Grup lawak Warkop DKI punya jargon yang terkenal hingga kini. Bunyinya, "tertawalah sebelum tertawa itu dilarang." Sepertinya roh kalimat itu masih dibawa para komika zaman sekarang. Bersama penonton, mereka menertawakan hidup yang tidak selamanya lucu di Jakarta International Comedy Festival (Jicomfest) 2019.
Komika atau pelawak tunggal asal Amerika Serikat, Maz Jobrani (47), beberapa kali melempar kelakar bernada politik, Sabtu (3/8/2019) malam di Jakarta. Kala itu ia bercerita soal sepak bola dan orang Amerika Latin (yang kerap diasosiasikan sebagai pemain hebat, lihat saja Lionel Messi dan Diego Maradona). Di akhir cerita, ia bercanda, “Build the wall. Build the wall,” yang berarti bangun temboknya.
Kalimat itu disambut riuh tepuk tangan penonton. Kalimat tersebut juga menjadi
punchline bertema politik pertama dari Jobrani. Di dunia stand up comedy,
punchline sama artinya dengan kalimat candaan yang paling nendang.
Jobrani tidak berhenti di situ. Selama lebih kurang satu jam ia menyampaikan rangkaian kelakar dengan tema berbeda-beda. Materi candaan Jobrani berkisar di tema perkotaan, pola asuh anak, politik, hingga keluarga. Ia bisa menjahit tema satu dengan lainnya dengan ringan, relevan, dan tentu saja lucu.
Materi candaan Jobrani berkisar di tema perkotaan, pola asuh anak, politik, hingga keluarga.
Penonton tidak berhenti tertawa saat kelakar demi kelakar dilontarkan. Materi candaannya lucu, pintar, dan kontekstual. Sebagai contoh, Jobrani menyebut bahwa kita semua akan bertemu dengan orang India dan China karena jumlah mereka ada banyak. Tentu saja. China dan India menempati urutan negara dengan penduduk terbanyak di dunia.
Di menit ke-36, Jobrani menyisipkan kembali sentilan politik dalam balutan kelakar soal pendidikan. Ia mengaku kewalahan dengan upaya sekolah untuk menghadirkan para anggota keluarga di hari-hari tematis, misalnya Hari Orangtua, Hari Guru, hingga Hari Sepupu Jauh.
“Aku harus menghubungi sepupuku yang ada di Iran. Kami bahkan tidak berbicara selama 25 tahun,” kata Jobrani yang seorang keturunan Iran.
Ia melanjutkan, si sepupu jauh tidak bisa hadir di Hari Sepupu Jauh. Sebab, Presiden AS Donald Trump mengeluarkan larangan perjalanan untuk sejumlah negara, antara lain Iran, Libia, Somalia, Suriah, Chad, dan Yaman. Peraturan ini berlaku pada 2017.
“Cobalah ke perbatasan. Nanti aku akan bantu menyelundupkan kamu,” lawak Jobrani sambil pura-pura menelepon si sepupu jauh. Penonton sontak tertawa terbahak-bahak mendengarnya.
Potret kehidupan
Lawakan Jobrani merupakan potret kehidupan yang terjadi di AS saat ini. Sejak Trump menjabat sebagai presiden, gelombang protes terhadap kebijakan yang ia buat seakan tidak pernah reda, termasuk larangan perjalanan tersebut. Salah satu dampak kebijakan itu ialah ditolaknya ribuan visa dari negara terkait ke AS.
Jobrani kembali melanjutkan lawakannya dengan bercerita soal tes Bahasa Inggris bagi orang mancanegara yang mau masuk ke AS.
Kata dia, agak mustahil buat sejumlah orang untuk lulus karena pelafalan huruf masing-masing negara berbeda. Sebagai contoh, orang Jepang melafalkan tidak bisa melafalkan huruf R dan L.
“Tapi, aku yakin orang India bisa lulus tes ini. Soalnya mereja jago di lomba
spelling bee,” kata Jobrani. Sekali lagi, penonton tergelak mendengarnya.
Ada yang bilang bahwa komedi adalah cara menyampaikan kritik secara subtil. Komedi harus dibungkus dengan cerdas agar bisa menunaikan tugasnya untuk menghibur sekaligus menyampaikan pesan.
Penting buat para komedian untuk menyadari perubahan-perubahan dalam hidup setiap hari dan mengolahnya dalam bentuk humor.
Tidak selalu lucu
Tidak selamanya humor dianggap lucu oleh audiens, terlebih jika sudah menyangkut printilan agamis. Coba tengok kasus saat komika Coki Pardede dan Muslim mundur dari dunia stand up comedy dan mundur sebagai Youtuber.
Hal itu terjadi saat mereka bercanda soal daging babi dan kurma. Candaan itu berujung protes besar dari warganet.
Ada pula masa ketika pelawak dan pembawa acara Andre Taulany merasakan hal lebih kurang sama. Kala itu ia bercanda soal kebun dan wangi dari Nabi Muhammad. Candaan itu dianggap menistakan agama dan memicu kemarahan sejumlah orang.
Entah siapa dan apa yang salah dari fenomena ini. Pelawaknya, materi lawakan, atau audiens yang tidak lagi bisa menjaring humor dalam diri mereka.
Di dunia yang semakin serius dan kompleks, komedi kadang tidak lagi dianggap menghibur. Salah-salah menertawakan fenomena bisa dianggap dosa dan menuai permusuhan.
Namun hal itu agaknya tidak berlaku buat komika Pandji Pragiwaksono, Ernest Prakasa, Adjis Doa Ibu, dan Dedy Corbuzier. Keempatnya kompak “menghina” satu sama lain di panggung Jicomfest 2019.
Kendati demikian, hinaan itu tidak menjadi alasan buat membenci satu sama lain, tapi malah ditertawakan bersama.
Berulang kali penonton berdiri sambil bertepuk tangan kala candaan dan “hinaan” dilontarkan. Audiens rupanya lapar akan pernyataan yang jujur, telak, dan tidak mengandung basa-basi dalam balutan humor.
Tentu saja, tawa dan candaan tersebut hanya akan berakhir di dalam ruangan. Penonton akan selamanya mengingat hari ketika mereka menertawakan kehidupan. Hari itu, baik komika maupun audiens bisa sama-sama lepas tanpa takut dikira menista agama.