Bisnis Tekfin Ilegal Semakin Masif akibat Tak Ada UU Pelarangan
Bisnis teknologi finansial atau tekfin ilegal semakin mengintai masyarakat Indonesia. Sejak Januari 2019 hingga sekarang, jumlah tekfin ilegal yang diblokir melonjak 100 persen lebih dibandingkan tahun lalu akibat tak ada aturan atau payung hukum berupa undang-undang pelarangan.
Oleh
KELVIN HIANUSA/INSAN AL FAJRI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bisnis teknologi finansial atau tekfin ilegal semakin mengintai masyarakat Indonesia. Sejak Januari 2019 hingga sekarang, jumlah tekfin ilegal yang diblokir melonjak 100 persen lebih dibandingkan tahun lalu akibat tak ada aturan atau payung hukum berupa undang-undang pelarangan.
Satuan Tugas Waspada Investasi (SWI) sampai Jumat (2/8/2019) sudah memblokir 1.230 entitas tekfin ilegal pinjaman antarpihak (peer to peer lending) ilegal. Namun, bisnis ini terus menjamur. Sejak Januari 2019, sebanyak 826 entitas sudah diblokir atau naik signifikan dari tahun 2019 yang hanya ada 404 entitas.
Ketua SWI Tongam L Tobing dalam konferensi pers bersama Bareskrim Polri di Mabes Polri Jakarta, Jumat, mengatakan, pihaknya selalu melakukan pemblokiran akses sebagai bentuk pencegahan dini tekfin ilegal yang berpotensi merugikan masyarakat. Namun, serangan tekfin ilegal justru semakin masif.
”Kami sudah menutup kegiatan yang tanpa izin OJK (Otoritas Jasa Keuangan). Tetapi masih saja masih banyak aplikasi baru yang muncul di situs web, Google Playstore, ataupun berupa link unduh. Tekfin ilegal itu masih bisa diakses lewat media lain,” kata Tongam.
Tekfin ilegal sulit diatasi karena tidak ada aturan hukum yang melarang bisnis pinjam-meminjam di Indonesia. Tekfin ilegal bisa dijerat hukum setelah melanggar tindak pidana, misalnya menagih utang dengan kekerasan ataupun pelecehan.
OJK memiliki wewenang menindak tekfin pinjaman yang melanggar peraturan, seperti mengenakan denda bunga lebih dari 100 persen ataupun maksimum 0,8 persen per hari. Namun, kewenangan itu sebatas untuk perusahaan yang telah memiliki perizinan OJK.
Untuk itu, menurut Tongam, butuh UU yang mengatur kewajiban perusahaan tekfin untuk memiliki izin. ”Seharusnya ada pasal yang menyatakan tekfin yang tidak punya izin kegiatan merupakan tindak pidana,” ujarnya.
SWI mendorong adanya inisiatif dari pemerintah dan DPR untuk hadirnya aturan tersebut. Sebab, serangan tekfin ilegal semakin masif. Hal itu membuat masyarakat berperluang besar menjadi calon korban.
Kekosongan aturan membuat OJK tidak bisa bertindak lebih. Selain memblokir akses, upaya yang selama ini dilakukan hanya meningkatkan literasi masyarakat tentang cara memilih tekfin pinjaman yang aman.
Kasubdit II Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Komisaris Besar Rickynaldo mengatakan, pihaknya sulit mengantisipasi tekfin ilegal secara maksimal. Hal itu karena mayoritas server perusahaan berada di luar negeri.
”Server yang ada di Indonesia sekitar 20 persen. Sebagian besar tidak ada di sini. Karena itu, kami tidak bisa mengantisipasi maksimal,” ujar Rickynaldo yang juga hadir dalam konferensi pers tersebut.
Berdasarkan penelusuran terhadap lokasi server entitas tekfin ilegal, hanya 22 persen server yang diketahui berada di Indonesia. Sebanyak 42 persen entitas tidak diketahui asalnya dan 15 persen berasal dari Amerika Serikat. Sisanya berasal dari sejumlah negara lain.
Menurut Rickynaldo, tindak pidana yang sering dilakukan tekfin ilegal yakni penyadapan data, pengiriman gambar porno, pengancaman, manipulasi data, dan akses data ilegal. Hanya tindak pidana seperti itu yang bisa dijerat oleh pihak kepolisian.
”Hanya itu yang bisa kami jerat yang sudah terangkum dalam UU ITE. Ada tujuh kasus yang sedang kami tangani. Selain itu, belum ada pasal lain yang bisa menjerat. Sulitnya lagi, ini kan delik aduan. Jadi semua tergantung pelapor. Seringnya peminjam tidak mau melaporkan langsung,” kata Rickynaldo.
Investasi bodong
Selain tekfin ilegal pinjaman, SWI juga menghentikan 177 entitas investasi ilegal pada 2019. Jumlah itu terdiri dari kegiatan 117 trading forex tanpa izin, 13 multilevel marketing tanpa izin, 11 investasi uang, 5 investasi mata uang crypto, dan 31 investasi lainnya.
Fenomena investasi ilegal ini juga mengalami tren peningkatan dari sebelumnya. Meski baru sampai Agustus 2019, pemblokiran sudah mencapai 177 entitas, lebih banyak dibandingkan 2018 berjumlah 108 entitas dan 2017 berjumlah 70 entitas.
”Kami ingin masyarakat lebih waspada. Pertama lihat dulu perusahaan itu berizin atau tidak. Kedua, gunakan logika. Mereka biasanya menawarkan imbal hasil fantastis tanpa risiko, seperti bunga tetap 30 persen per bulan. Itu kan tidak mungkin,” kata Tongam.
Meski meningkat, SWI melihat tren tersebut tidak diikuti dengan kerugian masyarakat yang besar. Investasi ilegal berhasil dihentikan sedini mungkin lewat bantuan laporan dari masyarakat.
Salah satu investasi ilegal yang teridentifikasi yakni perusahaan asal Malaysia, Guardian Capital Group (GCG) Asia. Perusahaan tersebut tidak memiliki izin usaha sebagai pialang berjangka dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Kementerian Perdagangan.