HONG KONG, MINGGU - Warga Hong Kong menunjukkan sikap tidak terintimidasi oleh peringatan China untuk menghentikan penolakan terhadap rancangan undang-undang ekstradisi. Aksi protes justru terus berlanjut.
Kantor berita China, Xinhua, melalui tajuk rencananya pada Minggu (4/8/2019) menuliskan, sebuah kekuatan jahat sedang mengancam fondasi negara tersebut. Oleh karena itu, Pemerintah Pusat tidak akan berdiam diri dan membiarkan situasi kekacauan di Hong Kong berlanjut.
Alih-alih merasa terpengaruh atas pernyataan tersebut, kelompok pendukung demokrasi kembali menggelar aksi protes ganda di Hong Kong, Minggu siang. Ribuan pengunjuk rasa berbaris di dua distrik terpisah, yakni Tseung Kwan O dan Kennedy Town.
“Pemerintah mendorong orang untuk menjadi lebih radikal guna memengaruhi pengambilan keputusan. (Hal ini terlihat dari) mereka tidak menanggapi tuntutan apapun yang disampaikan warga,” kata Matthew Wang (22), seorang eksekutif pemasaran untuk perusahaan multinasional.
Aksi protes pada siang hari tersebut berlangsung relatif damai yang mana para pengunjuk juga mengacungkan spanduk dan selebaran berwarna-warni. Mereka menyatakan tidak akan berhenti berdemonstrasi meskipun belum ada hasil yang signifikan.
Menjelang malam hari, aksi protes kembali rusuh. Polisi menembak gas air mata kepada para pengunjuk rasa. Kerusuhan ini menjadi konfrontasi kedua secara berturut-turut antara kedua pihak.
Kemarin, Sabtu (3/8/2019), aksi protes juga sempat ricuh. Polisi menembak gas air mata ketika berkonfrontasi dengan para aktivis di kawasan Kowloon dan menahan lebih dari 20 orang.
Adapun selama dua bulan terakhir, warga Hong Kong menggelar aksi protes secara konsisten untuk menolak RUU ekstradisi yang diajukan pemerintah. Warga menilai, RUU ini akan membuat Hong Kong dapat mengekstradisi warganya dan warga asing ke berbagai negara, termasuk China.
Ekstradisi ke China menimbulkan kekhawatiran. Negara “Tirai Bambu” itu menganut hukum, sistem peradilan, dan pandangan yang berbeda mengenai hak asasi manusia (HAM) dengan Hong Kong.
Hong Kong menjadi bagian dari China sejak diserahkan Inggris pada 1997. Kesepakatan yang dibuat adalah China dan Hong Kong adalah satu negara dengan dua sistem pemerintahan yang berbeda. Hong Kong baru akan bergabung sepenuhnya dengan China pada 2047.
Kepala Eksekutif Hong Kong Carrie Lam telah menunda amendemen RUU Ekstradisi pada 15 Juni 2019. Lam meminta maaf kepada publik atas kontroversi yang timbul tiga hari kemudian. Namun, ia tidak menunjukkan gelagat untuk menarik RUU tersebut dan mengurangi penampilan di depan publik.
Penolakan terhadap RUU Ekstradisi dengan cepat berkembang menjadi gerakan untuk reformasi demokratis. Selain meminta pemerintah mencabut RUU itu, mereka juga meminta Lam untuk mundur. Tidak jarang, aksi protes berakhir ricuh antara demonstran dan anggota kepolisian.
“Tidak semua pihak setuju dengan aksi radikal yang terjadi. Tetapi tujuan mereka sederhana, yaitu membangun Hong Kong yang lebih baik,” ujar Kai Hou (41), seorang pekerja di bidang pendidikan.
Pihak berwenang Hong Kong dan Beijing selama ini tidak menunjukkan sikap melunak dalam menghadapi aksi protes warga. Polisi Hong Kong menahan puluhan pengunjuk rasa atas tuduhan kerusuhan dalam berbagai aksi.
Baru-baru ini, militer China menyatakan bersiap turun jika diminta bantuan. Bahkan, pihak tentara China merilis sebuah video untuk mempromosikan pasukannya yang berbasis di Hong Kong.
Persiapan aksi
Para pengunjuk kembali bersiap untuk mengadakan aksi protes pada Senin (5/8/2019). Mereka mengajak warga untuk melakukan pemogokan massal di seluruh Hong Kong pada hari itu.
“Kami mencoba untuk memberitahu pemerintah untuk menarik RUU ekstradisi serta polisi untuk menghentikan penyelidikan dan melakukan kekerasan,” kata Gabriel Lee (21), seorang mahasiswa jurusan teknologi.
Aksi protes selama ini dilakukan oleh berbagai lapisan masyarakat, seperti kelompok pengusaha, pengacara, pelajar, wiraswasta, tokoh pendukung demokrasi, dan kelompok agama. Pekan lalu, ribuan pegawai negeri sipil yang dituntut untuk netral bergabung dalam aksi protes untuk pertama kalinya.
Mereka juga mengadaptasi strategi aksi protes. Selain berkumpul di depan berbagai kantor pemerintahan, para pengunjuk rasa juga berinteraksi dengan turis dari China untuk menyampaikan tujuan demonstrasi.
Kondisi perekonomian Hong Kong merosot setelah aksi protes berlangsung selama berbulan-bulan. Aksi protes tersebut menjadi krisis politik internal paling serius bagi Presiden China Xi Jinping sejak menjabat pada 2012. (AP/AFP/REUTER)