Pemerintah daerah yang memiliki hutan luas berharap mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah pusat berupa kompensasi anggaran. Dana dapat digunakan untuk menjaga hutan agar tidak rusak.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah daerah yang memiliki hutan luas berharap mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah pusat berupa kompensasi anggaran. Dana dapat digunakan untuk menjaga hutan agar tidak rusak.
Bupati Berau Muharram mengatakan, wilayah hutan Berau, Kalimantan Timur, mencapai 75 persen, tetapi dana alokasi umum (DAU) yang diberikan kalah dari daerah lain yang lebih sedikit memiliki hutan. Akibatnya, daerahnya masih memiliki ketergantungan pada perkebunan kelapa sawit dan tambang batubara.
”Enam puluh persen dari total pendapatan kami, yang mencapai Rp 2,6 triliun, berasal dari batubara,” kata Muharram saat mengunjungi Redaksi Kompas bersama peneliti World Resources Institute WRI) Indonesia di Jakarta, Jumat (2/8/2019).
Dalam kunjungannya tersebut, Muharram ditemui Pemimpin Redaksi Kompas Ninuk Mardiana Pambudy dan Redaktur Pelaksana Adi Prinantyo.
Adapun luas wilayah Berau secara keseluruhan 3,4 juta hektar, sedangkan luas daratannya 2,2 juta hektar. Ironisnya, ratusan ribu hektar lebih telah digunakan untuk tambang batubara. Bahkan, ia sudah sulit menemukan wilayah yang dapat ditambang lagi.
Muharram mengungkapkan, hal itu menjadi dilematis bagi kepala daerah yang ingin menjaga hutannya. Mereka ingin menjaga kelestarian lingkungan, tetapi di sisi lain masih membutuhkan pemasukan dan yang paling mudah adalah lewat tambang.
Lebih buruknya lagi, banyak pejabat daerah yang terlibat korupsi terkait dengan pengelolaan sumber daya alam. Mereka dengan mudahnya memberikan izin kepada pengusaha untuk menambang di wilayah yang tidak boleh ditambang.
”Jika hal ini terus dibiarkan, kenaikan suhu pada 2030 akan mencapai 2 derajat celsius yang berakibat pada berkurangnya terumbu karang hingga 99 persen,” tuturnya.
Kenaikan suhu juga memiliki dampak buruk lainnya, seperti kenaikan tinggi permukaan air laut, berkurangnya panen jagung di wilayah tropis, dan populasi dunia terdampak suhu panas ekstrem minimal satu kali dalam lima tahun.
Untuk mengatasi persoalan tersebut, dibutuhkan gerakan atau kebijakan nasional yang mengutamakan kelestarian lingkungan. Dalam hal ini, pemerintah pusat dan provinsi memiliki peranan besar karena mereka yang memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan.
Dalam kunjungannya ke India dua tahun lalu, Muharram melihat Pemerintah India memiliki konsep bahwa daerah yang tutupan lahan hutannya lebih besar, mereka yang akan mendapatkan kompensasi anggaran lebih besar. Alhasil, pemerintah daerah akan berpikir untuk meningkatkan jumlah tutupan lahan sehingga luas hutan akan bertambah.
Gagasan tersebut telah disampaikan kepada kepala daerah lain yang memiliki wilayah hutan yang luas. Mereka pun setuju untuk dapat menjaga hutan di wilayahnya.
Direktur WRI Indonesia Nirarta Samadhi mengatakan, untuk mengurangi kenaikan suhu di bawah 1,5 derajat celsius, dibutuhkan DAU berbasis hutan. Kebijakan tersebut akan berpengaruh pada peningkatan jumlah hutan di setiap daerah.
Menurut Nirarta, pemerintah pusat melalui Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) telah memiliki konsep pembangunan rendah karbon Indonesia. Namun, tidak semua kementerian memahami konsep tersebut sehingga kebijakan pengelolaan keuangan tidak diprogramkan untuk menurunkan karbon, bahkan cenderung digunakan untuk tambang batubara dan pengembangan kelapa sawit.
”Seharusnya kebijakan pengelolaan keuangan tersebut digunakan untuk produktivitas lahan, transisi energi, dan konservasi hutan,” kata Nirarta. Hal itu akan menumbuhkan perekonomian baru yang sensitif terhadap lingkungan, khususnya terkait dengan iklim.
Selain dapat mencegah hilangnya lahan hutan, kebijakan itu dapat mengurangi kematian akibat pemanasan global, perbaikan kualitas udara, dan peningkatan taraf hidup serta dapat membuka lapangan pekerjaan baru yang lebih mengedepankan pada kelestarian lingkungan.