Secara konsisten nilai poundsterling terus melemah menjelang Brexit 31 Oktober. PM Inggris Boris Johnson juga diuji lewat pemilu sela di Brecon.
LONDON, KAMIS —Mata uang Inggris poundsterling jatuh ke titik terendah selama 10 tahun terakhir terhadap euro, dan hampir menembus nilai terendah terhadap dollar AS dalam 34 tahun terakhir.
Jatuhnya nilai pound ini berbarengan dengan persiapan jutaan warga Inggris melewati liburan musim panas di mancanegara. Kemarin nilai tukar pound terdepresiasi menjadi 1,07 terhadap euro.
”Hari-hari di mana nilai pound mencapai 1,60 terhadap euro sudah berlalu. Saya sungguh kecewa,” kata Gary Lacey yang hendak memulai liburannya ke Austria. Kekecewaan Lacey mencerminkan apa yang dirasakan mayoritas rakyat Inggris yang selama ini bangga karena mata uang pound selalu diperhitungkan dalam pusaran mata uang dunia.
Menurut The New York Times, Kamis (1/8/2019), tekanan terhadap poundsterling meningkat pada saat Boris Johnson menjadi PM Inggris. Sejak terpilih, Johnson terus menekan Uni Eropa. Ia mengatakan, Inggris akan keluar dari blok tanpa kesepakatan jika Brussels tak mau menegosiasikan kembali kesepakatan Brexit yang ditandatangani pada November 2018.
Para investor pekan lalu ramai-ramai menarik simpanan mereka karena mengantisipasi potensi guncangan ekonomi. Mereka juga menjual mata uang pound sehingga dalam waktu singkat pound terdepresiasi 3 persen terhadap dollar AS dan euro.
Turunnya nilai pound juga merefleksikan penilaian pasar bahwa Brexit telah melemahkan Inggris secara ekonomi. Selain itu, kondisi ini juga menunjukkan bahwa para investor kemungkinan tak merasa membutuhkan mata uang pound di masa depan. Dengan kata lain, Brexit telah mengurangi daya tarik para investor untuk berbisnis di Inggris.
Impor lebih tinggi
Secara teori, seharusnya nilai tukar pound yang lemah bisa melecut ekspor Inggris karena akan membuat produk Inggris lebih murah dalam persaingan di pasar. Namun, karena nilai impor Inggris lebih tinggi dibandingkan ekspornya, maka yang terjadi adalah dampak negatif.
Sepekan pertama kepemimpinannya, Johnson langsung tancap gas mempersiapkan Inggris keluar dari UE pada 31 Oktober, dengan atau tanpa kesepakatan. Johnson langsung mengunjungi Skotlandia, Irlandia Utara, dan Wales. Namun, di Skotlandia dan di Irlandia Utara, ia didemo dan dicemooh warga yang anti-Brexit tanpa kesepakatan.
Kemarin, Johnson menghadapi ujian elektoral pertamanya. Pemilu khusus itu memperebutkan satu kursi parlemen Inggris dari dapil Brecon, Wales. Kursi itu milik Chris Davies dari Partai Konservatif yang dicopot karena kasus penipuan.
Davies mencalonkan diri kembali, tetapi ia mendapat perlawanan keras dari Jane Dodds, kandidat Partai Liberal Demokrat. Meskipun hanya satu kursi, ini krusial bagi Konservatif yang tidak menjadi mayoritas di parlemen. Konservatif berhasil membentuk pemerintahan atas dukungan Partai Unionis Demokratik (DUP) yang memiliki 10 kursi.
Pada referendum 2016, warga Brecon mendukung Brexit dengan hasil 52 persen berbanding 48 persen. Meskipun mayoritas pemilih kecewa dengan kinerja Davies dan Konservatif, terpilihnya Johnson sebagai PM membuat popularitas Konservatif kembali menguat.