Perjalanan sejarah bangsa ini tak hanya bisa ditelusuri dari lembar-lembar buku, foto-foto, ataupun putaran video. Meski selama ini diabaikan, seni rupa juga merekam momen-momen penting bangsa ini mencari bentuknya.
Periode 1950-1980 merupakan masa penting awal mula sejarah Republik Indonesia berkembang. Metamorfosa bangsa ini terlihat jelas dalam karya-karya para perupa yang ditampilkan pada Pameran Seni Rupa Koleksi Nasional #2 bertajuk “Lini Transisi” di Galeri Nasional Indonesia 2-31 Agustus 2019.
Sebanyak 50 karya seni rupa yang diciptakan 40 seniman Indonesia antara tahun 1950 hingga 1980 menjadi pintu baru bagi para penikmat seni untuk melihat proses panjang transisi Republik ini.
Lukisan Sudjojono berjudul “Ada Orkes” (1970), misalnya, menggambarkan bagaimana pandangan kritisnya terhadap satu lapis sosial serta pengalamannya menjalani revolusi fisik. Sementara itu, Hendra Gunawan dengan seni kerakyatannya mencoba memotret realitas masyarakat Indonesia di masa-masa awal kemerdekaan seperti tercitra dalam lukisannya berjudul “Jualan di bawah Pohon Beringin” (1950).
Edhi Sunarso dengan karya-karya monumentalnya seperti patung Dirgantara-nya (1964-1965) juga mampu menorehkan penanda-penanda penting sejarah di Jakarta, sampai pada Fadjar Sidik yang menghadirkan fase seni rupa yang ia sebut sebagai desain-desain ekspresif.
Pada masa 1950-1980, negara sedang mencari bentuknya, terjadi tarik-menarik politik. Situasi ini dilukiskan oleh para seniman dengan berbagai macam cara. “Terjadi transisi pemikiran, transisi bentuk. Sudjojono mengatakan “Aku tahu kemana seni lukis Indonesia akan aku bawa”. Menurutnya, seniman Indonesia punya cara sendiri, punya sejarah sendiri, dan punya bentuk sendiri,” kata Suwarno Wisetrotomo, kurator pameran ini, Kamis (1/8/2019) di sela pembukaan pameran ini di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta.
Seniman Indonesia punya cara sendiri, punya sejarah sendiri, dan punya bentuk sendiri.
Seni rupa Indonesia awalnya berorientasi pada para seniman ekspatriat Belanda di Bataviasche Kunstkring dengan tren Mooi Indie-nya. Sudjojono pun geram. “Mooi Indie itu hanya melayani pasar, melayani turis. Kita membutuhkan realitet nasi, realitas yang konkrit di sekitar kehidupan kita, kelaparan, kemiskinan, kebingungan. Inilah jiwa ketok yang disebut Sudjojono,” ucap Suwarno.
Mencari Bentuk
Negara sedang mencari bentuknya, terjadi tarik-menarik politik. Itu dilakukan dengan berbagai macam cara oleh para seniman. Terjadi transisi pemikiran, transisi bentuk. Jika ditelusuri lebih lanjut, seni merupakan bagian penting perjalanan republik ini.
Pada masa perjuangan, banyak seniman ikut berperang, seperti yang dilakukan Edhi Surnarso saat mencuri mesiu-mesiu Belanda, Abas Alibasyah yang turut berperang, hingga Srihadi Soedarsono yang ikut perang dan membuat sket saat pesawat Dakota VT-CLA jatuh tertembak di Dusun Ngoto, Bantul, Yogyakarta 29 Juli 1947 menewaskan Komodor Udara Adisoetjipto.
Seni ternyata menjadi bagian penting dari perjalanan republik ini. Seni bisa jadi pintu masuk memahami Indonesia. “Kita akan membangun kesadaran bersama bahwa karya-karya seni rupa itu adalah aset negara yang tak terhingga nilainya. Selama ini, koleksi-koleksi itu tersebar di berbagai instansi dan institusi pemerintah dan tidak dirawat secara khusus, dianggap seperti benda kantor umumnya,” tambah Rizki A Zaelani yang juga mengurasi pameran ini.
Setelah tahun lalu menghadirkan koleksi Istana Kepresidenan, tahun ini Galeri Nasional Indonesia menampilkan koleksi seni rupa milik instansi dan institusi pemerintah Republik Indonesia, mulai dari Galeri Nasional Indonesia, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Luar Negeri, Museum Seni Rupa dan Keramik, Museum Seni, Museum Sejarah Jakarta, Museum Kesejarahan Jakarta, dan Museum Bank Indonesia. Selama ini, masyarakat tidak banyak tahu bahwa di tempat-tempat tersebut ternyata tersimpan karya-karya masterpiece maestro-maestro seni Indonesia.