Jual Beli Jabatan yang Tak Berkesudahan
Jual beli jabatan di pemerintahan tak kunjung berakhir. Penindakan oleh aparat penegak hukum seakan tak pernah menciptakan efek jera. Sementara sistem pencegahan masih lemah. Ditambah lagi, ada celah di aturan perundang-undangan.

Bupati Kudus Muhammad Tamzil mengenakan rompi tahanan seusai diperiksa di Gedung KPK, Jakarta, Sabtu (27/7/2019). Tamzil ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan jual beli jabatan di Pemerintah Kabupaten Kudus.
Penangkapan Bupati Kudus, Jawa Tengah, M Tamzil oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, pekan lalu, semakin memperpanjang catatan kasus jual beli jabatan yang terjadi di pemerintahan.
Belum lepas dari ingatan saat mantan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Romahurmuziy menerima uang dari Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama (Kemenag) Jawa Timur Haris Hasanuddin dan Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Gresik Muhammad Muafaq Wirahadi untuk memuluskan seleksi jabatan kedua orang itu, pertengahan Maret 2019.
Belum juga lepas dari ingatan ketika mantan Bupati Klaten Sri Hartini divonis 11 tahun penjara karena kasus suap dan gratifikasi terkait mutasi dan promosi kepala SMP dan SMA, PNS di Sekretariat Daerah Pemerintah Kabupaten Klaten, serta pengisian jabatan di PDAM dan rumah sakit, akhir September 2017.
”Bagi kami, efek korupsi dalam jabatan itu bisa menimbulkan korupsi baru atau disebut efek domino dari korupsi. Ketika seseorang membeli jabatannya dan menyerahkan uang kepada kepala daerah agar ia mendapatkan jabatan itu, pasti dia akan mencari pengganti uang yang pernah dia keluarkan tersebut,” kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah, beberapa waktu lalu.
Namun, kasus-kasus yang telah terungkap itu diyakini hanya puncak gunung es. Sebab, di luar itu, laporan tentang jual beli jabatan terjadi di banyak instansi pemerintahan.

Mantan Bupati Klaten Sri Hartini masuk ke dalam mobil dengan menggunakan rompi tahanan seusai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Sabtu (31/12). Sri Hartini divonis 11 tahun penjara karena kasus suap dan gratifikasi terkait mutasi, promosi, dan pengisian jabatan.
Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Sofian Effendi ketika ditemui Kompas di Jakarta, Selasa (30/7/2019), mengatakan, tidak sedikit laporan dari instansi-instansi pemerintahan yang masuk ke KASN mengenai adanya indikasi jual beli jabatan di instansi mereka.
Ditambah lagi, hasil penelitian KASN mengenai persepsi pemangku kepentingan (stakeholder) tentang transaksi jabatan struktural di semua instansi pemerintah sepanjang 2019 mengungkap, jual beli jabatan terjadi di sebagian besar pengisian jabatan pimpinan tinggi (JPT), administratur, dan pengawas.
Yang terbanyak terjadi di level pemerintah kabupaten/kota, yaitu mencapai 95 persen, disusul oleh pemerintah provinsi sebesar 89,5 persen. Sementara pada tingkat lembaga, jual beli jabatan terjadi sebesar 49 persen dan ada 39,5 persen transaksi jabatan yang terjadi pada level kementerian.
”Pengawasan efektif memang baru terlaksana di tingkat pusat,” ujar Sofian.
Ia mengakui, transaksi jabatan di level daerah belum bisa dieliminasi. KASN terkendala sumber daya untuk mengawasinya.
Ironi reformasi birokrasi
Praktik jual beli jabatan sesungguhnya merupakan ironi dalam reformasi birokrasi yang selalu digaungkan oleh pemerintah.

Mantan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Muhammad Romahurmuziy, yang menjadi tersangka dugaan penerimaan suap terkait pengisian jabatan di Kementerian Agama, meninggalkan Gedung KPK, Jakarta, setelah menjalani pemeriksaan lanjutan, Kamis (20/6/2019).
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN yang diturunkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil, pengisian dan penempatan JPT utama, JPT madya, pejabat pimpinan tinggi, administratur, dan jabatan fungsional seharusnya dilaksanakan secara terbuka dan kompetitif sesuai sistem merit.
Artinya, pengisian pejabat semata berdasarkan kemampuan atau prestasi, bukan kekayaan, apalagi alasan politis atau iming-iming uang.
Sejumlah aturan itu pun sesungguhnya dihadirkan untuk menutup kemungkinan terjadinya transaksi jabatan.
Namun, menurut Sofian, produk hukum itu masih belum cukup untuk menutup celah jual beli jabatan.

Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara Sofian Effendi
Pasal 53 UU No 5/2014 menjelaskan bahwa kewenangan penetapan, pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian ASN diserahkan oleh Presiden kepada pejabat pembina kepegawaian (PPK) di setiap instansi. PPK dimaksud adalah menteri, pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian, sekretaris jenderal di lembaga negara dan lembaga nonstruktural, gubernur di pemerintah provinsi, dan bupati atau wali kota di pemerintah kabupaten/kota.
Persoalannya, mayoritas PPK, seperti kepala daerah dan menteri, itu pejabat politik. ”Pejabat politik sebagai PPK tak jarang menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi, termasuk memperdagangkan pengisian jabatan di instansinya,” kata Sofian.
Apalagi, sudah bukan rahasia, untuk terpilih menjadi kepala daerah dibutuhkan biaya tinggi. Tak jarang mereka mencoba balik modal saat menjabat dengan menyalahgunakan kewenangannya.
Baca juga: Visi Membangun Manusia
Selain itu, kewenangan penuh PPK juga berakibat pada tidak optimalnya sistem seleksi terbuka dan kompetitif. Sebab, mereka terlibat dalam menentukan anggota panitia seleksi pejabat, baik internal maupun eksternal. Hasil seleksi panitia-panitia itu juga akhirnya dilaporkan dan diputuskan oleh PPK.
Pendekatan kekuasaan
Pendekatan kekuasaan yang telah terjadi dalam pengisian jabatan itu yang, menurut Sofyan, membuat penerapan sistem merit menjadi salah kaprah.
Praktik meritokrasi di sejumlah negara menunjukkan adanya pemisahan antara pejabat politik dan pejabat karier. Maka, untuk Indonesia, birokrasi yang digerakkan oleh ASN seharusnya dipimpin oleh pejabat karier tertinggi di instansi, bukan pejabat politik. Dalam hal ini, sekretaris daerah di pemerintah daerah atau sekretaris jenderal atau sekretaris di kementerian/lembaga.

Para peserta seleksi calon pegawai negeri sipil Kementerian Keuangan mengikuti ujian kompetensi dasar di Gedung Maria Convention Hall, Pulogadung, Jakarta Timur, Rabu (18/10/2017).
Guru Besar Ilmu Administrasi Publik Universitas Gajah Mada Miftah Thoha menekankan, pengisian dan penempatan jabatan dalam sistem merit memiliki syarat mutlak, yaitu kompetensi dan profesionalitas.
Kedua hal tersebut perlu dimiliki tidak hanya oleh ASN, tetapi juga oleh PPK. Kedua pihak juga tidak bisa menggunakan pertimbangan politis apa pun untuk mengambil keputusan.
”Jika PPK menggunakan pertimbangan politis untuk mengangkat pejabat, artinya sudah bubar sistem merit, tidak ada gunanya sistem merit,” kata Miftah.
Menurut dia, meritokrasi di Indonesia belum pernah bisa diterapkan secara optimal sejak Indonesia merdeka. Sistem tersebut selalu terhalang oleh kecamuk sistem politik yang sebagian besar dikuasai oleh partai politik.
Baca juga: Implementasi Strategi Pencegahan Korupsi Belum Optimal
Partai memiliki kecenderungan untuk selalu menguasai, menjalankan, dan mempertahankan kekuasaan dengan cara menguasai pemerintahan. Oleh karena itu, semua keputusan yang diambil dalam melaksanakan birokrasi pun didasarkan pada pertimbangan politis.
Kualitas birokrasi
Intervensi politik dalam manajemen sumber daya aparatur sipil berakibat pada buruknya kualitas birokrasi. Sebab, hal tersebut merupakan salah satu elemen penting untuk meningkatkan efektivitas pemerintahan.
Berdasarkan data Bank Dunia, pada 2018 indeks efektivitas pemerintahan (GEI) berada pada angka 54,71 dengan ukuran tertingginya adalah angka 100. Pencapaian itu menandakan bahwa cara kerja ASN baru masuk dalam kategori negara berpendapatan menengah bawah.

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Syafruddin saat menyerahkan penghargaan Top 99 Inovasi Pelayanan Publik di Kota Semarang, Jawa Tengah, Kamis (18/7/2019). Jateng menjadi provinsi dengan inovasi pelayanan publik terbanyak pada 2019.
Sementara pemerintah menargetkan untuk bisa masuk dalam kategori negara berpendapatan menengah atas pada 2024. Dalam peta jalan pembangunan ASN periode 2020-2024 yang diterbitkan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan dan RB) juga ditargetkan, pada 2024 negara mampu menciptakan birokrasi kelas dunia.
Baca juga: Pemerintah Berkomitmen Rekrut ASN Profesional
Untuk mencapai target tersebut, pemerintah harus mampu meningkatkan skor GEI pada 2024, setidaknya mencapai angka 76. ”Tanpa upaya menurunkan intervensi politik dalam manajemen ASN, skor itu tidak akan naik, justru akan turun,” kata Sofian.
Reformasi total
Menurut Miftah, upaya peningkatan kualitas birokrasi harus dilakukan dengan reformasi total sistem politik, birokrasi, dan manajemen keuangan negara. Di samping itu, integritas pejabat politik juga harus terjamin. Mereka perlu melepaskan semua kepentingan partai politik ketika sudah masuk di pemerintahan.
”Meski demikian, semua itu perlu dimulai dengan merevisi UU ASN yang meletakkan jabatan PPK kepada pejabat politik,” katanya.
Namun, anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDI-P, Arif Wibowo, tidak setuju dengan pandangan itu. Menurut dia, pimpinan tertinggi di kementerian/lembaga dan pemda bertanggung jawab terhadap pengendalian birokrasi sehingga mereka, sekalipun berstatus sebagai pejabat politik, harus memiliki kewenangan penuh.

Barisan CPNS 2018
”Permasalahan besarnya adalah penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat politik,” ujar Arif. Persoalan itu bermuara pada sistem pemilu/pilkada yang membuat biaya politik tinggi.
Ia mencontohkan, seseorang yang ingin mendaftarkan diri sebagai calon kepala daerah harus merogoh kocek sebesar Rp 80 juta-RP 100 juta untuk disetorkan ke partai politik. Belum lagi yang dibutuhkan pada tahap setelah pendaftaran.
”Dengan sistem pemilu berbiaya tinggi, memang sulit mencari orang baik. Yang muncul justru orang-orang yang punya uang atau dibandari oleh mereka yang punya uang,” kata Arif.
Selain itu, akar masalah dari masih terjadinya jual beli jabatan adalah belum efektifnya pengawasan. Arif menilai, terdapat sejumlah lembaga pengawasan yang fungsinya tumpang tindih dan menerapkan standar berbeda dalam pengawasannya.
”Ke depan perlu ada sistem pengawasan yang terintegrasi, komprehensif, dan ketat. Perumusan undang-undang mengenai aparatur pengawas internal pemerintah juga semestinya segera dirumuskan,” ujarnya.
Baca juga: Inefisiensi dan Kebutuhan Restrukturisasi Kementerian
Sementara Kepala Biro Hukum, Komunikasi, dan Informasi Publik Kemenpan dan RB Mudzakir mengatakan, masih perlu kajian untuk mengetahui penyebab masih terjadinya jual beli jabatan. Sebab, UU No 5/2014 dan PP No 11/2017 dilahirkan salah satunya untuk menutup potensi praktik tersebut.
Untuk sementara, dia hanya bisa menyerahkan persoalan itu kepada aparat penegak hukum. ”Apabila praktik jual beli jabatan masih ada, aparat penegak hukum terkait harus menindak,” kata Mudzakir.
