletik 2019 ini. Hal itu ditunjukkan oleh pelari gawang putri yunior Liza Putri Ramandha (18). Selama di pelatnas, Liza cukup sering mendapatkan teguran dari pelatihnya, Fitri ”Ongky” Haryadi. Sebab, Liza sering kali mengulangi kesalahan yang sama setelah berulang kali diingatkan.
Bahkan, sebelum Kejurnas Atletik 2019, Ongky memberikan ultimatum untuk Liza. Bila tidak bisa berlari di bawah 15 detik, Ongky akan memberikan SP1 untuk Liza. Ternyata, Liza bisa menjadikan tuntutan itu sebagai kekuatan untuk dirinya. Pada final lari gawang 100 meter putri yuinor Kejurnas Atletik 2019, Minggu, Liza berhasil meraih emas dengan waktu 14,63 detik.
”Saya pribadi senang terus diingatkan secara keras oleh pelatih. Sebab, saya ini orangnya sedikit lemot. Kalau tidak sering diingatkan dan dikerasi, saya sering lupa,” kata Liza yang siap untuk kembali menjalani latihan keras di pelatnas.
Harus dipacu
Sekretaris Umum PB PASI Tigor M Tanjung menyampaikan, para atlet memang harus dipacu dengan tantangan yang terus meningkat. Hal itu agar mereka tertantang untuk terus menjadi lebih baik, terutama untuk para atlet pelatnas.
Karena itu pula, PB PASI menerapkan limit tertentu untuk para atlet di semua nomor Kejurnas Atletik 2019. Atlet-atlet pelatnas yang bisa mencapai limit pelatnas, mereka aman di pelatnas. Sementara itu, atlet-atlet pelatnas yang tidak bisa mencapai limit itu, mereka akan terpental dari pelatnas.
”Namun, sejauh ini, penampilan atlet-atlet pelatnas masih cukup baik. Hampir semuanya masih bisa bertahan di pelatnas,” tutur Tigor.
Adapun PB PASI mengincar banyak atlet baru dari Kejurnas Atletik 2019, terutama di kategori remaja. Sedikitnya, mereka melirik 20-40 atlet baru level remaja.
”Mereka dipersiapkan untuk ikut Kejuaraan Asia Tenggara Atletik 2019 di mana kita menjadi tuan rumahnya. Untuk jangka panjang, mereka juga disiapkan untuk menggantikan para seniornya,” pungkas Tigor.