Gula Rafinasi Merembes Lagi, Pelaku Pakai Karung Logo PTPN Palsu
JAKARTA, KOMPAS—Polisi mengungkap sejumlah pelaku perembesan gula rafinasi yang merupakan bahan baku industri makanan dan minuman. Kejahatan perdagangan ini diduga melibatkan produsen gula rafinasi.
Kepala Satuan Tugas (Satgas) Pangan Kepolisian RI (Polri) Komisaris Besar Nico Afinta, Senin (5/8/2019), mengatakan, PT BMM selaku produsen gula kristal rafinasi (GKR), diduga dengan sengaja menjual GKR kepada PT MWP, perusahaan pengguna GKR fiktif. PT BMM merupakan salah satu dari 11 produsen GKR yang ada di Indonesia.
Selama bulan Juli 2019, PT BMM diduga telah menjual GKR sebanyak 390 ton kepada PT MWP. Polisi masih menyelidiki kemungkinan PT MWP mendapat suplai dari produsen GKR lainnya.
"Kami juga masih mendalami kemungkinan PT BMM menjual GKR ke pihak lain yang tidak berhak," kata Nico dalam konferensi pers di Kantor Badan Reserse Kriminal Polri, Jakarta.
Konferensi pers itu juga dihadiri Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jendral (Pol) Dedi Prasetyo, Direktur Tertib Niaga Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga Kementerian Perdagangan Wahyu Widayat, Direktur Utama PTPN X Dwi Satriyo Annurogo, dan Sekretaris Asosiasi Petani Tebu Republik Indonesia (APTRI) Jawa Tengah, Hardi.
Adapun modus operandi dari kasus ini, lanjut Nico,pelaku mengubah GKR menjadi gula kristal putih (GKP) dengan cara menggoreng GKR agar berwarna kecoklatan, mirip GKP. Gula rafinasi itu kemudian dimasukkan dalam karung berlabel PT Perkebunan Nusantara (PTPN) X, produsen resmi GKP.
Pelaku mengubah GKR menjadi gula kristal putih (GKP) dengan cara menggoreng GKR agar berwarna kecoklatan, mirip GKP. Gula rafinasi itu kemudian dimasukkan kedalam karung berlabel PT Perkebunan Nusantara (PTPN) X, produsen resmi GKP.
Tujuannya adalah untuk mendapatkan selisih harga. Harga GKR Rp 9.000 per kilogram, sedangkan GKP Rp 12.500 per kilogram.
Menurut Nico, kasus ini berawal dari banyaknya laporan terkait gula rafinasi yang masuk ke pasar konsumsi. Setelah menyelidiki wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta selama tiga minggu, polisi menetapkan lima tersangka. Adapun barang bukti yang diamankan, antara lain 300 karung GKR, dokumen pengiriman, dan sejumlah karung bermerek PTPN X.
Polisi menetapkan S sebagai tersangka karena membuat GKR menjadi GKP, serta memasukkannya ke dalam karung bermerek PTPN X. Sementara W, diduga telah membeli GKR sebanyak 60 ton dari PT MWP.
"Selain itu, A bertugas memasarkan produk GKP palsu bermerek PTPN X itu ke wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta. Kami juga menetapkan tersangka Direktur PT BMM E dan Direktur PT MWP H," kata dia.
Kelima tersangka ini melanggar Pasal 62 juncto Pasal 8 Ayat (1) Undang-undang (UU) Nomor 18 Tahun 2012 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 139 juncto Pasal 144 UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Pasal 110 juncto Pasal 36 Ayat 2 UU Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan.
Tersangka juga melanggar Pasal 120 Ayat (1) Huruf (b) UU Nomor 3 Tahun 2015 tentang Perindustrian. Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 55 dan atau Pasal 56 KUHP. Mereka terancam pidana penjara lebih dari 5 tahun dengan denda maksimal di atas Rp 10 miliar.
Dwi Satriyo Annurogo memastikan, GKP palsu itu bukan milik PTPN X. Itu terlihat dari perbedaan logo dan besaran huruf pada merek. Di samping itu, salah satu pabrik gula yang tertera di kemasan, sudah tidak beroperasi.
Ia menambahkan, perembesan KGR ke pasar konsumsi berpotensi membuat harga anjlok. "Ini akan memukul petani tebu. Sebanyak 95 persen bahan baku kami dari petani," katanya.
Wahyu Widayat menjelaskan, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 01 Tahun 2019 tentang Perdagangan Gula Rafinasi mengatur dengan jelas, GKR hanya dapat diperdagangkan produsen GKR ke industri pengguna, sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam proses produksi. Namun, tetap saja ada yang bocor di lapangan.
Kementerian Perdagangan, katanya, telah melakukan pengawasan berkala. Produsen GKR juga selalu diminta catatan atas setiap GKR yang diberikan ke industri.
"Itulah keahlian para pelaku, luar biasa," katanya, ketika ditanya mengapa masih ada rembesan.
Sampai saat ini, lanjut Wahyu, Kementerian Perdagangan masih menunggu keputusan hukum tetap terhadap PT BMM. Jika terbukti bersalah, izin perusahaan itu akan dicabut.
Kementerian Perdagangan masih menunggu keputusan hukum tetap terhadap PT BMM. Jika terbukti bersalah, izin perusahaan itu akan dicabut.
Hardi menambahkan, petani tebu saat ini sedang menjerit. Banyak tebu tidak laku. Kalaupun laku, harganya tidak sesuai dengan harapan petani.
Baca juga: "Quo Vadis" Swasembada Gula
Berulang
Perembesan GKR ke pasar konsumsi bukan cerita baru. Bahkan, pada awal Januari lalu, ada GKR yang dijual di e-dagang. Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia mencatat, sebanyak 500.000 ton GKR masuk ke pasar konsumsi sepanjang 2018.
Untuk jumlah perembesan GKR selama 2019, Satgas Pangan Polri belum bisa memastikan besaran. Satgas akan berkoordinasi dengan Kementerian Perdagangan untuk mencocokkan data yang ada.
Akhir Juli lalu, sejumlah petani tebu di Jawa Tengah mengeluhkan masih banyaknya gula kristal rafinasi atau GKR yang mestinya diperuntukkan bagi industri dijual eceran di pasar. Akibatnya, gula dari para petani tebu pada musim giling kali ini banyak yang belum terserap.
Ketua Dewan Pimpinan Daerah Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Jawa Tengah Sukadi Wibisono, Selasa (30/7/2019), mengatakan, pihaknya telah melakukan pemantauan di sejumlah pasar di Jateng, di antaranya di Kabupaten Klaten dan Magelang, akhir pekan lalu.
Baca juga: Petani Tebu Jateng Keluhkan Bocornya Gula Rafinasi
Hasilnya, banyak ditemukan toko-toko yang menjual GKR secara eceran. ”Padahal sudah jelas. Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 1 Tahun 2019, GKR dilarang diperdagangkan di pasar eceran. Namun, nyatanya masih banyak yang bocor seperti ini,” kata Sukadi.