Ketika Beijing dan Taipei Berebut Simpati di Indonesia
Perseteruan ideologi yang tersisa dari Perang Saudara China (1945-1949) antara kubu Kuomintang (Partai Nasionalis) dan Kuncantang (Partai Komunis) menyisakan pertarungan berebut simpati di luar China dan Taiwan, termasuk di Indonesia.
Oleh
Iwan Santosa
·5 menit baca
Perseteruan ideologi yang tersisa dari Perang Saudara China (1945-1949) antara kubu Kuomintang (Partai Nasionalis) dan Kuncantang (Partai Komunis) menyisakan pertarungan berebut simpati di luar China dan Taiwan, termasuk di Indonesia. Sebuah penelitian yang berfokus pada kurun waktu 1945-1967, yang dilakukan Guru Besar Nanyang Technological University (NTU) Singapura Zhou Taomo terungkap perang proksi antara Republik Rakyat China (Beijing) dan Republik China (Taiwan) di Indonesia.
Penelitian Zhou Taomo itu dibukukan dan diberi judul Revolusi, Diplomasi, Diaspora Indonesia, Tiongkok, dan Etnik Tionghoa, 1945-1967. Buku tersebut diluncurkan di LIPI, Jakarta, Senin (29/7/2019), dan dibahas para pakar, yakni Asvi Warman Adam, Dewi Fortuna Anwar, dan Johanes Herlijanto.
”Perseteruan tersebut berlangsung sengit tanpa kita sadari. Kuomintang, yang berbasis di Taipei, diketahui mendukung pemberontakan PRRI-Permesta di tahun 1958 dan gerakan KAMI-KAPPI menumbangkan Presiden Soekarno di tahun 1966. Penelitian yang dilakukan Zhao Taomo ini merupakan penelitian pertama yang menggunakan arsip Kementerian Luar Negeri Tiongkok,” kata Asvi Warman Adam, sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Penjelasan Asvi dikuatkan oleh sumber lain, sejarawan Sulawesi Utara, Fendi Parengkuan, yang dalam kesempatan terpisah menceritakan tentang adanya pilot-pilot dan awak penerbangan AUREV (Angkatan Udara Revolusioner), yakni sayap udara Permesta di Manado, yang berasal dari Taiwan.
”Mereka sebagian ada yang mantan penerbang The Flying Tigers era Perang Dunia II. Sesudah pasukan TNI dari Jawa masuk ke Manado, mereka diinternir di sebuah sekolah dekat Centrum—pusat Kota Manado—dan akhirnya dikembalikan ke Taiwan,” kata Parengkuan.
Urusan rebutan pengaruh ini tidak saja untuk mendapat dukungan Pemerintah Indonesia dan rakyat Indonesia secara umum. Namun, Kuomintang dan Kuncantang berusaha meraih simpati dari warga berdarah Tionghoa di Indonesia.
Mantan Wali Kota Singkawang, Kalimantan Barat, Hasan Karman yang hadir dalam diskusi di LIPI tersebut menceritakan, betapa keluarga ayahnya berasal dari kubu pro Kuomintang di masa silam dan berseteru dengan kelompok pro-Kuncantang di Singkawang.
”Makanya, aneh ketika penumpasan kelompok kiri PRGRS Paraku di Kalimantan Barat, kami yang pro-Nasionalis disamaratakan dianggap semua orang Tionghoa adalah pro-Komunis,” kata Hasan Karman.
Persaingan Kuomintang dan Kuncantang dalam meraih simpati di Indonesia bertambah pelik dengan adanya pasang surut hubungan Indonesia-China dan relasi masyarakat di Indonesia terhadap warga Indonesia ataupun asing yang berdarah Tionghoa ketika itu.
Pakar politik Dewi Fortuna Anwar menjelaskan, dalam berbagai kesempatan, ketika timbul persoalan, masyarakat Indonesia pun tidak membedakan apakah seorang Tionghoa tersebut memiliki afiliasi ke Beijing, Taipei, ataupun seperti golongan peranakan yang berorientasi ke Indonesia.
”Semua disamaratakan dan terkena diskriminasi serta tindakan kekerasan dalam sejumlah kesempatan,” kata Dewi Fortuna.
Penelitian Zhou Taomo tersebut mengungkapkan, seusai Perang Saudara China di tahun 1949, Pemerintah Republik Indonesia mengakui keberadaan Pemerintah Beijing di tahun 1950. Sementara dalam masa Perang Kemerdekaan Republik Indonesia (1945-1949), Pemerintah Kuomintang tidak dan belum mengakui eksistensi Pemerintah Republik Indonesia hasil Proklamasi 17 Agustus 1945. Meski demikian, semasa itu, Konsulat Republik China yang dikuasai Kuomintang membuka beberapa konsulat di Indonesia.
Rebutan pengaruh tersebut berjalan sangat dinamis, ketika Pemerintah Indonesia dikuasai kubu Masyumi, kubu Kuomintang mendapat angin dan bekerja sama dengan penguasa dalam membatasi kubu Komunis di Indonesia dan juga jaringan Kuncantang.
Asvi Warman Adam menambahkan, ketika pemerintahan berada di kubu PNI-NU, hubungan dengan Beijing menguat.
Ba Ren mendorong warga Tionghoa berjuang bersama rakyat Indonesia melawan kelompok kapitalis dan imperialis Barat....
Asvi memuji riset Zhou Taomo yang membuka sisi-sisi yang selama ini gelap seperti keberadaan Duta Besar RRC pertama, yakni Wang Ren Shu alias Ba Ren yang lama bermukim di Sumatera semasa Hindia Belanda.
”Ba Ren mendorong warga Tionghoa berjuang bersama rakyat Indonesia melawan kelompok kapitalis dan imperialis Barat. Dia pun ketika meninggal di Tiongkok tahun 1972 dikremasi lalu sebagian abunya disebar ke laut dengan harapan akan hanyut sampai ke Indonesia, negeri yang dia cintai,” kata Asvi Warman.
Perebutan simpati Kuomintang-Kuncantang ini juga diwarnai pasang-surut hubungan diplomatik, seperti Perjanjian Dwi Kewarganegaraan tahun 1955 yang diratifikasi tahun 1957, Peraturan Pemerintah (PP) 10 Tahun 1959 tentang larangan berjualan di perdesaan bagi warga negara asing yang berdampak pada repatriasi ratusan ribu orang Tionghoa dari Indonesia ke China, dan lain-lain.
Penelitian tersebut, kata Asvi Warman Adam, juga mengungkapkan tidak adanya kiriman senjata api bagi Angkatan ke Lima—Buruh dan Petani Dipersenjatai—yang oleh rezim Orde Baru Soeharto ditudingkan dilakukan oleh Pemerintah Beijing. Yang menjadi persoalan, sikap antikomunis rezim Orde Baru disikapi dengan reaksi keras Beijing yang akhirnya dibalas dengan berbagai kampanye cipta opini yang menyudutkan RRC meski tanpa dasar dan itu banyak diyakini sebagai kebenaran hingga kini.
Padahal, ujar Asvi, ada hal-hal kontroversial seperti pembentukan Pao An Tui di Kota Medan, Sumatera Utara, justru dibantu rezim Kuomintang di tahun 1947. Rezim Kuomintang tersebut dekat dengan rezim Soeharto kelak semasa Orde Baru.
Persaingan Kuomintang-Kuncantang tersebut juga merambah ke media massa. Ada media massa yang pro Beijing, pro Taipei, dan pro Indonesia yang beredar di antara masyarakat berdarah Tionghoa di Indonesia.
Upaya meraih simpati seperti yang dilakukan Beijing dan Taipei ini juga dilakukan negara lain di Asia. Semisal Pemerintah Jepang memberikan visa khusus bagi warga negara asing yang memiliki darah Jepang, Nisei (keturunan kedua), Sansei (keturunan ketiga), dan lain sebagainya. Demikian pula India juga memiliki fasilitas serupa dalam memberikan visa bagi warga negara asing yang memiliki darah India dengan klasifikasi Persons of Indian Origin.
Belajar dari sejarah perang proksi Kuomintang-Kuncantang tahun 1945-1967 tersebut, keberadaan jaringan ke Beijing dan Taipei yang dimiliki Indonesia terutama dari WNI yang berdarah Tionghoa, kini dapat dimaksimalkan untuk kepentingan kemajuan ekonomi Indonesia. Apalagi Perang Dingin sudah usai dan Indonesia menapak pada jalur demokrasi dan semangat Nonblok.