Bank Indonesia tidak menutup ruang melonggarkan kembali kebijakan moneter di sepanjang sisa tahun ini seusai memangkas suku bunga acuan pada Juli 2019.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bank Indonesia tidak menutup ruang melonggarkan kembali kebijakan moneter di sepanjang sisa tahun ini seusai memangkas suku bunga acuan pada Juli 2019. Pelonggaran moneter tetap akan dilakukan secara akomodatif lewat penyesuaian kondisi ekonomi domestik dan global.
Saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (2/8/2019), Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia (BI) Onny Widjanarko mengatakan, potensi pelonggaran kebijakan moneter kembali terbuka. Potensi ini muncul seiring dengan penurunan suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat (AS), The Fed.
”Ruang bagi kebijakan moneter yang akomodatif masih terbuka sejalan dengan rendahnya prakiraan inflasi dan perlunya mendorong momentum pertumbuhan ekonomi lebih lanjut,” kata Onny.
Pada Rabu waktu setempat, The Fed mengumumkan pemangkasan suku bunga acuan sebesar seperempat poin ke kisaran 2 persen-2,25 persen. Gubernur The Fed, Jerome Powell, menyatakan, kebijakan ini adalah langkah yang normal di tengah penyesuaian ekonomi AS.
Pemotongan suku bunga acuan ditempuh sejalan dengan tetap rendahnya prakiraan inflasi dan perlunya mendorong momentum pertumbuhan ekonomi. BI menilai pelonggaran ini tepat dilakukan di tengah penurunan skala ketidakpastian pasar keuangan global serta mulai terkendalinya stabilitas eksternal.
Kebijakan makroprudensial, lanjut Onny, dipastikam akan tetap akomodatif untuk mendorong penyaluran kredit perbankan dan memperluas pembiayaan bagi perekonomian. Selain itu, kebijakan sistem pembayaran dan pendalaman pasar keuangan juga terus diperkuat guna mendukung pertumbuhan ekonomi.
Pada Juli lalu, BI telah menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 5,75 persen. Adapun suku bunga deposit facility atau simpanan rupiah bank di BI turun 25 bps menjadi 5 persen dan lending facility atau pinjaman rupiah bank dari BI juga turun 25 bps menjadi 6,5 persen.
Sebelumnya pada Juni 2019, BI menurunkan rasio giro wajib minimum (GWM) perbankan 50 basis poin untuk melonggarkan likuiditas perbankan. Melalui kebijakan itu, BI berharap kecukupan likuiditas perbankan dapat bertambah hingga Rp 25 triliun.
”Strategi operasi moneter tetap diarahkan untuk memastikan ketersediaan likuiditas di pasar uang dan memperkuat transmisi kebijakan moneter yang akomodatif,” ujar Onny.
Dorongan inflasi
Ekonom Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro menilai, data inflasi nasional yang sesuai ekspektasi semestinya mendorong BI kembali menurunkan suku bunga. BI diyakini akan melanjutkan kebijakan moneter yang akomodatif seperti yang telah ditelurkan di sepanjang 2018.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang Januari-Juli 2019, inflasi umum 2,36 persen. Perkembangan inflasi diprediksi tetap terkendali hingga akhir tahun sesuai target pemerintah 2,5-4,5 persen.
”BI selalu menyebut inflasi sebagai faktor utama yang akan memungkinkan bank sentral melonggarkan kebijakan moneter. Ini menjadi sinyal bahwa BI masih memiliki ruang yang cukup untuk memangkas suku bunga,” ujarnya.
Penurunan suku bunga BI dinilai dapat meningkatkan gairah ekonomi domestik karena biasanya akan diiringi penurunan bunga kredit sehingga masyarakat dapat meningkatkan konsumsi dan korporasi bisa berekspansi.
Pelemahan rupiah
Pernyataan The Fed untuk menahan laju pelonggaran moneter juga mendorong investor pasar keuangan menempatkan modal mereka dalam instrumen dollar AS. Situasi ini membuat nilai tukar rupiah melemah terhadap dollar AS.
Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR), pada Jumat akhir pekan ini rupiah berada di level Rp 14.203 per dollar AS. Posisi rupiah telah melemah 177 poin sejak 31 Juli 2019 atau sebelum The Fed mengumumkan penurunan suku bunga.
Namun, Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI Nanang Hendarsah memastikan, depresiasi nilai tukar rupiah ini hanya sementara. BI tetap akan melakukan intervensi di pasar spot, pasar obligasi, dan Domestic Non-Deliverable Market (DNDF) untuk menstabilkan nilai tukar rupiah.
Depresiasi nilai tukar rupiah ini hanya sementara.
”Depresiasi timbul di pasar, tapi ini hanya sementara karena risk-off setelah rencana Trump memberlakukan tarif baru dalam perdagangan dengan China,” kata Nanang.