Pada paruh kedua 2019, Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia bergegas memperbaiki neraca keuangan. Sejumlah langkah restrukturisasi disiapkan untuk memangkas rasio kredit bermasalah yang sejak akhir tahun lalu telah mencapai dua digit.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pada paruh kedua 2019, Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia bergegas memperbaiki neraca keuangan. Sejumlah langkah restrukturisasi disiapkan untuk memangkas rasio kredit bermasalah yang sejak akhir tahun lalu telah mencapai dua digit.
Hingga Juni 2019, rasio kredit bermasalah (NPL net) dari Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) mencapai 10,39 persen. Sementara pada akhir 2018 tercatat rasio NPL net LPEI di angka 10,31 persen. Padahal, pada akhir 2017, rasio NPL net masih ada di level 4,78 persen.
Direktur Eksekutif LPEI Sinthya Roesli, Rabu (31/7/2019), mengakui, tanda-tanda gagal bayar nasabah sebenarnya telah ditemukan sejak tahun-tahun sebelumnya. Namun, LPEI selalu melakukan restrukturisasi lewat skema Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).
Hingga Juni 2019, rasio kredit bermasalah (NPL net) dari Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) mencapai 10,39 persen.
Sinthya menilai banyak nasabah yang harus menata kembali kasnya akibat kondisi perekonomian global yang kurang kondusif.
Sayangnya, debitur-debitur bermasalah tetap tidak dapat membayar utang sepanjang proses PKPU sehingga meningkatkan rasio NPL pada laporan keuangan LPEI tahun 2018.
”Sebagai instrumen fiskal, LPEI selama ini fokus untuk memperbanyak pembiayaan eksportir Indonesia. Begitu NPL double digit kita mulai mengkaji ulang kebijakan penyediaan pembiayaan,” ujar Sinthya.
Menurut Sinthya, lembaga yang juga dikenal sebagai Eximbank Indonesia ini tengah mengkaji kembali kebijakan internal terkait manajemen risiko gagal bayar dari debitur. Selain itu, LPEI pun mulai mengalokasikan biaya pencadangan sebagai amunisi untuk menjaga kenaikan risiko kredit.
Sebagai upaya memangkas rasio kredit bermasalah, tahun ini LPEI pun menggeser fokus utama bisnis mereka dari penyaluran pembiayaan ekspor menjadi penjamin kegiatan usaha ekspor.
Tahun ini LPEI menargetkan bisnis penjaminan bisa tumbuh 25 persen dibandingkan realisasi tahun lalu yang mencapai Rp 11,3 triliun. Adapun pertumbuhan pembiayaan ditargetkan hanya tumbuh 2 persen dari realisasi tahun lalu sebesar Rp 108,89 triliun.
Pihaknya optimistis bisa mencapai target tersebut karena memperoleh pendanaan dari pemerintah berupa penyertaan modal negara (PMN) sebesar Rp 2,5 triliun. ”Peningkatan jumlah penjaminan diharapkan bisa mendorong kegiatan ekspor industri berskala mikro,” ujarnya.
Dihubungi secara terpisah, Kepala Departemen Pengawasan IKNB 2B Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Bambang W Budiawan menegaskan, LPEI perlu segera menyusun dan menjalankan rencana aksi guna menurunkan rasio kredit bermasalah.
Berdasarkan Peraturan OJK Nomor 40/POJK.05/2015 tentang Pembinaan dan Pengawasan LPEI, Pasal 14 Ayat 2, LPEI dilarang memiliki pembiayaan dengan kategori kualitas pembiayaan bermasalah, setelah dikurangi cadangan penghapusan pembiayaan, lebih dari 5 persen dari total pembiayaan.
”Apabila batas atas dilanggar, Indonesia LPEI wajib menyerahkan rencana pemenuhan solusi, paling lama satu bulan sejak tanggal terjadinya pelanggaran, di mana rencana tersebut harus disetujui oleh OJK,” ujarnya.