JAKARTA, KOMPAS – Perempuan di bidang olahraga masih menghadapi tantangan sosiokultural yang kompleks dan dapat menghambat prestasi. Oleh karena itu, perlu upaya untuk mendorong atlet putri menciptakan prestasi jangka panjang, misalnya dengan pendekatan kepada atlet dan keluarga, dan menciptakan regulasi nasional.
Jumlah atlet putri yang berpartisipasi dan meraih medali emas dalam kejuaraan tidak sebanyak atlet putra. Pada Asian Games 2018, misalnya, kontingen Indonesia diperkuat 488 atlet putra dan 416 atlet putri. Dari 31 keping emas yang diraih, sebanyak 40 persen atau 12 emas berasal dari kategori putri. Di cabang angkat besi, selama 16 tahun penyelenggaraan SEA Games 2001-2017, hanya 6 keping emas dari lifter putri, sedangkan lifter putra menyumbang 24 keping emas.
Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Indonesia Puan Maharani mengatakan, tantangan paling berat bagi atlet putri untuk mengukir prestasi terletak pada kemauan diri sendiri. ”Selanjutnya, minimnya dukungan keluarga. Selain itu, perempuan sering dianggap lebih lemah dari laki-laki,” kata Puan pada peluncuran Yayasan Perempuan dalam Olahraga (Women in Sport Foundation), di Jakarta, Rabu (31/7/2019).
Puan menjelaskan, untuk mendobrak pandangan klise mengenai perempuan tidaklah mudah. Apalagi, perempuan yang ingin berprestasi kerap menghadapi tantangan di sektor domestik, seperti mengurus suami dan anak-anak. Namun, dengan adanya dukungan konkret dari pemangku kebijakan, Puan yakin, masalah itu dapat teratasi. Dukungan konkret itu misalnya menyediakan pendampingan psikolog untuk perempuan dan pemenuhan nutrisi bagi atlet.
DekanFakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang Tandiyo Rahayu mengatakan, atlet-atlet putri Indonesia masih menghadapi tantangan sosiokultural sehingga muncul perasaan tidak percaya diri untuk menunjukkan kemampuan terbaik.
Masalah sosiokultural itu, menurut dia, tidak begitu terasa terhadap atlet elite yang sudah mengukir prestasi. Tantangan itu baru terasa dan memengaruhi pada proses melahirkan atlet-atlet muda. Misalnya orang tua yang tidak mendukung karier atlet, atau muncul cibiran dari teman-teman seusia atlet karena biasanya atlet remaja putri tidak bisa berdandan.
Tandiyo menjelaskan, tak bisa dipungkiri perbedaan ciri fisik perempuan dan laki-laki membuat usia karier atlet putri tidak sepanjang atlet putra. Namun, negeri ini juga menghadapi masalah lainnya, yaitu program pembinaan atlet dengan melibatkan keluarga belum dikelola secara terstruktur dan sistematis, sehingga hambatan sosiokultural akan selalu muncul.
Berdasarkan pemaparannya, di tingkat internasional, upaya untuk mendorong dan mendukung peran perempuan dalam olahraga sudah diatur seperti dalam Piagam Olimpiade 2018 dan Deklarasi Berlin 2013, yang merupakan hasil Konferensi Internasional Menteri dan Pejabat Senior yang Bertanggung jawab atas Pendidikan Jasmani dan Olahraga (MINEPS).
Namun di Indonesia, hingga saat ini belum ada regulasi khusus untuk memastikan peran perempuan dalam olahraga. Pada Undang-undang Sistem Keolahragaan Nasional, misalnya, tidak ditemukan satu pun kata \'perempuan\'. “Tetapi, dalam undang-undang itu ada kata bebas, yang artinya kita masih bisa mengupayakan agar kebijakan olahraga tidak bias gender,” katanya.
Ketua Olimpiade Indonesia Erick Thohir menuturkan, partisipasi perempuan dalam olahraga sudah meningkat. “Dulu hanya 2 persen atlet putri yang berpartisipasi dalam Olimpiade Musim Dingin. Sekarang jumlahnya meningkat menjadi 30 persen. Partisipasi perempuan dalam Olimpiade Musim Panas awalnya hanya 10 persen, meningkat menjadi 40 persen. Adapun partisipasi perempuan dalam Youth Olympic Games, konsisten sebanyak 47,5 persen,” katanya.
Dengan adanya Yayasan Perempuan dalam Olahraga (Women in Sport Foundation), Erick berharap, upaya-upaya untuk mendorong kesetaraan gender dan meningkatnya partisipasi perempuan dalam olahraga bisa terus ditingkatkan.
Pelari putri Indonesia, Dedeh Erawati mengatakan, perempuan masih menghadapi tantangan untuk berkarir di olahraga. “Terkait pakaian, misalnya, sering sekali muncul pembahasan terkait atlet putri yang memakai pakaian minim. Padadahal, pakaian itu dipakai karena memang dibutuhkan dan tidak mengganggu penampilan,” kata dia.