IMF Ingatkan Pemerintah Tidak Obral Insentif Pajak
Pemberian insentif dan pelonggaran peraturan pajak harus mempertimbangkan kondisi pendapatan negara. Sumber-sumber pendapatan baru justru diperlukan untuk memitigasi risiko gejolak perekonomian global.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemberian insentif dan pelonggaran peraturan pajak harus mempertimbangkan kondisi pendapatan negara. Sumber-sumber pendapatan baru justru diperlukan untuk memitigasi risiko gejolak perekonomian global.
Dana Moneter Internasional (IMF) dalam laporan Article for Consultation 2019, dikutip pada Jumat (2/8/2019), menyoroti pendapatan Indonesia yang relatif kecil. Pemerintah secara tersirat diminta menghindari langkah-langkah yang dapat melemahkan pendapatan negara, termasuk insentif pajak tambahan.
Pendapatan Indonesia saat ini masih di bawah 15 persen produk domestik bruto (PDB), relatif rendah dibandingkan negara-negara berkembang, seperti Malaysia, Filipina, India, Thailand, dan Vietnam. Pendapatan negara itu terdiri dari penerimaan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Ketimbang memberikan insentif fiskal, pemerintah disarankan menyusun strategi pendapatan jangka pendek melalui reformasi kebijakan dan administrasi di bidang perpajakan. Hal tersebut bertujuan untuk mencari sumber-sumber penerimaan baru sehingga pendapatan negara meningkat.
Strategi pendapatan jangka pendek mencakup semua aspek perpajakan, mulai dari pajak pertambahan nilai (PPN), cukai, pajak penghasilan (PPh) badan, PPh orang pribadi, pajak properti, dan administrasi pajak. Reformasi struktural ini mesti dipacu secara bertahap sesuai prioritas pemerintah.
Strategi pendapatan jangka pendek mencakup semua aspek perpajakan, mulai dari pajak pertambahan nilai (PPN), cukai, pajak penghasilan (PPh) badan, PPh orang pribadi, pajak properti, dan administrasi pajak.
Kepala Lembaga Pusat Kajian Ekonomi Makro Universitas Indonesia Febrio Kacaribu berpendapat, pemerintah mesti berhati-hati dalam memberikan insentif pajak. Kebijakan itu bisa jadi bumerang, apalagi pendapatan negara saat ini sedang lesu.
”Indonesia justru membutuhkan tambahan pendapatan. Rasio pajak masih terlalu rendah sehingga perlu menciptakan peluang-peluang baru agar pendapatan bisa naik,” kata Febrio.
Insentif pajak dan pengurangan kewajiban perpajakan tecermin dalam realisasi belanja pajak (tax expenditure). Berdasarkan data Kementerian Keuangan, alokasi belanja pajak meningkat dari Rp 143,6 triliun pada 2016 menjadi Rp 154,7 triliun pada 2017. Pada 2019, belanja pajak ditargetkan sekitar Rp 150 triliun.
Di sisi lain, realisasi pendapatan negara per Juni 2019 Rp 898,8 triliun, atau tumbuh 7,8 persen dibandingkan Juni 2018. Dari total pendapatan itu, penerimaan perpajakan tumbuh paling lemah sebesar 5,4 persen atau Rp 688,9 triliun.
Menurut Febrio, insentif pajak tidak serta-merta berdampak terhadap perekonomian. Pemberian insentif pajak memang meningkatkan produksi industri, tetapi tidak signifikan. Kenaikan produksi dalam kenyataannya tidak secepat penurunan penerimaan pajak.
”Masalah utamanya bukan di pajak, tetapi ketidakpastian biaya produksi. Hal itu yang harus dibenahi,” kata Febrio.
Salah satu persoalan biaya produksi yang mesti diatasi, misalnya, ongkos kirim barang dari pabrik sampai pelabuhan, dan kemudahan perizinan. Regulasi perizinan Indonesia dinilai rumit dan berbelit sehingga membebani biaya produksi. Implementasi sistem perizinan terpadu satu pintu (OSS) belum optimal.
Efektif dan selektif
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, pemerintah harus memetakan efektivitas insentif pajak yang selama ini diberikan. Pemetaan itu dapat dipilah berdasarkan jenis insentif dan sektornya.
Pemberian insentif atau pelonggaran peraturan pajak dinilai belum berdasarkan kalkulasi yang matang baik dari efektivitas maupun target. Hal itu menyebabkan penerimaan pajak semakin tergerus. Sementara dampak terhadap perekonomian tidak signifikan,
Menurut Prastowo, kebijakan menaikkan penghasilan tidak kena pajak (PTKP) menjadi salah satu contoh janggal. Kenaikan PTKP dari Rp 3 juta menjadi Rp 4,5 juta per bulan tidak mempertimbangkan upah minimum daerah. Akibatnya, potensi kehilangan penerimaan dari PPh orang pribadi mencapai Rp 18 triliun.
”Selama lima tahun terakhir, pajak amat lekat dengan politik baik perumusan kebijakan maupun tarik-menarik kepentingan suatu isu,” kata Yustinus.
Pengawasan pajak (ekstensifikasi) justru harus menyasar para pengemplang pajak, bukan wajib pajak. Peningkatan kepatuhan menjadi tujuan utama sehingga penerimaan pajak tumbuh. Pajak seharusnya menjadi instrumen hegemoni yang kuat.
Menanggapi terkait insentif pajak, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahasil Nazara, beberapa waktu lalu, mengatakan, dampak langsung pemberian insentif fiskal bisa dilihat per jenis penerima, seperti pebisnis, rumah tangga, dan kelompok usaha kecil dan menengah. Pengeluaran mereka akan berkurang karena tidak membayar pajak.
”Namun, dampak tidak langsung terhadap perekonomian secara keseluruhan belum bisa dihitung karena terlalu kompleks. Kami masih mengkaji metode yang pas,” kata Suahasil.
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.