JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty) ‘jilid 2’ tidak mendesak karena pemerintah sudah memiliki pemetaan dan profil wajib pajak menurut klasifikasi risiko. Fokus kebijakan lebih baik diarahkan untuk memacu reformasi perpajakan.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo berpendapat, wacana tax amnesty ‘jilid II’ berpotensi menciderai sistem perpajakan. Hal ini juga akan melukai rasa keadilan bagi mereka yang sudah mengikuti tax amnesty pada 2016.
“Wacana itu akan jadi preseden buruk karena menciptakan efek psikologis bahwa tax amnesty bisa terjadi berulang kali,” kata Prastowo yang dihubungi di Jakarta, Jumat (2/8/2019).
Menurut Prastowo, pemerintah sebaiknya fokus menjalankan peta jalan penegakan hukum pasca tax amnesty sesuai Undang-undang Nomor 9 Tahun 2017. Peta jalan itu mencakup reformasi pajak dan penegakan hukum yang terukur, imparsial, obyektif, dan adil.
Pemerintah sebaiknya fokus menjalankan peta jalan penegakan hukum pasca tax amnesty sesuai Undang-undang Nomor 9 Tahun 2017.
Reformasi perpajakan diarahkan untuk menyempurnakan regulasi, memperbaiki administrasi, meningkatkan pelayanan, dan melakukan pengawasan kepatuhan yang konsisten. Sistem pajak yang kuat, kredibel, dan akuntabel dibutuhkan untuk meningkatkan penerimaan pajak yang lesu.
Saat ini pemerintah sudah memiliki pemetaan dan profil wajib pajak menurut klasifikasi risiko—tinggi, sedang, dan rendah. Wajib pajak yang sudah ikut tax amnesty termasuk kategori risiko rendah, sementara wajib pajak risiko sedang dan tinggi belum melaksanakan kepatuhannya.
“Merekalah yang seharusnya menjadi sasaran pembinaan (risiko sedang) dan penegakan hukum (risiko tinggi),” kata Prastowo.
Secara terpisah, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam acara bersama Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Jumat pagi, memberikan sinyal amesty pajak ‘jilid II’. Pemerintah akan mengkaji kemungkinan kebijakan pengampunan pajak untuk kedua kalinya.
Wacana tax amnesty ‘jilid II’ dilontarkan oleh Ketua Kadin Rosan Roeslani yang menyuarakan aspirasi pelaku usaha. Menurut Rosan, banyak pelaku usaha yang menyesal tidak mengikuti tax amnesty. Dia menyakini jumlah peserta tax amnesty akan meningkat dibandingkan periode tax ammesty sebelumnya.
Pemerintah pernah menggelar pengampunan pajak selama sembilan bulan, mulai 1 Juli 2016 sampai 31 Maret 2017. Program ini diikuti oleh 965.983 peserta pribadi dan badan. Total deklarasi dana mencapai Rp 4.866 triliun. Adapun uang tebusannya adalah Rp 114 triliun. (Kompas, 14/3/2018).
Pemerintah pernah menggelar pengampunan pajak selama sembilan bulan, mulai 1 Juli 2016 sampai 31 Maret 2017
Dari total dana yang dideklarasikan tersebut, Rp 147 triliun di antaranya dinyatakan akan direpatriasi. Pemilik dana mayoritas adalah wajib pajak pribadi. Realisasi berdasarkan data terakhir, yakni per Maret 2017 adalah Rp 127 triliun. Sisanya yang sekitar Rp 20 triliun belum direpatriasi.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, antara lain mewajibkan peserta pengampunan pajak periode I (Juli-September 2016) dan periode II (Oktober-Desember 2016) yang berkomitmen melakukan repatriasi, paling lambat mengalihkan hartanya ke dalam negeri per 31 Desember 2016. Adapun untuk periode III (Januari-Maret 2017), paling lambat 31 Maret 2017.