Jokowinomics dan Peringatan IMF
Gaya pembangunan Presiden Joko Widodo menumbuhkan ekonomi nasional atau Jokowinomics sebentar lagi memasuki periode kedua.
Gaya pembangunan Presiden Joko Widodo menumbuhkan ekonomi nasional atau Jokowinomics sebentar lagi memasuki periode kedua. Arah utama pembangunan tidak sekadar infrastruktur, tetapi juga sumber daya manusia dan ekonomi kerakyatan. Pembangunan itu akan semakin merambah daerah-daerah terpencil hingga tapal batas Indonesia dengan negeri jiran.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyebutkan, dana yang dibutuhkan untuk pembangunan infrastruktur pada 2020-2024 diperkirakan 441,38 miliar dollar AS atau sekitar Rp 6.269 triliun. Bappenas menyebut, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia hanya mampu menanggung sekitar 42 persen dan badan usaha milik negara (BUMN) 22 persen. Artinya, masih ada kekurangan pembiayaan pembangunan sebesar 36 persen.
Di sisi lain, pendapatan negara pada tahun ini, terutama dari sektor pajak, tengah melemah. Kementerian Keuangan mencatat, realisasi pendapatan negara per Juni 2019 sebesar Rp 898,8 triliun atau tumbuh 7,8 persen dibandingkan dengan Juni 2018. Dari total pendapatan itu, penerimaan perpajakan tumbuh paling lemah, sebesar 5,4 persen atau Rp 688,9 triliun. Adapun realisasi penerimaan negara bukan pajak per Juni 2019 tumbuh melambat daripada periode sama tahun lalu, yaitu 18,24 persen atau Rp 209,08 triliun.
Pada Juni 2019, APBN defisit Rp 135,8 triliun. Defisit itu lebih besar daripada periode sama tahun lalu yang sebesar Rp 110,56 triliun. Hingga akhir tahun ini, defisit APBN diperkirakan Rp 310,81 triliun atau 1,93 persen produk domestik bruto (PDB).
Di saat pemerintah tertatih-tatih menggenjot pendapatan negara, ketidakpastian ekonomi global masih menghantui ekonomi domestik. Sektor riil sebagai mesin penggerak masih lesu dan cenderung bergerak lambat. Untuk memacunya, pemerintah memberikan berbagai insentif, terutama insentif perpajakan. Beberapa di antaranya adalah insentif pengurangan pajak super (super tax deduction), pajak impor, dan pajak rumah atau hunian mewah.
Untuk membiayai pembangunan ekonomi, Indonesia juga masih bergantung pada modal asing dan utang luar negeri. Porsi investor asing dalam obligasi pemerintah berdenominasi rupiah selalu berada di kisaran 37-40 persen. Kementerian Keuangan mencatat, per 5 Juli 2019, jumlah kepemilikan investor asing dalam surat berharga negara (SBN) sebesar Rp 1.000,39 triliun atau 39,27 persen dari total SBN yang diperdagangkan, yaitu sebesar Rp 2.547,69 triliun.
Adapun utang luar negeri Indonesia per Mei 2019 sebesar 386,1 miliar dollar AS atau Rp 5.379 triliun. Jumlah itu terdiri dari utang pemerintah dan bank sentral 189,251 miliar dollar AS serta utang swasta 196,884 miliar dollar AS. Secara keseluruhan, utang itu tumbuh 7,4 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Utang luar negeri pemerintah tumbuh 3,9 persen dan swasta 11,3 persen.
Tak mengherankan jika kondisi tersebut membuat Dana Moneter Internasional (IMF) mengingatkan dua hal penting kepada Indonesia dalam ”Article for Consultation 2019” pada 1 Agustus 2019. Pertama, IMF menilai fundamen ekonomi Indonesia masih rentan terhadap gejolak global. Hal itu karena penerimaan pajak yang relatif rendah dan kondisi pasar keuangan yang dangkal.
IMF menilai fundamen ekonomi Indonesia masih rentan terhadap gejolak global. Hal itu karena penerimaan pajak yang relatif rendah dan kondisi pasar keuangan yang dangkal.
Selama ini, pembiayaan defisit anggaran dan transaksi berjalan masih ditopang aliran modal asing. Ketergantungan modal asing itu menyebabkan stabilitas perekonomian domestik rentan, terutama stabilitas nilai tukar rupiah.
Baca juga: Infrastruktur dan Lonjakan Utang BUMN
Untuk itu, IMF meminta Indonesia mesti mengurangi ketergantungan modal asing untuk memperkecil dampak pelambatan pertumbuhan ekonomi dan volume perdagangan global. Penarikan utang luar negeri perlu dikendalikan dengan mencari alternatif pembiayaan melalui penerimaan pajak ataupun kerja sama pemerintah dengan swasta.
Kedua, IMF menilai, pendapatan Indonesia dari pajak dan nonpajak masih relatif kecil. Pendapatan Indonesia saat ini masih di bawah 15 persen PDB atau relatif rendah dibandingkan dengan negara-negara berkembang, seperti Malaysia, Filipina, India, Thailand, dan Vietnam.
Untuk itu, pemerintah secara tersirat diminta menghindari langkah-langkah yang dapat melemahkan pendapatan negara, termasuk insentif pajak tambahan. Pemberian insentif dan pelonggaran peraturan pajak itu juga harus mempertimbangkan kondisi pendapatan negara. Sumber-sumber pendapatan baru justru diperlukan untuk memitigasi risiko gejolak perekonomian global.
Non-APBN, non-utang luar negeri?
Apakah dengan begitu Indonesia tak perlu berutang lagi untuk membiayai pembangunan? Utang luar negeri, baik secara langsung maupun melalui penerbitan obligasi yang masih banyak disasar investor asing, tetap diperlukan, asal utang tersebut dilakukan secara terukur dan porsi kepemilikan asing atas surat utang pemerintah mulai dikurangi.
Pada periode pertama Jokowinomics (2014-2019), biaya pembangunan infrastruktur diperkirakan Rp 5.500 triliun. APBN hanya mampu menanggung 42 persen. Dalam periode itu, BUMN menanggung beban terbesar karena ditugasi merealisasikan proyek-proyek strategis.
Hal tersebut mengakibatkan utang BUMN meningkat. Data Kementerian BUMN menunjukkan, total utang perusahaan BUMN pada 2018 sebesar Rp 2.394 triliun. Utang itu di luar dana pihak ketiga (DPK) sebesar Rp 3.219 triliun. Utang perusahaan BUMN tahun 2018 itu meningkat dibandingkan dengan utang 2017 yang sebesar Rp 1.623 triliun.
Indonesia sebenarnya terus mencari pembiayaan-pembiayaan pembangunan nasional dari sumber-sumber pembiayaan non-APBN. Sumber-sumber pendanaan itu di antaranya penerbitan obligasi, skema kerja sama BUMN dengan swasta, investasi langsung dari dalam dan luar negeri, serta dana pensiun. Selain itu, pemerintah juga mengoptimalkan pembiayaan melalui sektor ekonomi syariah lewat wakaf, zakat, infak, dan sedekah.
Indonesia sebenarnya terus mencari pembiayaan-pembiayaan pembangunan nasional dari sumber-sumber pembiayaan non-APBN.
Melalui Center for Private Investment PINA, misalnya, Indonesia terus mendorong pembiayaan pembangunan ekonomi lewat investasi non-APBN. Hingga Juli 2019, ada 30 proyek dengan peluang investasi senilai Rp 707,9 triliun yang ditawarkan. Proyek-proyek itu meliputi sektor infrastruktur, energi, pariwisata, dan perumahan bersubsidi. Dari jumlah itu, lima proyek telah mendapatkan investor dan dimatangkan pelaksanaannya.
Sejak berdiri pada 2017, PINA telah merealisasikan pembiayaan pembangunan dengan dana non-APBN mencapai 3,3 miliar dollar AS hingga akhir 2018. Realisasi investasi tersebut menggunakan skema pembiayaan non-APBN itu, mulai dari pembiayaan swasta murni, penyertaan modal bersama, hingga kemitraan BUMN dengan swasta.
PINA juga tengah mendorong skema pembiayaan melalui penginvestasian aset potensial dan konsesi terbatas (LCS). Melalui LCS, pembiayaan pembangunan seluruhnya berasal dari swasta, sedangkan pemerintah akan memberikan batasan waktu bagi swasta dalam pengelolaan aset yang telah dibangunnya itu.
Pemerintah juga tengah mencari sumber pendanaan baru dari sektor ekonomi syariah, terutama untuk merealisasikan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Badan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) menyebutkan, Indonesia masih kekurangan dana sekitar Rp 1.460 triliun untuk proyek SDGs nasional pada 2019-2024. Proyek SDGs ditargetkan rampung pada 2030.
Baca juga: Infrastruktur dan Jaminan Pemerintah atas Utang BUMN
Salah satu sumber pembiayaan baru itu adalah wakaf yang akan diintegrasikan dalam sukuk (wakaf linked sukuk). Pada penerbitan perdana wakaf linked sukuk, Badan Wakaf Indonesia (BWI) akan menginvestasikan Rp 50 miliar ke sukuk negara. Namun, dari jumlah itu, BWI baru mendapatkan Rp 15 miliar. Jumlah ini masih sangat kecil dibandingkan dengan potensi wakaf di Indonesia.
BWI mencatat, potensi wakaf di Indonesia sangat besar. Hingga saat ini, potensi aset wakaf mencapai Rp 2.000 triliun. Jumlah itu merupakan simulasi dari jumlah luas tanah wakaf sekitar 4,1 juta hektar dikalikan rata-rata harga tanah sebesar Rp 500.000 per meter persegi.
Di samping itu, pemerintah pusat juga telah meminta pemerintah daerah mandiri mencari dana pembangunan daerah. Selain menggunakan dana APBD, pemerintah daerah juga dapat menerbitkan obligasi daerah. Saat ini ada tiga provinsi yang akan menerbitkan obligasi daerah, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Tengah.
Terobosan-terobosan baru juga dibuat pemerintah, yaitu dengan menyasar investor milenial. Salah satunya adalah dengan menerbitkan obligasi ritel dan sukuk hijau. Hal ini sangat penting untuk meningkatkan kepemilikan surat utang negara oleh investor dalam negeri.
Di tengah ketidakpastian ekonomi global dan penurunan pendapatan negara, upaya-upaya tersebut perlu dijaga secara berkelanjutan. Tidak hanya itu, peran swasta dalam pembiayaan pembangunan infrastruktur yang baru 10 persen juga perlu ditingkatkan. Hal tersebut dalam rangka melanjutkan pembangunan nasional demi peningkatan ekonomi Indonesia. (KARINA ISNA IRAWAN/KELVIN HIANUSA)