Pasar Tak Menentu Rumah Panggung Kayu dari Tomohon
Produksi rumah panggung khas Minahasa dari kayu di Kelurahan Woloan, Kecamatan Tomohon Barat, Tomohon, Sulawesi Utara, terus berlangsung. Namun, penjualan tidak menentu karena tidak ada pasar yang tetap.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
TOMOHON, KOMPAS – Produksi rumah panggung khas Minahasa berbahan kayu di Kelurahan Woloan, Kecamatan Tomohon Barat, Tomohon, Sulawesi Utara, masih terus berlangsung. Namun, penjualan tidak menentu, menyesuaikan pasar yang tidak pasti. Pengusaha pun kesulitan memperoleh bahan baku kayu yang bersertifikasi.
Rabu (31/7/2019), aktivitas para pekerja terlihat di kanan dan kiri Jalan Woloan yang berlangsung sejak siang hingga sore. Sebagian pekerja membentuk rangka rumah dengan gergaji mesin, sebagian lain merakit bilahan kayu menjadi rangka lantai rumah. Ada pula pekerja memasang seng di atap kerangka rumah.
Michael (35) dan Ello (42), misalnya, bertugas menyambungkan kayu-kayu untuk pondasi rumah di unit usaha milik Novry Kapoh. Rumah yang dipesan pembeli biasanya berukuran 70 meter persegi dengan satu tangga ke beranda rumah. Untuk itu, dibutuhkan 5 kubik kayu besi atau ulin sebagai bahan dasar rumah.
“Itu baru rangkanya saja. Kalau ukuran yang lebih besar, misal 10 x 17 meter persegi dengan dua tangga di depan rumah, mungkin butuh 10 kubik kayu. Pembangunan satu rumah kira-kira makan waktu dua bulan,” kata Michael.
Ian (40), yang membangun rumah di unit usaha milik Frengky Kapoh, mengatakan, rumah panggung dibuat dengan sistem bongkar pasang (knock down). Rangka lantai yang sedang dirakitnya tidak perlu dipaku, hanya dieratkan menggunakan baut.
“Kalau nanti mau dikirim, tinggal dilepas, lalu dirakit ulang di sana. Sejauh ini, bos saya sudah pernah mengirim ke Jawa dan Sumatera,” katanya.
Meski demikian, area pembangunan rumah kayu tersebut tampak sepi. Tak ada calon pembeli yang datang melihat contoh-contoh rumah yang telah dibangun di Jalan Woloan.
Jeni Mentu (56), pemilik UD Karitas yang melayani pembuatan rumah panggung, gazebo, mebel, hingga pintu kayu, mengatakan, penjualan tidak menetap. Ada kalanya banyak pesanan masuk, ada pula saat sepi. “Memang tergantung kemujuran saja. Saya masih mengandalkan pekerjaan utama saya sebagai pegawai negeri sipil,” kata Jeni.
Tahun ini, ia menjual tiga unit rumah ke pembeli di Kabupaten Minahasa, Minahasa Utara, dan Kota Bitung. Luas rumah beragam, tergantung permintaan klien. Harga rumah Rp 1,8 juta per meter persegi. Untuk ukuran 14 x 7 meter persegi, Jeni mendapatkan omzet Rp 176,4 juta.
Adapun dua rumah lain dikirim ke Bogor dan Maumere (Kabupaten Sikka), Nusa Tenggara Timur. “Beda dengan yang di Sulut, saya jual Rp 3,6 juta per meter persegi untuk yang di Maumere, karena biaya produksinya sangat mahal. Pengiriman dengan kapal saja sudah Rp 30 juta, belum tiket pesawat pergi-pulang untuk empat tukang. Mereka harus rakit rumah di sana,” katanya.
Meski sudah mengirim ke berbagai tempat di Indonesia, Jeni tak punya pelanggan tetap. Ada pemilik hotel di Bogor yang meminati gazebo bikinan usahanya, tetapi tidak menjadi pelanggan tetap.
Menurut Jeni, ini karena ketiadaan asosiasi pengusaha kayu untuk menyamakan standar maupun harga. Pembeli pun sulit percaya.
“Selain itu, tidak semua usaha di sini berbentuk CV ataupun UD. Kebanyakan usaha individu (informal),” katanya.
Bahan baku
Frans Kapoh, pengusaha lain, mengatakan, usahanya yang tidak berbadan hukum juga tak menentu. Karenanya, produksi rumah panggung hanya jadi pekerjaan sampingan. Tahun ini, ia sudah menjual dua unit rumah ke Palu, Sulawesi Tengah. Ia menjual empat rumah sepanjang 2018.
“Untuk klien di Palu, saya pasang harga Rp 2,5 juta per meter persegi karena ada biaya pengiriman, tapi tergantung keberuntungan saja. Saya pernah setahun tidak ada pembeli sama sekali, pernah juga kirim sampai ke Medan (Sumatera Utara),” katanya.
Hingga kini, Frans tak memiliki pelanggan tetap. Satu-satunya cara untuk menggaet pembeli adalah membangun rumah contoh di Jalan Woloan dan memasang spanduk yang menerakan nomor teleponnya.
Ia mengetahui ada beberapa pengusaha yang berhasil mengekspor rumah panggung. Namun, ia tidak tahu caranya. Frans berharap pemerintah turun tangan untuk mengatur harga di kalangan pengusaha serta membantunya menemukan pasar yang tetap.
“Selain itu, saya ingin dijelaskan, bagaimana cara dapat bahan baku kayu besi yang sesuai dengan standar Dinas Kehutanan (dan Perkebunan Kota) agar tidak ada hambatan. Selama ini, ada pengusaha yang surat-surat usahanya lengkap, tapi kayunya ditahan. Ada juga yang sebaliknya,” kata Frans.
Sementara itu, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sulut Jenny Karouw mengatakan, sebenarnya sudah ada peminat tetap untuk industri rumah panggung di Woloan. Peminat pun ada di berbagai belahan dunia, seperti Italia, Belanda, hingga di Tanzania.
“Masalahnya sekarang, pengusaha ini kesulitan mendapatkan bahan baku. Ada sebagian yang mendatangkan kayu besi dari Sulteng, tetapi belum tentu penyedia bahan baku itu punya sertifikat SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas Kayu),” kata Jenny.
Jenny mengatakan, para pengusaha telah dilibatkan dalam sosialisasi legalitas kayu maupun pameran ekspor. Hingga kini, rumah panggung masih terus diminati pasar internasional.
Pada tahun 2018, rumah panggung di Woloan diekspor ke Maladewa, Malaysia, dan Senegal dengan nilai ekspor 189.771 dollar AS. Adapun selama Januari hingga April 2019, rumah panggung diekspor ke Kamboja, Kepulauan Reunion, dan Maladewa dengan nilai 36.755 dollar AS.