Dorong Kepatuhan Rumah Sakit dengan Teknologi Informasi
Akreditasi merupakan perangkat penting untuk menjamin mutu layanan rumah sakit sesuai standar demi keselamatan pasien. Dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komputerisasi, kepatuhan rumah sakit dalam melakukan akreditasi diharapkan semakin meningkat.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Akreditasi merupakan perangkat penting untuk menjamin mutu layanan rumah sakit sesuai standar demi keselamatan pasien. Dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komputerisasi, kepatuhan rumah sakit dalam melakukan akreditasi diharapkan semakin meningkat.
Dari 2.825 rumah sakit di Indonesia, sebanyak 2.264 rumah sakit telah terakreditasi oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS) per akhir Juni 2019. Dari jumlah itu, 40 persen rumah sakit terakreditasi pada level perdana, 4 persen pada level dasar, 9 persen pada level madya, 11 persen pada level utama, dan 36 persen pada level paripurna. Selain itu, sebanyak 38 rumah sakit telah mendapatkan akreditasi internasional.
Menteri Kesehatan Nila Farid Moeloek, Senin (5/8/2019) di Jakarta mengatakan, akreditasi seharusnya dipahami sebagai kebutuhan bagi rumah sakit, bukan sebagai kewajiban. Hal ini didasarkan pada tujuan dari akreditasi yang tidak hanya melindungi keselamatan pasien rumah sakit, tetapi juga melindungi sumber daya manusia dan rumah sakit itu sendiri sebagai instansi.
Menteri Kesehatan Nila Farid Moeloek“Pelaksanaan akreditasi merupakan satu cara untuk memastikan sistem yang dijalankan rumah sakit sudah sesuai standar. Akreditasi rumah sakit harus terus didorong. Jadi, aplikasi dan teknologi informasi diperlukan untuk mempermudah rumah sakit dalam memenuhi akreditasi,” katanya di sela-sela acara Pertemuan Tahunan Ilmiah dan Semiloka Nasional Akreditasi Rumah Sakit ke-5 di Jakarta.
Pertemuan tahunan ilmiah dan semiloka ini dihadiri oleh 1.600 perserta yang merupakan surveyor KARS serta direktur dan rumah sakit di seluruh Indonesia. Para peserta akan dibekali dengan pengetahuan dan pemahaman terkait standar nasional akreditasi rumah sakit yang harus disiapkan.
Ketua Eksekutif KARS Sutoto menyampaikan, rumah sakit kini lebih mudah dalam mengurus keperluan akreditasi melalui sejumlah aplikasi yang telah dikembangkan. Aplikasi itu antara lain, Simadak (Sistem Manajemen Dokumen Akreditasi), Sirsak (Sistem Informasi Rumah Sakit ala Kars), dan ReDOWSKo (regulasi, dokumentasi, obsevasi, wawancara, simulasi, dan konfirmasi bagi surveyor).
Ketua Eksekutif Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS) SutotoMelalui aplikasi tersebut, rumah sakit diharapkan bisa lebih mudah dalam memenuhi standar akreditasi dan mengurangi risiko kegagalan dari rumah sakit. Selain itu, penggunaan teknologi informasi juga telah diterapkan untuk mengingatkan rumah sakit yang harus melakukan reakreditasi. Secara sistem, rumah sakit akan diberikan peringatan untuk segera mengurus keperluan akreditasi sejak enam bulan menjelang status akreditasi jatuh tempo.
Dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, diatur kewajiban bagi rumah sakit untuk mendapatkan akreditasi dari lembaga pemberi akreditasi independen seperti KARS. Selain itu, secara teknis aturan ini juga ditentukan melalui Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 34/2017 tentang Akreditasi Rumah Sakit. Dalam kebijakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, rumah sakit yang bisa bekerja sama dengan BPJS Kesehatan hanya yang sudah terakreditasi.
Ketua Umum Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Kuntjoro menilai, kendala yang dihadapi rumah sakit dalam memperoleh akreditasi biasanya karena tidak bisa memenuhi standar kompetensi sumber daya manusia yang diatur dalam regulasi. Meski begitu, kendala ini seharusnya bukan menjadi alasan rumah sakit tidak meningkatkan mutu dan layanan yang diharapkan.
“Rumah sakit bisa belajar dengan rumah sakit ‘tetangga’ yang mutu dan kualitasnya sudah sesuai standar. Selain itu, setiap perhimpunan rumah sakit di daerah juga bisa melakukan bimbingan kepada rumah sakit yang masih substandar,” ucapnya.